Data BPS Catat 10 Juta Gen Z Jadi Pengangguran, Ternyata Ini Akar Masalahnya
Karakter Gen Z sudah tidak sama lagi dengan generasi sebelumnya. Sehingga cara pandang mereka terhadap dunia kerja juga berbeda.
Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita mengatakan, tingginya angka pengangguran pada Gen Z tersebut dipengaruhi oleh tujuh faktor utama.
Data BPS Catat 10 Juta Gen Z Jadi Pengangguran, Ternyata Ini Akar Masalahnya
Data BPS Catat 10 Juta Gen Z Jadi Pengangguran, Ternyata Ini Akar Masalahnya
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 yang mencatat hampir 10 juta Gen Z tak punya kegiatan alias menganggur. BPS memasukan mereka ke dalam kategori "youth not in education, employment, and training" (NEET).
Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita mengatakan, tingginya angka NEET pada Gen Z tersebut dipengaruhi oleh tujuh faktor utama.
"Artinya, angka NEET pada Gen Z ini memang cukup tinggi, sekitar 13 persenan dari total Gen Z Indonesia," kata Ronny kepada liputan6.com dikutip di Jakarta, Jumat (24/5).
Dia menjelaskan, faktor pertama yaitu karena rendahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia, sehingga daya serap ekonomi atas tenaga kerja baru yang tumbuh, utamanya tentu Gen Z juga cukup rendah.
Sebagaimana diketahui, setiap tahun angkatan kerja baru bertambah, yang tentunya datang dari Gen Z, sebagai generasi angkatan kerja termuda.
merdeka.com
Alhasil jika perekonomian nasional menyerap tenaga kerja jauh di bawah tingkat pertumbuhan angkatan kerja baru, maka otomatis peluang angkatan kerja baru menjadi pengangguran semakin tinggi.
Kedua, selain pertumbuhan ekonomi yang kurang tinggi, tingkat Incremental Labour Output Ratio (ILOR) Indonesia juga cukup rendah. Penyerapan tenaga kerja per 1 persen pertumbuhan semakin hari semakin menurun, terutama karena investasi baru banyak terjadi di sektor non tradeble dan karena disrupsi teknologi.
Ketiga, karakter Gen Z sudah tidak sama lagi dengan generasi sebelumnya. Sehingga cara pandang mereka terhadap dunia kerja juga berbeda. Maka sebagian lapangan pekerjaan konvensional yang tersedia terkadang tidak sesuai dengan karakter gen Z.
"Sementara itu, investasi di sektor teknologi dan start up yang cenderung lebih sesuai dengan karakter Gen Z tidak terlalu ekspansif, bahkan belakangan banyak yang gulung tikar. Sehingga menambah potensi pengangguran pada segmen generasi Z," ujarnya.
Keempat, pemerintah belum terlalu optimal mendorong akselerasi investasi di sektor-sektor yang sesuai dengan karakter gen z ini, seperti sektor ekonomi digital, ekonomi kreatif, tourism, dan sejenisnya.
"Pemerintah masih fokus mendorong sektor konvensional yang dianggap strategis dalam memberikan kontribusi kepada pertumbuhan," katanya.
Kelima, di sisi lain, biaya pendidikan semakin hari semakin mahal, yang membuat Gen Z juga akhirnya tidak terlalu tertarik untuk menjajaki jenjang pendidikan ke level selanjutnya.
merdeka.com
Keenam, biaya untuk memulai usaha baru atau menjadi enterpreneur juga tidak murah, apalagi Gen Z cenderung sangat konsumtif, sehingga rerata kurang mampu mengumpulkan tabungan untuk dijadikan modal usaha baru.
"Ketujuh, besarnya jumlah NEET di kalangan Gen Z membuktikan bahwa program kartu prakerja gagal," pungkasnya.