Kasus getok harga tak cuma di Anyer, Singapura lebih parah
Warga Singapura saja sampai resah. China telah mengimbau warganya hati-hati belanja di Negeri Singa. Waduh!
Beberapa bulan lalu, publik Indonesia terkejut mendapati praktik pedagang nakal menggetok turis di Pantai Karangbolong, Anyer, Banten. Ada keluarga yang wisata ke sana, harus pulang dengan dongkol lantaran biaya makan tak seberapa mencapai Rp 1 juta. Lebih jahat lagi, para pengusaha di sana sekongkol untuk tidak mencantumkan daftar harga di menu.
Kasus yang mencuat di Facebook itu sampai bikin pemda setempat mengimbau para pengusaha rumah makan agar tidak curang, sehingga merusak citra pariwisata Banten.
-
Apa yang diekspor ke Singapura? Sebanyak 557.280 butir telur ayam konsumsi diekspor ke Singapura dengan nilai SGD 101.730 atau setara Rp 1,15 M.
-
Kenapa ekspor telur ke Singapura bisa menjadi bukti keberhasilan Indonesia di pasar dunia? Singapura menjadi salah satu negara dengan standar mutu dan keamanan pangan yang tinggi, sehingga ekspor ini menjadi salah satu keberhasilan Indonesia di pasar dunia.
-
Bagaimana Singapura dikenal dunia? Singapore size is not as big as Indonesia, but the city ranks highly in numerous international rankings for its education, entertainment, finance, healthcare, human capital, innovation, logistics, manufacturing, technology, tourism, trade, and transport.
-
Kapan Singapura merdeka? Singapore Independence Day was on the 9th of August 1965.
-
Siapa yang melakukan ekspor telur ke Singapura? Saat melepas ekspor di Kantor Charoen Pokhpand Indonesia (CPI) Jakarta, Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (Mentan SYL), menyebut pihaknya telah berupaya dan berhasil membuka akses pasar telur ke Singapura sejak Mei 2023.
-
Kenapa Singapura dianggap kota teraman bagi wisatawan? Diketahui, studi tersebut menganalisis faktor-faktor seperti kejahatan, kualitas perawatan kesehatan, dan risiko bencana alam, yang memberikan skor keselamatan dari 0 hingga 100 dengan kota teraman menerima skor terendah.
Tapi, dibanding Anyer, negeri jiran rupanya lebih parah dalam urusan menggetok turis. Apalagi yang tidak bisa berbahasa Inggris.
Singapura yang selama beberapa dekade terakhir dikenal sebagai surga belanja kini berkali-kali dihantam kasus pedagang nakal. Iming-iming bebas bea keluar yang jadi andalan negara kota itupun pun tak ada guna, bila pembeli digetok.
Mal Sim Lim Singapura, salah satu pusat belanja elektronik mirip Glodok di Jakarta, beberapa waktu lalu diserbu polisi. Aparat bergerak lantaran beberapa kios sudah berulang kali merugikan pelanggan, khususnya turis asing.
Ada bermacam modus dilakukan. Mulai dari memaksa turis yang tak bisa berbahasa Inggris menandatangani kontrak yang tak masuk akal. Atau menambah layanan tapi tak bilang-bilang, sehingga tagihan bengkak. Jumlah duit yang digetok bisa mencapai belasan juta Rupiah.Selain di Sim Lim,pembaca merdeka.com melaporkan Lucky Plaza termasuk 'berbahaya' buat belanja alat elektronik.
Para netizen Singapura, terutama yang tergabung dalam forum The Real Singapore mengeluhkan semakin banyaknya jumlah pengusaha nakal. Kalau kabar semacam ini terus berulang, maka wisatawan akan kabur dan malas pelesir ke Negeri Singa.
Masalah makin runyam lantaran sosiasi Konsumen Singapura (CASE) tak punya taji menghukum pedagang nakal. "Kami bukan bangsa penipu, kita harus melakukan sesuatu," ujar salah satu netizen.
