Lima teori populer ini jelaskan dalang di balik ISIS
Imam Masjid Nabawi kemarin menegaskan dalang ISIS adalah Amerika. Tapi empat teori lain juga populer. Apa saja?
Kamis (26/2), Imam Masjid Nabawi, Syekh Ali Jaber yang berceramah di Banda Aceh melontarkan pernyataan mengejutkan. Dia tegas menyebut Negara Islam Irak dan Syam (ISIS) bikin rusuh dunia Arab beberapa waktu terakhir, sebetulnya didalangi Amerika Serikat.
"Amerika itu musuhnya Islam, ISIS dibentuk oleh Amerika. Meskipun mereka berteriak Allahu Akbar, tetapi sesungguhnya Islam itu di hati," kata Syekh Jaber.
-
Bagaimana Israel melancarkan serangan ke Irak? Delapan pesawat tempur F-16 yang masing-masing membawa bom seberat nyaris satu ton. Ditambah enam pesawat tempur F-15 yang bertugas memberikan perlindungan udara bagi pesawat F-16 tersebut. Misi mereka menghancurkan fasilitas nuklir Irak yang disebut Osirak di kompleks El Tuwaitha, tak jauh dari Baghdad.
-
Apa yang dilakukan pasutri pro Zionis Israel di Amerika Serikat? Pasangan suami istri pro Zionis Israel ini ingin membuktikan kepada dunia bahwa aksi mahasiswa pro Palestina di Universitas Yale itu anti-demit. Terlihat sang istri mengenakan kaos berwarna putih yang bertuliskan Israel dan Jew. Ia berdiri di antara para mahasiswa di Amerika Serikat tersebut. Sementara suaminya tampak merekam aksi sang istri.Ia berdiri menunggu mahasiswa pro Palestina datang menghampirinya. Ia berharap ada mahasiswa yang 'menyerangnya'.
-
Kenapa Brigade al-Qassam menyerang tentara Israel? Senjata Andalan Penghancur Tank Brigade al-Qassam bukan pertama kali menggunakan senjata tersebut.
-
Apa saja yang dikirimkan Amerika Serikat ke Israel? AS telah mengirim pesawat A4 Skyhawk dan rudal ke Israel,” Israel belum puas dengan semua pesenjataan itu. Tahun 1968, Israel makin menuntut dengan meminta pesawat F4 Phantom. Pesawat tercanggih milik AS kala itu. Dengan murah hati, Amerika pun mengabulkannya. Pada bulan November, 50 pesawat Phantom dikirim untuk memperkuat AU Israel.
-
Bagaimana Israel menjalankan propaganda mereka di Amerika Serikat? Voices of Israel bekerja melalui organisasi nirlaba dan entitas lain yang seringkali tidak mengungkapkan informasi donor.
-
Apa yang dilakukan Israel terkait perang dengan Hamas? Menteri Keamanan Nasional Israel, Itmar Ben-Gvir mengatakan, pemerintah Israel akan membagikan 4.000 pucuk senapan serbu.
Sedikit kilas balik, organisasi militan pendukung khilafah Islamiyah ini seakan muncul dari kegelapan.
Pada awal 2014, ribuan orang dengan seragam, bendera hitam, serta persenjataan lengkap serentak bermunculan di Provinsi Aleppo, Suriah. Gerakan yang sama muncul di Provinsi Diyala, Irak.
Mereka awalnya menjarah bank. Mendekati April 2014, para militan ini mulai menyerang ladang minyak. Seturut itu, teror di Timur Tengah menggila. Ribuan orang, sipil maupun tentara, tua-muda, laki-perempuan, semua dibantai oleh kekuatan baru tersebut.
Tak lama, muncul maklumat dari pria bernama Abubakar al-Baghdadi. Dia mengklaim sebagai khalifah negara baru berlandaskan sepenuhnya pada agama Islam. Pada 29 Juni 2014, ISIS diproklamirkan dalam khotbah di Masjid Agung Kota Mosul, Irak.
Hanya berselang sebulan, ISIS bagaikan wabah menyebar ke seluruh dunia. Mesin propaganda kelompok militan itu sangat siap di dunia maya. Ribuan muslim diajak bergabung untuk mempertahankan khilafah diklaim penerus kejayaan Islam tersebut.
