Gawat, BBM Indonesia Terkotor di Asia Tenggara dan Picu Polusi Udara yang Berdampak Bahaya
Dampaknya sangat terasa di wilayah seperti DKI Jakarta, yang mengalami peningkatan polusi udara secara signifikan.
Jakarta saat ini menghadapi tantangan besar dalam menangani polusi udara, salah satunya disebabkan oleh pasokan BBM berkadar sulfur tinggi.
Menurut data dari laporan Clean Air Asia tahun 2024, Kualitas bahan bakar minyak (BBM) yang digunakan di Indonesia tercatat sebagai yang terburuk di Asia Tenggara, dengan kandungan sulfur 500 ppm (EURO 2), yang jauh di atas standar internasional sebesar 50 ppm (EURO 4).
Dampaknya sangat terasa di wilayah seperti DKI Jakarta, yang mengalami peningkatan polusi udara secara signifikan, mempengaruhi kesehatan masyarakat, terutama kelompok rentan seperti anak-anak dan lansia.
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Budi Haryanto menjelaskan bahwa kualitas udara yang buruk, sebagian besar akibat polusi dari BBM berkualitas rendah, memberikan dampak langsung terhadap kesehatan masyarakat.
"Sumber polusi udara tidak hanya dari BBM, tetapi ketika berada di udara, polusi dari berbagai sumber menjadi satu. Efek kesehatan yang dirasakan adalah akibat dari polusi udara secara keseluruhan,” ujarnya di Jakarta, Rabu (2/10).
Budi menekankan bahwa polusi udara dari BBM berkadar sulfur tinggi berkontribusi sebesar 43 persen terhadap total polutan di Jakarta. Sehingga, jika kualitas BBM diperbaiki, polusi udara bisa berkurang secara signifikan.
"Segera mengganti BBM berkualitas rendah yang masih di bawah standar EURO 2 (maksimal 500 ppm), dengan BBM berkualitas lebih baik sesuai standar EURO 4 (maksimal 50 ppm) atau lebih tinggi, secepatnya dan menyeluruh," imbuhnya.
Ketua Komite Penanggulangan Penyakit Respirasi dan Dampak Polusi Udara Kementerian Kesehatan, sekaligus Guru Besar Fakultas Kedokteran UI, Agus Dwi Susanto turut memperkuat argumen terkait dampak polusi udara akibat BBM berkadar sulfur tinggi.
Picu Penyakit Pernapasan
Dia menjelaskan bahwa gas hasil pembakaran BBM, seperti sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida, dan partikel halus (PM2.5), adalah zat iritan yang dapat memicu penyakit pernapasan akut.
“Nah, itu gejala dari iritasi-iritasi dan lainnya bisa berlanjut menimbulkan risiko terjadinya peningkatan infeksi selama pernafasan akut atau ISPA. Kalau dia berlanjut bisa terjadi infeksi selang pernafasan bawah atau pneumonia. Dampak akut lainnya adalah kalau orang-orang yang sudah punya penyakit dasar seperti punya asma atau penyakit paru kronik itu serangannya akan meningkat,” ujar Prof. Agus.
Kemudian, Agus juga menekankan bahwa polusi udara dari BBM sulfur tinggi berkontribusi signifikan terhadap peningkatan angka kunjungan pasien di rumah sakit akibat serangan asma dan penyakit paru kronik. Menurutnya, hasil penelitian di RS Persahabatan tahun 2019 menunjukkan peningkatan polusi berbanding lurus dengan peningkatan serangan asma yang masuk ke IGD.
Untuk itu, Agus menekankan pentingnya regulasi pemerintah dalam mempercepat penyediaan BBM rendah sulfur, meningkatkan transportasi umum ramah lingkungan, serta menerapkan regulasi ketat terhadap emisi industri untuk mengurangi polusi.
"Beberapa upaya yang dapat dilakukan tentunya adalah mengatur kendaraan yang beredar, mengganti bahan bakarnya menjadi lebih ramah lingkungan, dan membuat regulasi dari pemerintah pembatasan (kendaraan) yang beredar di jalanan," pungkasnya.