Kasus TPPO Meningkat, KBRI Ankara Ingatkan Turki Bukan Negara Tujuan Pekerja ART
Di awal 2021, kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang melibatkan WNI di Turki meningkat.
Di awal 2021, kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang melibatkan WNI di Turki meningkat. Dari Januari sampai hari ini, KBRI di Ankara mencatat ada 19 kasus TPPO. Sementara tahun lalu, kasus TPPO hanya 20.
“Jadi sudah hampir sama dengan jumlah kasus tahun lalu,” jelas Dubes RI untuk Turki, Lalu Muhammad Iqbal dalam konferensi pers, Senin (5/4).
-
Apa yang diprotes bocah Turki itu? Dengan nada tinggi, bocah itu memprotes alasan penjual toko menjual produk Israel.
-
Siapa yang diprotes bocah Turki itu? Bocil Turki Marah-Marah ke Pemilik Toko karena Jual Produk Israel, Gebrak Meja Minta Hentikan Penjualan Bocah itu kesal karena pemilik toko memberikannya keripik buatan Israel tanpa sepengetahuannya.
-
Apa yang ditemukan dalam penggalian di Turki? Sekelompok arkeolog Turki menemukan tengkorak yang diperkirakan berusia 6.000 tahun di salah satu dari sembilan makam selama penggalian di distrik Afsin, Kahramanmaras, Turki.
-
Kapan wisuda anggota Polri di Turki? Acara tersebut diselenggarakan pada 26 Juli 2023 waktu setempat.
-
Kenapa prajurit TNI menganiaya anggota KKB? Penyiksaan itu dilakukan prajurit TNI diduga kesal atas sikap Denius Kogoya yang ingin menebar teror membakar puskesmas kala itu.
-
Bagaimana bocah Turki itu protes? Dengan nada tinggi, bocah itu memprotes alasan penjual toko menjual produk Israel. Bocah itu sampai menggeberak meja di hadapan pemilik toko. Lantas ia pun meminta pemilik toko untuk tidak menjual barang tersebut.
“Terjadi peningkatan yang sangat pesat kasus perdangangan manusia ini. Pada umumnya adalah mereka dipekerjakan sebagai asisten rumah tangga di Turki, dan semua kasusnya tidak melibatkan orang Turki,” lanjutnya.
Iqbal menyampaikan, TPPO ini melibatkan warga negara dari negara-negara konflik di sekitar Turki yang menetap di negara tersebut. Hal yang menjadi persoalan ialah perlakuan warga negara asing di Turki ini sama dengan yang ada di negara asalnya.
“Kenapa tidak ada orang Turki yang terlibat disitu, karena memang di Turki sektor asisten rumah tangga itu bukan termasuk sektor yang boleh untuk orang asing,” jelasnya.
Alasan kedua ialah orang Turki tidak menggunakan ART. Turki juga tidak pernah menjadi negara tujuan pekerja sektor domestik sehingga tidak terdaftar sebagai negara tujuan pekerja ART.
“Kondisi ini cukup mengkhawatirkan,” tambahnya.
Iqbal melanjutkan, kepolisian Turki khususnya kepolisian khusus yang menangani perdanganan manusia sangat kooperatif. Iqbal juga berpesan kepada WNI agar tidak tergiur dengan tawaran bekerja sebagai ART di Turki.
“Di Turki sendiri, sektor asisten rumah tangga ini bukan sektor yang terbuka untuk orang asing. Karena itu hampir dipastikan semua orang yang ke Turki dengan tawaran sebagai asisten rumah tangga dipastikan ilegal, dan itu sangat rentan menjadi korban perdanganan manusia,” paparnya.
Menurut Iqbal, banyak warga dari negara konflik tinggal di Turki salah satunya karena mereka bisa mendapatkan hak sebagai warga negara Turki dengan berinvestasi misalnya dengan membeli apartemen seharga USD 250.000.
“Ini banyak dimanfaatkan oleh warga negara asing yang kaya di sekitar Turki untuk masuk. Begitu mereka masuk di sini, kulturnya sama. Mereka harus punya ART,” jelasnya.
Terkait siapa yang terlibat mengirim WNI yang menjadi korban TPPO ini, Iqbal menyampaikan ada keterlibatan perusahaan asing dan perusahaan Indonesia, dan individu atau sponsor dari Indonesia. Dalam sebagian besar kasus yang ditemukan, sponsornya adalah keluarga dekat korban yang memberangkatkan mereka ke Turki.
“Ada dua prosesnya, satu ada yang bekerja di Turki untuk orang asing di Turki. Kedua, menjadikan Turki sebagai batu lompatan,” ujarnya.
Biasanya mereka tinggal beberapa hari di Turki kemudian menuju negara lain seperti Irak dan negara-negara konflik di sekitarnya.
“Ini modus yang terjadi. Dan alhamdulillah sebagian besar sudah kita pulangkan,” kata Iqbal.
Selain bekerja sama dengan kepolisian Turki untuk proses hukum, pihak KBRI juga melakukan wawancara secara mendalam untuk mendeteksi kasus TPPO ini. KBRI juga selalu memastikan para korban tidak dikenai hukum keimigrasian.
Berdasarkan Protokol Palermo, yang menjadi dasar penanganan perdagangan manusia, jika seseorang melakukan pelanggaran pidana atau keimigrasian sebagai akibat langsung dari dia menjadi korban perdagangan manusia, maka pelanggaran keimigrasian dan pelanggaran pidananya bisa dikesampingkan.
“Dan itu yang selalu kita request ke pemerintah Turki dan itu selalu dipenuhi oleh pemerintah Turki sehingga semua kasus perdagangan manusia kita di Turki, walaupun kasus hukumnya berjalan di pengadilan tapi orangnya bisa langsung dipulangkan. Dan another proses hukum juga dilakukan di Indonesia oleh Polri,” pungkasnya.
(mdk/pan)