Dari awalnya hanya pasukan sebesar 50 ribu personil, ISIS menjelma jadi garda yang sanggup menandingi kekuatan militer dua negara. Tiap bulan ratusan orang dari seluruh dunia bergabung. Kebanyakan anak muda, termasuk dari Indonesia.
Tapi sepak terjang ISIS memicu ketakutan di mana-mana. Para militan menculik warga asing, baik dari Amerika Serikat, Mesir, hingga Jepang, meresahkan publik dunia. Korban sipil jatuh sia-sia. Dua hari terakhir, ISIS menghancurkan perpustakaan dan monumen bersejarah di Mosul.
Bukannya mendukung, negara-negara di Timur Tengah ikut gerah atas keberadaan ISIS. Serangan militer koalisi Arab dan Barat pun digelar setengah tahun terakhir. Tapi, publik selalu penasaran dengan dalang sebenarnya di balik ISIS.
Siapa sebetulnya Abubakar al-Baghdadi? Kenapa dia bisa menggaet ribuan orang untuk setia dalam waktu singkat? Apa hubungan ISIS dengan kelompok teror lain di Timur Tengah? Lebih penting lagi, dipasok dari mana dana organisasi sebesar ISIS, apakah hasil jualan minyak curian dan menjarah bank?
Media massa kredibel seperti Aljazeera, International Business Times, majalah TIME, Al Arabiya, hingga BBC berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Berikut rangkuman merdeka.com terhadap lima teori utama yang berusaha menjelaskan dalang di balik sepak terjang ISIS. Masing-masing teori itu memiliki cukup data untuk mendukung klaimnya.
Selamat membaca!
Pecahan Al Qaidah Irak
New York Times menurunkan laporan panjang melacak sejarah hidup Abubakar al-Baghdadi. Dia militan radikal asal Irak yang pernah tertangkap militer AS di Kota Fallujah pada 2004.
Setelah dikirim ke penjara khusus di Irak, dia justru semakin radikal. Ketika bebas dari bui, al-Baghdadi bergabung dengan Al Qaidah cabang ISIS.
Selepas kematian Usamah bin Ladin, terjadi perebutan kekuasaan. Faksi al-Baghdadi mengambil kendali lalu membentuk embrio ISIS sejak 2013.
Hal ini dipastikan oleh Sarjana Irak Hisham al-Hashimi. "Sederhana saja, ISIS adalah pecahan Al Qaidah. Benihnya sudah muncul ketika Abu Mus'ab al-Zarqawi mendirikan Negara Islam Irak pada 2006," kata Hisham.
Baghdadi merangkak ke atas setelah serangan AS menewaskan Zarqawi pada 2006. Empat tahun kemudian, Abu Abdullah Rasyid Baghdadi, pengganti Zarqawi, terbunuh dalam serangan udara Amerika terhadap rumah persembunyiannya di Kota Tikrit.Â
Lalu dari mana semua dana operasional yang terkesan melimpah? Hisham menjelaskan saat merampok beberapa bank di Kota Raqqa, Aleppo, serta Anbar, ISIS berhasil meraup emas dalam jumlah besar. Modal awal itu senilai USD 400 juta. Ditambah kini mereka menguasai beberapa ladang minyak jarahan.
Boneka Saudi dan Turki melawan Iran
Berbeda dari teori pertama tadi, surat kabar the Final Call asal Amerika Serikat menyodorkan cerita yang sangat berbeda. ISIS bukanlah pecahan Al Qaidah, melainkan organisasi baru yang sudah disiapkan sejak 2007.
Siapa dalangnya? Menurut informan dari Nations of Islam, dana terbesar datang dari Arab Saudi dan Turki. Kedua negara itu dituding donor besar untuk setiap gerakan Sunni radikal, termasuk Ikhwanul Muslimin.
"Tidak hanya menyediakan dana, Saudi dan Turki melatih sekaligus mempersenjatai ISIS sejak lama," tulis surat kabar tersebut.
USA Today sempat menurunkan laporan yang mirip. Saudi disebut-sebut mengetahui sepak terjang ISIS. Bocoran memo di internal Saudi menyatakan ada pengiriman puluhan narapidana teroris ke Suriah.
Lalu apa agenda Saudi atau Turki mendanai organisasi radikal skala besar seperti ISIS?
