Cerita Pilu, Susah Dapat Kerja Hanya Karena Gen Z
Calon mahasiswa enggan mengambil jurusan kejuruan karena dianggap berstatus rendah, meski lebih diminati.
Generasi Z mengalami tantangan berat di dunia kerja saat ini. Stigma dengan individu yang kurang kompetitif cukup melekat pada generasi kelahiran 1997-2012 ini.
-
Kenapa Gen Z sulit mempertahankan pekerjaan? Salah satu kritik paling umum terhadap Gen Z secara umum adalah kurangnya motivasi yang dirasakan. Semua orang, mulai dari Generasi Milenial hingga Generasi Baby Boomer, gemar membicarakan keengganan Gen Z untuk bekerja 'keras' demi apa yang ingin mereka capai dalam hidup tanpa perlu menjelaskan alasannya.
-
Kenapa Gen Z gampang stres? Gen Z menghadapi berbagai tekanan yang kompleks dalam hidup mereka. Pandemi COVID-19, ketidakpastian dalam kehidupan sosial, pendidikan, dan pekerjaan, semuanya merupakan faktor yang menyebabkan stres.
-
Apa masalah kesehatan mental yang sering dialami generasi Z? Selama pandemi COVID-19, terdapat peningkatan gejala cemas, depresi, kesepian, dan kesulitan berkonsentrasi pada 4.6 persen remaja.
-
Apakah Gen Z itu? Generasi Z, atau Gen Z, adalah istilah yang digunakan untuk menyebut kelompok orang yang lahir antara tahun 1996 dan 2012. Mereka adalah generasi yang tumbuh di era digital, di mana teknologi dan media sosial menjadi bagian penting dari kehidupan mereka.
-
Apa saja masalah kesehatan mental Gen Z? Salah satu masalah utama yang dihadapi Gen Z adalah kecemasan yang intens. Mereka tumbuh di dunia yang terhubung secara digital, yang meskipun membawa manfaat, juga membawa tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Mereka merasa terisolasi dan kesepian, terutama karena tekanan media sosial dan perasaan takut ketinggalan.
-
Siapa aja yang susah cari kerja? Salah satu kendala yang banyak dialami pencari kerja adalah kemampuan bahasa Inggris
Meskipun memiliki latar pendidikan mentereng, tak menjamin Generasi Z mudah diterima kerja. Hal ini yang dialami Indira Cader.
Melansir ABC, Indira merupakan lulusan dari universitas terkemuka di Indonesia dengan gelar master dalam hubungan internasional. Namun, dia tetap saja kesulitan mendapatkan kerja.
“Saya sudah punya pengalaman kerja dan gelar master, bahkan saya kesulitan mencari pekerjaan,” ujar Indira.
Beban generasi Z serasa semakin pelik seiring misi Indonesia menjadi Indonesia Emas di tahun 2045, untuk mendorong perekonomian negara dalam 10 hingga 20 tahun ke depan.
Namun, survei nasional baru-baru ini menemukan bahwa hampir 10 juta generasi muda Indonesia tidak bekerja, tidak mengikuti pelatihan, atau belajar.
Tingkat pengangguran bagi penduduk berusia antara 15 dan 24 tahun adalah 22,3 persen dibandingkan dengan 4,8 persen pada populasi yang lebih luas.
Indira adalah bagian dari kelompok generasi terbesar di Indonesia, Generasi Z, yang mencakup lebih dari 74 juta orang, atau 27,9 persen dari populasi Indonesia, yang lahir antara tahun 1997 dan 2012.
Dia diberhentikan dari pekerjaan sebelumnya pada akhir tahun 2023 dan terus melamar pekerjaan sejak saat itu.
“Saya sudah melamar ke banyak perusahaan. Banyak yang mewawancarai saya hingga langkah terakhir," kata Indira kepada ABC.
Beberapa orang percaya bahwa Generasi Z mengalami kesulitan dalam pasar kerja karena mereka dianggap terlalu selektif dan membutuhkan dalam hal pekerjaan.
Penelitian yang mensurvei bisnis di Inggris, AS, Kanada, dan Australia menunjukkan bahwa Gen Z sering dianggap malas namun mudah bergaul di tempat kerja. Namun, ada pendapat bahwa stereotip ini berpotensi menimbulkan kerugian di tempat kerja.
Indira mengatakan kesalahpahaman tentang Gen Z dapat membuat perusahaan cenderung tidak mempekerjakan mereka.
“Tidak semua Gen Z pilih-pilih. Tidak semua dari mereka tidak sopan. Tidak semua dari mereka merasa berhak untuk melakukan pekerjaan yang lebih sedikit," ucapnya.
Devie Rahmawati, peneliti dari program hubungan masyarakat Universitas Indonesia, mengatakan pemerintah harus berinvestasi lebih banyak dalam program vokasional yang mengajarkan karir yang penting bagi bangsa.
"Pertanian, perikanan, dan kehutanan. Sektor-sektor tersebut merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia, tetapi mereka kesulitan mencari tenaga kerja," katanya.
Devieti mengatakan. terlalu banyak anak muda yang mempelajari komunikasi, TI, dan ekonomi.
"Indonesia memiliki ideologi bahwa untuk menjadi sukses, seseorang harus menempuh pendidikan akademik yang lebih tinggi," katanya.
Ia mengatakan calon mahasiswa enggan mengambil jurusan kejuruan karena dianggap berstatus rendah, meski lebih diminati.
"Pendidikan kejuruan, yang sebenarnya menyiapkan karpet merah bagi dunia kerja, dianggap sebagai pendidikan kelas dua atau bahkan tiga," katanya.