Fakta Di Balik Kebangkrutan Tupperware dan Pelajaran Bisnis yang Bisa Diambil
Perusahaan ini berencana meminta perlindungan hukum setelah melanggar ketentuan utangnya dan telah meminta bantuan penasihat hukum serta keuangan.
Kabar mengejutkan datang dari Tupperware, produsen wadah plastik yang telah menjadi simbol rumah tangga selama bertahun-tahun. Diberitakan bahwa Tupperware sedang bersiap untuk mengajukan permohonan kebangkrutan dalam waktu dekat.
Menurut laporan dari Reuters, perusahaan ini berencana meminta perlindungan hukum setelah melanggar ketentuan utangnya dan telah meminta bantuan penasihat hukum serta keuangan.
Beberapa fakta terungkap mengenai penyebab kemungkinan kebangkrutan Tupperware. Perusahaan yang didirikan oleh ahli kimia Earl Tupper 78 tahun yang lalu ini menghadapi tantangan serius untuk mempertahankan keberlangsungan usahanya.
Saham perusahaan mengalami penurunan drastis sejak tahun lalu dan telah kehilangan hingga 95 persen dari kapitalisasi pasarnya dalam tiga tahun terakhir.
Sejarah Tupperware dimulai pada tahun 1946 ketika Earl Tupper memperkenalkan produk plastiknya kepada masyarakat.
Inovasi segel kedap udara yang fleksibel menjadi ciri khas produk Tupperware, yang membuatnya terkenal di rumah-rumah di Amerika.
Namun, setelah hampir delapan dekade beroperasi, Tupperware kini menghadapi ancaman kebangkrutan yang mengejutkan banyak orang. Berikut adalah ulasan lengkapnya dari Liputan6.com, Rabu (18/9/2024).
- Penurunan Penjualan
Tupperware mengalami penurunan penjualan yang cukup besar dalam beberapa tahun terakhir. Menurut laporan dari *Fortune*, penjualan Tupperware menurun sebesar 18 persen menjadi sekitar USD 1,3 miliar pada tahun 2022 dibandingkan tahun sebelumnya.
Penurunan ini terjadi setelah adanya lonjakan permintaan yang singkat selama pandemi Covid-19. Neil Saunders, analis ritel dan direktur pelaksana Global Data Retail, menyatakan bahwa "Tupperware mengalami penurunan drastis dalam jumlah penjual dan konsumen setelah pandemi, serta belum sepenuhnya terhubung dengan kalangan anak muda."
2. Utang yang Menumpuk kondisi Kebangkrutan
Tupperware juga dipicu oleh utang yang sangat besar. Berdasarkan informasi dari Reuters, perusahaan ini memiliki utang lebih dari USD 700 juta (sekitar Rp10,85 triliun). Persiapan untuk kebangkrutan muncul setelah negosiasi yang berkepanjangan antara Tupperware dan kreditor mengenai pengelolaan utang tersebut. Laurie Ann Goldman,
CEO Tupperware, dalam siaran persnya mengungkapkan, "Dalam beberapa tahun terakhir, kondisi keuangan perusahaan sangat dipengaruhi oleh situasi ekonomi makro yang sulit."
3. Persaingan dan Inovasi yang Tertinggal
Tupperware kesulitan beradaptasi dengan perubahan pasar dan persaingan yang semakin ketat. Menurut *The Guardian*, perusahaan ini berjuang untuk bersaing dengan merek wadah penyimpanan lain yang lebih inovatif dalam memasarkan produk kepada konsumen muda di platform seperti TikTok dan Instagram.
Sementara itu, model bisnis Tupperware masih sangat bergantung pada pemasaran berjenjang atau MLM (multi-level marketing).
Neil Saunders menambahkan, "Dahulu, perusahaan ini dikenal sebagai inovator terdepan dalam alat dapur, tetapi kini telah kehilangan keunggulannya."