Seperti apa memangnya kelakuan pengusaha nakal Singapura menggetok turis? Berikut rangkumannya oleh merdeka.com:
Bayar garansi dua kali harga ponsel
Insiden kios Mobile Air di Mal Sim Lim bulan lalu mendunia. Pengusaha nakal bernama Jover Chew memaksa turis asal Vietnam membayar iPhone 6 lebih dari Rp 20 juta dengan trik mewajibkan ongkos garansi.
Kemarahan muncul, ketika insiden Pham Van Thoai terungkap media awal pekan ini. Turis nahas itu bersama pacarnya membeli ponsel anyar buatan Apple itu dengan harga normal USD 950 (setara Rp 11,5 juta).Â
Tapi, karena tidak bisa berbahasa Inggris, dia dipaksa pegawai Mobile Air menandatangani dokumen, isinya mewajibkan Pham membayar garansi USD 1.500. Kalau tidak dibayar tunai, ponsel itu tak boleh dia bawa pulang.
Tahu dirinya dikerjai, Pham sampai menangis dan bersujud minta uangnya dikembalikan. Di negaranya, pria itu cuma bekerja sebagai pegawai pabrik. Ditangani Asosiasi Konsumen Singapura (CASE), pria Vietnam itu cuma mendapat pengembalian uang USD 400.
Diakali, duit kembali tapi berwujud receh
Lagi-lagi pengusaha dari Mal Sim Lim berulah. Kali ini korbannya adalah turis asal China daratan bernama Zhou.Â
Tak jauh beda dari Pam, dia awalnya dipaksa menandatangani kontrak garansi yang wajib dibayar di muka untuk pembelian iPhone 6 plus. Sempat bayar, Zhou baru sadar dikerjai. Dia lalu minta uangnya kembali.
Toko itu akhirnya bersedia mengembalikan selisih senilai 1.000 Dolar Singapura (setara Rp 9,3 juta). Jahatnya, kembalian itu diberikan dalam bentuk receh. Zhou kepada situs berita Tencent merasa dihina.
Akibat insiden ini, pemerintah China pada 6 November lalu sampai mengingatkan warganya agar menghindari belanja di Singapura.Â
Perawatan kuku standar sampai Rp 12 juta
Untuk kasus ini, korbannya adalah pasangan turis asal Bahrain. Mereka bersantai sambil dirawat kukunya di Quiche Nail Spa, Mal Marina Square. Betapa terkejutnya mereka, setelah perawatan selesai, tagihan mencapai 1,259 Dolar Singapura atau setara Rp 12 juta.
Padahal, pelayan di spa itu menyatakan paket perawatan kuku cuma senilai 128 Dolar Singapura per orang.Â
Sang korban bernama Michelle Ong dan suaminya Ali Hasan Aldhaen asal Bahrain, merasa dikibuli. Bahkan biaya manicure di Hotel tempat mereka menginap di Sentosa cuma 75 Dolar Singapura.
"Dengan biaya semahal itu, seharusnya kuku saya dilapisi emas," kata Ong seperti dilansir The Real Singapore, Selasa (16/12).
Saat didatangi, pengelola Quinche Spa menolak disebut sengaja menggetok. "Mereka bilang itu ongkos yang wajar karena spa tersebut adalah tempat perawatan kuku premium," kata Ong.
Beberapa saat berdebat, Ong dan suaminya cuma mendapat ganti rugi 140 Dolar Singapura.
Ali ogah memperpanjang masalah dengan Salon Quinche. Dia mendengar Badan Perlindungan Konsumen Singapura (CASE) justru tak responsif pada keluhan turis. Ali berharap pengusaha di Singapura bisa menghentikan kebiasaan buruk beberapa rekan mereka.
"Jangan sampai kejadian yang menimpa kami terulang supaya reputasi Singapura tidak ternoda. Tarif manicure kami itu setara gaji pegawai sebulan," kata pria 45 tahun itu.