Ini Alasan Kuat Korea Selatan Bisa Keluar dari Middle-Income Trap
Fokus pemerintah Korea terarah dan memiliki langkah-langkah yang berurutan.
Pada pekan lalu, Bank Dunia merilis laporan mengenai "Middle-Income Trap". Dalam laporan tersebut, menunjukkan hanya Korea Selatan, satu-satunya negara di Asia selama 30 tahun terakhir, yang berhasil keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah sehingga menjadi negara maju dengan pendapatan tinggi.
Dilansir dari South China Morning Post (SCMP), Donald Low, seorang dosen senior dan profesor praktik di Universitas Sains dan Teknologi Hong Kong, mengatakan salah satu cara terbaik Korea bisa keluar menjadi negara maju yaitu reformasi lahan.
Undang-Undang Reformasi Lahan Pertanian tahun 1949 (direvisi pada tahun 1950) memungkinkan pemerintah untuk membeli lahan pertanian dari tuan tanah dengan harga yang dipaksakan dan menjualnya kepada petani penyewa dengan harga di bawah harga pasar.
"Reformasi lahan tidak hanya memperkuat negara Korea, tetapi juga mengurangi ketimpangan pendapatan dan kekayaan. Apa yang baik untuk pembangunan ekonomi juga baik untuk kaum miskin, dan sebaliknya; tidak ada trade-off antara pertumbuhan dan pemerataan," demikian penjelasan Low .
Low menuturkan, dengan mengubah sebagian besar petani penyewa menjadi petani pemilik tanah, reformasi lahan menciptakan insentif yang kuat bagi petani Korea Selatan untuk memaksimalkan hasil produksi. Dan dengan pendapatan yang lebih banyak, petani mampu membeli barang-barang modal.
"Bukanlah suatu kebetulan bahwa mobil produksi massal pertama di negara itu, Hyundai Pony, memiliki versi truk pikap yang ditujukan untuk petani Korea" katanya.
Setelah reformasi lahan, fokus orientasi ekspor
Setelah reformasi lahan, manufaktur berorientasi ekspor menjadi mesin pertumbuhan berikutnya. Sebagai ilustrasi, sebagian besar dari masyarakat dapat menyebutkan lebih banyak perusahaan manufaktur Korea yang sukses secara global seperti Samsung, Hyundai-Kia, LG, POSCO, Daewoo, Ssangyong, daripada perusahaan manufaktur Asia Tenggara, meskipun populasi Korea Selatan hanya sepersepuluh dari populasi Asia Tenggara.
Korea Selatan mampu berubah dari negara berpendapatan rendah menjadi negara berpendapatan tinggi dalam dua generasi, periode pertumbuhan pesat yang dikenal sebagai "Keajaiban di Sungai Han", meskipun kebijakan keuangannya dalam empat dekade setelah perang Korea cukup gegabah.
Pada tahun 1970-an, negara tersebut meminjam banyak uang untuk membiayai industri berat dan kimianya, tetapi tingkat utang yang tinggi tidak terlalu menjadi masalah jika pinjaman tersebut digunakan untuk keperluan produktif. Bandingkan hal ini dengan utang rumah tangga, perusahaan, dan pemerintah daerah Tiongkok yang tinggi, yang sebagian besarnya untuk real estat dan infrastruktur yang nilainya diragukan.
Bank-bank Korea Selatan juga menyediakan pinjaman diskon yang hampir tak terbatas kepada eksportir, tetapi selama peminjam mengekspor, mereka dapat membayar kembali pinjaman mereka. Kebijakan moneter sangat longgar selama beberapa dekade dan menyebabkan inflasi dua digit selama sebagian besar periode Korea Selatan menjadi negara berkembang.
"Sekali lagi, ini tidak menjadi masalah selama pendapatan riil masyarakat meningkat. Dan pendapatan riil meningkat karena pekerja pindah ke pekerjaan manufaktur yang produktivitasnya lebih tinggi (karena penggunaan mesin) daripada sebagian besar pekerjaan jasa," ujar Low.
Kehebatan manufaktur Korea Selatan juga berarti bahwa ketika krisis keuangan Asia menghantam ekonominya dan menimbulkan malapetaka pada sistem keuangannya pada tahun 1997, ekonomi bangkit kembali dengan cepat karena depresiasi tajam won memungkinkan produsen Korea untuk mengekspor jalan keluar dari masalah.
Sebaliknya, ekonomi Asia Tenggara yang dilanda krisis mengalami kemunduran pertumbuhan yang jauh lebih lama karena sektor manufaktur mereka jauh kurang berkembang dan ekonomi mereka kurang canggih secara teknologi dibandingkan Korea Selatan. Misalnya, Thailand membutuhkan waktu tujuh tahun sebelum mendapatkan kembali tingkat PDB per kapita sebelum krisis.
Dalam 20 tahun terakhir, ekonomi Korea Selatan telah terdiversifikasi ke layanan yang dapat diekspor. Meskipun pariwisata bukanlah industri utama di Korea Selatan, ekspor budaya negara tersebut (seperti K-pop, drama dan film Korea) dan industri kreatif merupakan bagian penting dan berkembang dari ekonomi.
"Pertumbuhan pesat ekonomi jasa Korea Selatan dalam dua dekade terakhir menunjukkan adanya urutan yang tepat dalam pembangunan ekonomi," jelasnya.
Low mengatakan, pembangunan pertanian yang dikatalisasi oleh reformasi tanah terlebih dahulu, diikuti oleh beberapa dekade pembangunan industri yang berpusat pada ekspor untuk mendorong transisi ke ekonomi berpendapatan tinggi, dan akhirnya beralih ke layanan kelas atas saat negara tersebut kaya.