4. Masalah Manajemen dan Pelaporan Keuangan
Tupperware menghadapi tantangan dalam manajemen keuangan dan pelaporan. Dalam laporan kepada Securities and Exchange Commission (SEC), perusahaan mengakui tidak dapat melaporkan kinerja keuangan kuartalan terbaru sesuai tenggat waktu yang ditetapkan. Perusahaan juga menyatakan bahwa mereka tidak akan mampu menyelesaikan dan mengajukan laporan tahunan untuk tahun 2023.
Dalam keterangannya, Tupperware mengungkapkan, "Departemen akuntansi kami telah mengalami penurunan kinerja yang signifikan, termasuk kepergian Chief Financial Officer baru-baru ini, yang mengakibatkan kekurangan sumber daya dan keahlian, serta hilangnya kesinambungan pengetahuan."
Tupperware Jadi Merek Terkenal di Dunia
Tupperware, merek yang kini menghadapi ancaman kebangkrutan, memiliki sejarah panjang yang dimulai sejak tahun 1946.
Earl Silas Tupper, seorang ahli kimia dan penemu dari Amerika Serikat, mendirikan perusahaan ini dengan visi yang inovatif untuk industri wadah penyimpanan makanan.
Sebelumnya bekerja di DuPont Chemical Company, Tupper memanfaatkan pengetahuannya tentang plastik untuk menciptakan wadah yang inovatif dan tahan lama.
Dia terinspirasi oleh tutup botol soda yang memiliki segel kedap udara, lalu mengembangkan konsep tersebut menjadi wadah plastik dengan tutup yang dapat "disegel" melalui tekanan, menciptakan ruang hampa udara yang menjaga kesegaran makanan lebih lama.
Produk pertama yang sukses adalah Wonderlier Bowl, yang diluncurkan pada tahun 1946. Meskipun inovasi produk Tupperware sangat menarik, penjualan awalnya tidak memenuhi harapan.
Konsumen belum terbiasa dengan plastik sebagai bahan wadah makanan dan kurang memahami cara menggunakan tutup segel khas Tupperware. Perubahan signifikan terjadi ketika Brownie Wise bergabung dengan perusahaan pada awal 1950-an.
Wise memperkenalkan konsep "Tupperware Party", metode penjualan langsung yang revolusioner. Para ibu rumah tangga diajak menjadi demonstrator produk, mengadakan pesta di rumah mereka untuk memperkenalkan dan menjual produk Tupperware.
Metode ini tidak hanya meningkatkan penjualan secara drastis, tetapi juga memberikan peluang kerja dan pemberdayaan ekonomi bagi banyak wanita di era pasca-Perang Dunia II.
Awal Mula Kesuksesan
Kesuksesan Tupperware Party mendorong perkembangan pesat perusahaan. Pada tahun 1958, Tupperware membuka kantor internasional pertamanya di Eropa.
Ekspansi global terus berlanjut, dan pada tahun 1960-an, Tupperware telah menjadi merek yang dikenal di banyak negara.
Inovasi produk terus dilakukan dengan meluncurkan berbagai lini produk baru, termasuk wadah microwave dan peralatan dapur lainnya. Namun, dekade 1990-an dan 2000-an membawa tantangan baru bagi Tupperware.
Perubahan gaya hidup, munculnya pesaing baru, dan pergeseran preferensi konsumen mulai memengaruhi penjualan. Meski demikian, perusahaan terus beradaptasi dengan memperkenalkan produk baru dan memperluas pasar ke negara-negara seperti China dan India.
Tantangan terbesar muncul di era digital, di mana model bisnis tradisional Tupperware yang sangat bergantung pada penjualan langsung dan "party" mulai kehilangan relevansinya di tengah pertumbuhan e-commerce dan media sosial.
Walaupun perusahaan berusaha beradaptasi dengan memperkenalkan penjualan online dan strategi pemasaran digital, ancaman kebangkrutan semakin nyata seiring dengan penurunan penjualan yang tajam dan meningkatnya beban utang.
Kini, setelah lebih dari 75 tahun beroperasi, Tupperware menghadapi masa depan yang tidak pasti, yang menandai kemungkinan akhir dari era ikonik dalam sejarah peralatan rumah tangga di Amerika.