Menurut mantan Kepala Dinas Intelijen Inggris (MI5) Richard Dearlove, ini adalah kepentingan geopolitik untuk menguasai kawasan perbatasan dengan Eropa dan Afrika. Terutama mengamankan ladang minyak dari pengaruh Iran, yang dikuasai ulama mazhab Syiah. Di Irak dan Suriah, kebetulan rezim yang kini dominan berasal dari kalangan Ahlul Bait.
"Rezim penguasa Sunni di kawasan selalu tertarik dengan gagasan mengatasi penyebaran pengaruh Syiah," tuturnya.
Mainan para saudagar minyak
Sedikit berbeda dari teori Sunni vs Syiah, penjelasan berikut ini menempatkan ISIS murni sebagai alat untuk motif ekonomi.
Situs truthout.org mengklaim orang-orang kaya di Teluk adalah para pemain utama yang mendanai al-Baghdadi. Para saudagar yang mayoritas berbisnis minyak ini berasal dari Qatar, Kuwait, Arab Saudi, maupun Uni Emirat Arab.
Teori ini didasarkan pada bocoran kabel mantan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton yang menyebut Saudi tidak bisa mengendalikan orang-orang kaya di kawasan.
"Saudi mungkin peduli dengan ancaman terorisme di sekitarnya. Tapi pemerintah Saudi selalu membiarkan pendonor organisasi teror berkeliaran."
Memang apa tujuan para emir itu mendanai Baghdadi Cs? Murni soal uang.Â
ISIS mendapat untung USD 1 juta setiap hari dari menjual minyak mentah yang diambil dari ladang-ladang minyak di Suriah dan Irak.
Dari kilang-kilang minyak yang dikuasai, ISIS bisa memproduksi 50.000 barel setiap hari. Mereka menjualnya di pasar gelap, seperti Turki, dengan harga yang murah.
Proyek intelijen Mossad
Ini adalah teori yang cukup populer sejak kemunculan ISIS tahun lalu. Dinas Intelijen Luar Negeri Israel (Mossad) disebut dalang utama di balik kemunculan militan khilafah Islamiyah.
Kabar mengejutkan diembuskan Veterans Today. Jurnal bidang militer dan luar negeri ini menyebut pemimpin Negara Islam Irak dan Syam (ISIS) Abu Bakar al-Baghdadi sebenarnya adalah orang Yahudi dan merupakan agen Mossad.
Nama asli Baghdadi adalah Emir Daash alias Simon Elliot. Dia lahir dari orang tua Yahudi. Elliot direkrut dan dilatih oleh Mossad buat memata-matai dan melancarkan perang urat syaraf terhadap masyarakat Arab dan muslim.Â
Informasi dari Edward Snowden itu mengungkapkan Elliot alias al-Baghdadi bertugas menarik para teroris dari seluruh dunia. "Satu-satunya solusi untuk melindungi negara Yahudi adalah dengan menciptakan musuh di dekat perbatasannya," menurut dokumen dirilis Snowden.
ISIS dibentuk tiga negara, otaknya AS
Ini teori yang paling banyak dipercaya pelbagai kalangan setelah sepak terjang ISIS bikin resah. Berbeda dari teori sebelumnya, Israel tidak bergerak sendiri mendirikan pasukan negara Islam.
Sebaliknya, ada tiga negara yang terlibat. Selain Negara Zionis, Inggris juga ikut urun dana sekaligus persenjataan. Otaknya adalah Amerika Serikat. Teori inilah yang disampaikan Imam Masjid Nabawi, Syekh Ali Jaber saat melawat ke Aceh kemarin.
Laporan khusus the Guardian menyatakan banyak sumber militan di Yordania justru kaget dengan agenda-agenda ISIS.Â
"Mereka dibentuk untuk memperkuat solidaritas negara-negara sekuler melawan Islam," sebut seorang militan Sunni.
Laporan the Telegraph menegaskan Amerika Serikat setidaknya tahu sejak awal, akan muncul gerakan ISIS. Soalnya, pasukan di Irak dan Suriah ini sebetulnya organ-organ kecil yang dulu dibina CIA.
"Kalaupun tidak membentuk langsung, Amerika mendukung pembentukan ISIS secara tidak langsung," tulis analis politik luar negeri Peter Oborne.
(mdk/ard)