Kisah Martua Sitorus, Pernah Jadi Loper Koran dan Berdagang Udang Kini Punya Harta Rp53 Triliun
Setelah menyelesaikan kuliahnya, Martua mulai mencoba merintis usaha kecil-kecilan di Medan.
Tapi siapa sangka, pria kelahiran Pematang Siantar 6 Februari 1960 dengan nama asli Thio Seeng Haap ini semasa kecilnya harus bekerja keras membantu keluarganya.
Kisah Martua Sitorus, Pernah Jadi Loper Koran dan Berdagang Udang Kini Punya Harta Rp53 Triliun
Kisah Martua Sitorus, Pernah Jadi Loper Koran dan Berdagang Udang Kini Punya Harta Rp53 Triliun
Martua Sitorus atau yang kerap dikenal sebagai raja minyak goreng di Indonesia merupakan salah satu pengusaha yang berhasil membangun kesuksesan dari nol. Dia berada pada peringkat ke-18 orang terkaya di Indonesia menurut Forbes pada tahun 2023.
Tapi siapa sangka, pria kelahiran Pematang Siantar 6 Februari 1960 dengan nama asli Thio Seeng Haap ini semasa kecilnya harus bekerja keras membantu keluarganya.
Demi menyelesaikan pendidikannya hingga bangku kuliah, dia harus berjualan udang dan menjadi loper koran di kota kelahirannya.
Meski harus ditempa kerasnya hidup sejak kecil, namun berkat ketekunan dan kegigihannya setelah menempuh pendidikan di SMA Budi Mulia Pematangsiantar dia melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi.
Martua berhasil menamatkan bangku kuliahnya di Universitas HKBP Nommensen, Kota Medan.
Setelah menyelesaikan kuliahnya, Martua mulai mencoba merintis usaha kecil-kecilan di Medan.
Dia berdagang minyak sawit dan juga kelapa sawit. Saat itulah dia bertemu dengan seorang pengusaha asal Malaysia, Kuok Khoon Hong atau yang kerap disapa William.
Pertemuannya dengan William membuat Maratua mendapatkan ide untuk berbisnis kelapa sawit. Dia memutuskan bekerja sama dengan William untuk mendirikan sebuah perusahaan sawit yang diberi nama Wilmar International pada 1991.
Nama usaha itu merupakan gabungan dari nama depan mereka William dan Martua, “Wil-Mar”.
Awalnya Wilmar berdiri fokus pada usaha perkebunan kelapa sawit dengan modal awal 7.100 hektare kebun kelapa sawit.
Seiring berjalannya waktu Martua dan William berhasil mengelola bisnis dengan sangat baik.
Bahkan mereka berhasil memperkuat sektor bisnisnya dengan membangun pabrik sendiri untuk mengolah hasil kebun menjadi minyak kelapa sawit.
Keahlian Martua dalam dunia bisnis tak diragukan, hal itu terbukti pada krisis moneter di tahun 1997 dimana perusahaan Wilmar tetap berdiri ditengah perusahaan-perusahaan yang kala itu bangkrut.
Pada tahun 2000, Wilmar mulai menghasilkan produk minyak untuk rumah tangga di Indonesia dengan beberapa merek salah satunya yaitu Sania.
Tak hanya itu, Wilmar juga memproduksi dan mendistribusikan minyak goreng dari beberapa merek di negara China. Tiga tahun setelahnya, Wilmar membeli saham PT Cahaya Kalbar Tbk yang memproduksi minyak dan lemak untuk coklat, gula, dan roti.
Berkat usaha yang didirikannya, Martua berhasil meraup keuntungan hingga miliaran dolar per tahunnya.
Diperkirakan perusahaan raksasa ini telah memiliki total aset sebesar USD1,6 miliar atau setara Rp25,8 triliun (kurs dollar: Rp16.130) dengan total pendapatan USD4,7 miliar atau setara Rp75,8 triliun dan laba bersih USD58 juta atau setara Rp935,5 miliar di tahun 2005.
Pada tahun 2018, Wilmar dinobatkan sebagai usaha minyak kelapa sawit terbesar di dunia menurut Forbes.
Setelah sukses dengan bisnisnya, Martua keluar dari dewan direksi Wilmar pada Juli 20118.
Martua pun kembali mendirikan usaha bersama saudaranya, KPN Corporation yang fokus pada perkebunan kelapa sawit, properti, dan industri semen.
Tak hanya itu, Martua juga berbisnis bersama dengan Ciputra Group dan membangun perumahan elite di Medan. Martua ternyata juga aktif dalam bisnis kesehatan. Pada 12 Desember 2021 silam. Dia membangun rumah sakit dengan nama Murni Teguh Memorial Hospital, yang merupakan salah satu persembahan yang dia berikan untuk ibunya, Murni Teguh.
Kesuksesannya membuat nama Martua Sitorus tercatat sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia. Berdasarkan laporan Real Time Net Worth Forbes, harta kekayaan Martua saat ini mencapai USD3,3 miliar atau setara Rp53,2 triliun.