Akhirnya Dibolehkan Masuk Militer Israel, Tim Dokter PBB Kaget dengan Yang Mereka Temukan di RS Nasser Gaza
Akhirnya Dibolehkan Masuk oleh Militer Israel, Tim Dokter PBB Kaget dengan Yang Mereka Temukan di RS Nasser Gaza
Pasukan Israel sebelumnya melarang dokter PBB masuk ke rumah sakit itu.
- Menteri Israel Ini Ingin Tinggal di Gaza Setelah Mengusir Warga Palestina
- Serang Klinik Bayi Tabung di Gaza, Israel Bunuh 5.000 Calon Jabang Bayi Ratusan Pasangan Palestina
- Kisah-Kisah Mencekam dari Penjara Israel, Tahanan Palestina Alami Penyiksaan Terburuk, Dipukuli Sampai Disetrum
- Seperti Sudah Diduga, Menteri Israel Sebut Pembebasan Tawanan di Gaza Tak Penting, Militer Punya Tujuan Lain
Akhirnya Dibolehkan Masuk Militer Israel, Tim Dokter PBB Kaget dengan Yang Mereka Temukan di RS Nasser Gaza
Setelah pasukan Israel menolak untuk memberikan akses ke Rumah Sakit Nasser di Gaza, Palestina, tim dokter PBB akhirnya dibolehkan memasuki rumah sakit itu akhir pekan lalu. Apa yang mereka saksikan membuat mereka terkejut.
“Ada sampah di mana-mana. Listrik padam. Sebagian rumah sakit rusak dan beberapa rusak parah akibat serangan Israel,” ujar Richard Peeperkorn, perwakilan WHO untuk wilayah Palestina kepada Aljazeera yang merilis video kondisi di dalam rumah sakit itu.
Athanasios Gargavanis, seorang ahli bedah trauma WHO, menggambarkan apa yang tersisa dari kompleks darurat Nasser sebagai "zona kematian".
WHO mengatakan mereka mengevakuasi puluhan pasien dalam kondisi kritis, termasuk dua anak-anak dari Nasser dan menyediakan obat-obatan dan kebutuhan lainnya untuk sekitar 130 orang yang masih berada di dalam fasilitas medis yang dikepung oleh pasukan Israel itu selama beberapa pekan.
Nasser adalah satu dari puluhan rumah sakit di Gaza yang diserang pasukan Israel dan tidak dapat beroperasi selama empat bulan terakhir.
Di bawah hukum internasional, menargetkan rumah sakit merupakan kejahatan perang.
"Rumah Sakit Nasser tidak memiliki listrik atau air yang mengalir, dan limbah medis serta sampah membuat rumah sakit ini menjadi tempat berkembang biaknya penyakit," tulis organisasi PBB di media sosial.
“Kehancuran di sekitar rumah sakit 'tak terlukiskan'. Daerah itu dikelilingi oleh bangunan yang terbakar dan hancur, lapisan puing-puing yang tebal, tanpa ada jalan yang masih utuh,” ujar salah seorang staf PBB, seperti dilansir laman Commondreams, Selasa (20/2).
"Kerusakan dan lumpuhnya Kompleks Medis Nasser merupakan pukulan besar bagi sistem kesehatan Gaza," tambah WHO.
"Fasilitas-fasilitas di bagian selatan sudah beroperasi melebihi kapasitas maksimum dan hampir tidak dapat menerima lebih banyak pasien. WHO mengulangi seruannya untuk melindungi pasien, petugas kesehatan, infrastruktur kesehatan, dan warga sipil. Rumah sakit tidak boleh demiliterisasi, disalahgunakan, atau diserang."
"Berapa banyak dari kita yang harus mati hanya untuk mendengarkan kita menyerukan kejahatan ini agar dihentikan?"
Pasukan Israel menyerbu Nasser pada Kamis lalu, mereka mengklaim tanpa memberikan bukti bahwa Hamas telah menggunakan fasilitas tersebut untuk menyandera para tawanan Israel.
Pemadaman listrik akibat penyerbuan tersebut menewaskan beberapa pasien yang membutuhkan oksigen, kata pejabat kesehatan Gaza, setidaknya satu orang tewas akibat serangan Israel ke departemen ortopedi Nasser.
Israel dilaporkan telah menangkap beberapa dokter di fasilitas tersebut.
"Di mana kemanusiaan? Mengapa hal ini terjadi pada kami?" kata Dr. Ahmad Moghrabi, kepala bedah plastik di Nasser, dalam sebuah wawancara dengan Aljazeera.
Organisasi Médecins Sans Frontières (MSF), yang juga dikenal sebagai Dokter Lintas Batas, mengatakan bahwa mereka "sangat prihatin dengan keselamatan" para pasien yang masih berada di dalam Nasser dan menyerukan agar mereka segera dievakuasi.
MSF mengatakan para stafnya melarikan diri dari Nasser karena takut dibunuh ketika penembak jitu Israel menargetkan orang-orang di dalam dan di sekitar fasilitas tersebut.
"Situasi di Rumah Sakit Nasser adalah contoh lain dari bagaimana fasilitas kesehatan dihancurkan satu per satu dalam perang ini," kata Guillemette Thomas, koordinator medis MSF untuk Palestina.