Komandan Militer Israel Naik Jabatan Setelah Bunuh Kakek Palestina di Tepi Barat
Amerika Serikat (AS) menetapkan tindakan Israel tersebut pelanggaran HAM berat.
Amerika Serikat (AS) menetapkan tindakan Israel tersebut pelanggaran HAM berat.
- Kesaksian Perwira Tentara AS Biadabnya Israel Sengaja Membom Warga & Anak-Anak Gaza, Ungkap Keterlibatan Amerika
- Komandan Israel Perintahkan Pasukannya Bakar Rumah-Rumah Warga Palestina di Gaza
- Tangguh, Kekuatan Militer Indonesia Kalahkan Israel dan Jerman
- Militer Israel Akui Tembak Mati Tiga Tawanan Israel di Gaza karena Dikira Ancaman
Komandan Militer Israel Naik Jabatan Setelah Bunuh Kakek Palestina di Tepi Barat
Mantan komandan batalion Netzah Yehuda, unit militer Israel yang dituduh AS melakukan pelanggaran HAM berat terhadap warga Palestina di Tepi Barat yang diduduki sebelum 7 Oktober, naik jabatan dan sekarang bertugas melatih tentara Israel dan memimpin operasi di Gaza. Hal ini merupakan hasil investigasi CNN yang diterbitkan pada 14 Juli.
Pada April, Departemen Luar Negeri AS menyampaikan, pihaknya menetapkan bahwa batalion Yehuda, dibentuk pada awalnya untuk mengakomodir orang Yahudi ultra ortodoks dalam militer, telah melakukan pelanggaran HAM berat.
Departemen Luar Negeri mempertimbangkan untuk membatasi bantuan militer AS ke unit yang berbasis di Leahy Law ini. UU menyatakan bahwa pemerintah AS tidak bisa memberikan bantuan ke unit militer dari sekutu luar negerinya yang terbukti melakukan pelanggaran HAM sampai dilakukan reformasi.
Hanya Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken atau Wakil Menteri Luar Negeri yang bisa memutuskan apakah uni tersebut masih memenuhi syarat untuk menerima bantuan militer AS.
Menurut pengakuan dari seorang mantan tentara di batalion Netzah Yehuda kepada CNN,
komandan mereka mendorong "budaya kekerasan" dan "hukuman kolektif" terhadap warga Palestina.
Tentara tersebut mencontohkan tindakan yang pernah mereka lakukan yaitu menyerang sebuah desa Palestina dan menyerbu rumah-rumah secara acak dengan granat setrum dan granat gas sebagai balasan pelemparan batu yang dilakukan anak-anak Palestina. Demikian dikutip dari The Cradle, Senin (15/7).
Namun, menurut temuan CNN, setelah Departemen Luar Negeri AS mengancam akan menjatuhkan sanksi terhadap batalian Netzah Yehuda, para komandannya dipromosikan dan sekarang melatih para tentara dan memimpin operasi di Gaza.
"Salah satu insiden yang paling mengejutkan dan dilaporkan secara luas melibatkan batalion Netzah Yehuda adalah kematian seorang pria Palestina-Amerika berusia 78 tahun," tulis CNN.
Pada Januari 2022, tentara dari batalion Netzah Yehuda menyerang rumah Omar Assad di desa Jiljilya di Tepi Barat yang diduduki. Mereka membungkan mulut Assad dengan tangannya sendiri sampai kakek tersebut meninggal.
Mantan dan pejabat AS yang masih menjabat saat ini mengatakan kepada CNN, Departemen Luar Negeri juga menemukan unit militer Israel lainnya yang melakukan pelanggaran HAM termasuk dari komando polisi khusus Yamam, Polisi Perbatasan, dan Pasukan Keamanan Internal Israel (IISF). Namun, departemen tersebut belum memutuskan bantuannya ke unit-unit militer ini.
Salah satu pelanggaran yang dilakukan adalah pemerkosaan anak laki-laki berusia 15 tahun oleh seorang interogator atau pemeriksa IISF di sebuah penjara yang dikenal dengan nama Russian Compound di Yerusalem pada Januari 2021.
Mantan direktur biro urusan politik-militer Departemen Luar Negeri, Josh Paul menyampaikan sebuah badan amal melaporkan pemerkosaan tersebut ke Departemen Luar Negeri, sehingga menimbulkan tuduhan yang “kredibel” kepada pemerintah Israel.
“Dan tahukah Anda apa yang terjadi keesokan harinya? IDF (pasukan penjajah Israel) masuk ke kantor (badan amal) dan mengambil semua komputer mereka dan menyatakan mereka sebagai entitas teroris,” kata Paul kepada Christiane Amanpour dari CNN.
Paul menambahkan, unit-unit Israel yang dituduh melakukan pelanggaran HAM tidak melakukan apa pun untuk reformasi.
Fakta bahwa AS tidak pernah menjatuhkan sanksi terhadap unit militer Israel menunjukkan “kurangnya kemauan politik dan keberanian moral untuk meminta pertanggungjawaban Israel,” jelas Paul.