Upaya Transisi Energi Ramah Lingkungan Pemerintah Dianggap Setengah Hati, Ini Buktinya
Minimnya target pensiun dini PLTU dalam draf rencana ini, berpotensi memperlambat langkah reformasi sistem energi Indonesia
Sebab, minimnya target pensiun dini PLTU dalam draf rencana ini, berpotensi memperlambat langkah reformasi sistem energi
Upaya Transisi Energi Ramah Lingkungan Pemerintah Dianggap Setengah Hati, Ini Buktinya
Koalisi Civil Society Organization (CSO) mengkritik, rancangan rencana investasi dan kebijakan komprehensif (comprehensive investment and policy plan/CIPP) kesepakatan kemitraan Just Energy Transition Partnership (JETP).
Rancangan tersebut dinilai masih berpihak setengah hati pada upaya transisi energi yang berkeadilan.
Sebab, minimnya target pensiun dini PLTU dalam draf rencana ini, berpotensi memperlambat langkah reformasi sistem energi Indonesia menjadi lebih hijau dan ambisius.
Direktur Eksekutif dan Ekonom CELIOS, Bhima Yudhistira mengatakan, dokumen CIPP JETP masih cukup kontradiktif.
Target bauran energi terbarukan dalam CIPP cukup ambisius, yakni mencapai 44 persen pada 2030.
Namun, di sisi lain, hanya dua PLTU yang masuk daftar pensiun dini dalam skema ini, yaitu PLTU Pelabuhan Ratu dan PLTU Cirebon.
“Sebagian PLTU yang masuk pensiun dini, yakni PLTU Cirebon-1, sebenarnya sudah masuk dalam skema ETM (energy transition mechanism) mekanisme transisi energi. Jadi seolah tidak ada niatan untuk benar-benar melakukan penutupan PLTU batu bara. JETP menjadi tidak jelas, awalnya mau pensiun PLTU batu bara justru tidak dilakukan dengan serius,” tegas Bhima.
Direktur Program Transisi Bersih Harryadin Mahardika, menambahkan, hal yang sama pernah dilakukan Indonesia.
Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang diterbitkan pada 2014, Indonesia menargetkan bauran energi terbarukan 23 persen pada 2023 dan 31 persen pada 2050.
Namun pada saat yang sama, Indonesia juga memulai Program 35 Gigawatt (GW) yang mayoritas adalah PLTU batu bara.
Penambahan PLTU akhirnya justru menggerus ruang pengembangan energi terbarukan. Sehingga target bauran energi hijau tidak tercapai.
“Dalam dokumen CIPP, PLTU captive tidak dimasukkan. Padahal, pertumbuhannya sangat tinggi dari 1,3 GW pada 2013 menjadi 10,8 GW pada 2023, dan masih terus bertambah,” tegas Haryyadi.
"Lantaran PLTU captive akan tetap hasilkan emisi dalam jumlah besar," jelas Harryandi.
Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak mengungkapkan, sekalipun tetap perlu dihargai sebagai salah satu inisiatif transisi energi, dokumen CIPP masih kompromistis dan sangat jauh dari trayektori untuk menahan kenaikan suhu pada 1,5 derajat Celcius.
Pensiun dini PLTU yang hanya 1,6 GW dan PLTU captive yang tidak dihitung dalam dokumen CIPP, akan jadi ganjalan skenario menuju net zero emission.
Leonard menambahkan, belum lagi tentang rencana pemerintah dan sektor migas untuk menaikkan produksi minyak bumi menjadi 1 juta barel per hari (bph) dan gas bumi menjadi 12 miliar kaki kubik per hari pada 2030.
“Juga berbagai solusi palsu berbasis batu bara yang difasilitasi oleh RUU EBET. Semuanya itu berpotensi melumpuhkan skenario transisi energi Indonesia secara keseluruhan,” ujar Leonard
“Saya khawatir JETP bisa berakhir menjadi sebuah boutique project saja, tidak signifikan atau bahkan menjadi kosmetik dalam kompleksitas transisi energi Indonesia,” tegas Leonard.
Perbesar Dana Hibah
Koalisi CSO juga menyoroti porsi utang dan hibah dalam dana JETP.
Direktur Eksekutif dan Ekonom CELIOS, Bhima Yudhistira mengungkapkan, pendanaan dari negara maju (International Partners Group/IPG) sangat tidak menjunjung prinsip berkeadilan.
Utamanya, Amerika Serikat yang jumlah pinjaman non-konsensionalnya sangat besar. Hal ini berarti Indonesia akan menanggung pinjaman dengan bunga pasar.
"Apa fungsinya menunggu dokumen CIPP JETP dirilis kalau kesepakatan dengan negara maju hanya biasa saja, masih pinjaman yang sifatnya business as usual?" kata Bhima.
Perlu Memihak Masyarakat
Direktur Program Koaksi Indonesia, Verena Puspawardani mengingatkan, dokumen CIPP perlu terus dikawal agar menjadi rekomendasi yang kuat bagi Satuan Tugas Transisi Energi Nasional.
Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, partisipasi masyarakat, dan merangkul pemerintah daerah dalam mengelola transisi energi berkeadilan dengan pemetaan kebijakan hingga ke tingkat daerah.
Selain itu, penerapan kesetaraan gender, disabilitas, dan inklusi sosial (GEDSI) juga harus menjadi landasan yang memprioritaskan beragam kelompok rentan dan komunitas terdampak.
Dokumen CIPP, kata dia, juga mengakui transisi energi akan mendorong terciptanya pekerjaan hijau (green jobs), serta memperhitungkan potensi lapangan kerja yang hilang dan langkah mitigasinya.
Untuk itu, peningkatan kapasitas pekerja menjadi penting agar tetap dapat terserap di ekosistem energi terbarukan.
Selain itu, sektor industri lain perlu dikembangkan untuk mengurangi dampak meningkatnya pengangguran baru.
"Terkait green jobs, pemerintah telah memiliki inisiatif memajukan green jobs dengan adanya peta jalan. Hal ini perlu dimasukkan ke dalam dokumen CIPP untuk memperkuat kebijakan nasional dan regional sehingga memastikan kebijakan tersebut dimanfaatkan," tutur Verena.