Survei: Indonesia Jadi Negara Kedua dengan Sugar Daddy Terbanyak di Asia
Hubungan ini bersifat transaksional sehingga sulit melihat ketulusan pada hubungan itu.

Beberapa masyarakat barangkali tidak asing mendengar istilah "sugar daddy" yang merujuk sebuah relasi antara perempuan dengan pria yang lebih tua dengan ekonomi mapan.
Pada tahun 2021, sebuah studi yang dilansir Forbes menyampaikan, hubungan 'sugar daddy' cenderung menginginkan timbal balik seksual dan relasional dari 'sugar baby', dengan kata lain hubungan ini bersifat transaksional sehingga sulit melihat ketulusan pada hubungan itu.
Penelitian lain juga menunjukkan bahwa hubungan 'sugar daddy' cukup bervariasi berdasarkan preferensi dan kesepakatan yang dibuat oleh individu yang terlibat.
Dilansir dari Seeking Arrangement, sebuah website perjodohan menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah sugar daddy terbanyak di antara negara-negara Asia.
Di urutan pertama ada India sebagai negara dengan jumlah sugar daddy terbanyak yaitu 338.000 orang. Selanjutnya, urutan kedua yaitu Indonesia 60,25 ribu orang.
Di urutan ketiga dan keempat ada Malaysia dan Jepang masing-masing32,5 ribu sugar daddy. Selanjutnya urutan kelima ada Hong Kong ada 28,3 ribu sugar daddy, keenam ada Taiwan dengan 27,3 ribu, Vietnam 12 ribu orang, Korea Selatan 8.000 orang, Sri Lanka 5.000 orang dan terakhir di urutan 10 ada Kamboja dengan 5.000 sugar daddy.
Hubungan Sugar Daddy dalam Sudut Psikologi
Para peneliti menemukan bahwa persetujuan terhadap hubungan gula-gula dengan sugar daddy dikaitkan dengan serangkaian ciri kepribadian yang dikenal sebagai Triad Gelap, yang terdiri dari machiavellianisme, psikopati subklinis, dan ciri-ciri gangguan kepribadian ambang.
Machiavellianisme dicirikan oleh manipulasi dan perilaku strategis, psikopati subklinis ditandai oleh eksploitasi dan kurangnya empati, serta ciri-ciri kepribadian ambang meliputi ketidakstabilan emosional dan perilaku impulsif.
Penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa individu dengan tingkat sifat kepribadian gelap yang lebih tinggi cenderung lebih menerima hubungan jangka pendek dan lebih cenderung mengeksploitasi hubungan interpersonal untuk keuntungan pribadi.
Terlebih lagi, ciri-ciri triad gelap telah dikaitkan dengan gaya cinta ludus, stabilitas emosional yang lebih rendah dalam hubungan intim, pengendalian diri yang berkurang, ketidakmampuan untuk menunda kepuasan dan standar yang lebih rendah dalam memilih pasangan.
Para peneliti berpendapat bahwa ciri-ciri ini dapat membuat hubungan transaksional lebih menarik bagi individu tersebut. Misalnya, penelitian menunjukkan bahwa ciri-ciri triad gelap dikaitkan dengan melakukan "panggilan pecinta kuliner," yang berarti menawarkan persahabatan sebagai imbalan atas makan malam gratis, tanpa ingin melanjutkan hubungan lebih jauh.
Studi lain yang dilakukan pada tahun 2017 menemukan bahwa mahasiswa yang menawarkan layanan seksual untuk mendapatkan imbalan materi menunjukkan tingkat impulsivitas, sikap tidak bertanggung jawab, dan pencarian sensasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak melakukannya. Hal ini semakin menyoroti peran faktor psikologis dalam dinamika gula.
Kesimpulan
Hubungan gula-gula mengajak kita untuk merenungkan berbagai cara yang ditempuh individu untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka.
Hubungan ini memberi mereka berbagai manfaat, mulai dari kesenangan langsung hingga peluang yang lebih luas, persahabatan, dan sumber daya penting.
Variabilitas dalam dinamika ini mencerminkan banyaknya motivasi yang mendorong individu untuk melakukan hubungan ini.
Di tengah kompleksitas yang melekat dalam hubungan gula, sangat penting untuk memastikan keamanan, persetujuan, dan kesejahteraan dalam dinamika ini, terutama bagi penerimanya.