Negara Ini Dipenuhi Ranjau Darat dan Amunisi Mematikan, Sampai Catat Rekor Dunia Jumlah Korban Tewas Terbanyak Akibat Ledakan Ranjau
Konflik berkepanjangan antara militer dan kelompok etnis membuat negara ini berbahaya.
Menurut laporan lembaga pemantau pada Rabu (20/11), ranjau darat dan amunisi yang tidak meledak menjadi penyebab korban terbanyak di Myanmar dibandingkan negara lain pada 2023. Konflik yang berlangsung selama puluhan tahun antara militer dan kelompok pemberontak etnis telah menjadikan Myanmar sebagai wilayah yang dipenuhi ranjau darat serta amunisi mematikan.
Kudeta militer terhadap pemerintahan Aung San Suu Kyi pada 2021 semakin memperburuk keadaan dan melahirkan banyak Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF) baru yang kini berjuang melawan militer.
- Mantan Kombatan GAM Bakal Dapat Lahan Sebelum Pelantikan Prabowo-Gibran
- BUMN Pertahanan: Perang di Beberapa Negara Buka Peluang Bisnis, tapi Rantai Pasok Terganggu
- Dulunya Memisahkan Daratan Kudus dengan Demak, Ini Jejak Keberadaan Selat Muria yang Masih Dijumpai Kini
- Relawan Dianiaya TNI di Boyolali, TPN Ganjar Bakal Lapor Komnas HAM
"Ranjau darat anti-personel dan sisa-sisa ledakan perang telah membunuh atau melukai 1.003 orang di Myanmar pada tahun 2023," jelas laporan Kampanye Internasional untuk Melarang Ranjau Darat (ICBL), seperti dikutip dari CNA pada Kamis (21/11).
Dalam laporan tersebut, disebutkan juga terdapat 933 korban ranjau darat di Suriah, 651 di Afghanistan, dan 580 di Ukraina. Yeshua Moser-Puangsuwan dari ICBL menyatakan dengan adanya konflik dan berbagai pembatasan di Myanmar, survei darat menjadi tidak mungkin dilakukan, sehingga jumlah korban sebenarnya kemungkinan jauh lebih tinggi dari yang dilaporkan.
"Berapa banyak lagi? Dua kali lipat? Tiga kali lipat? Sangat mungkin... Tidak ada sistem pengawasan medis di negara ini yang dapat memberikan data resmi dalam bentuk apa pun," ujarnya dalam konferensi pers di Bangkok.
"Tidak ada kelompok bersenjata di Myanmar, baik dari militer, kelompok etnis bersenjata, maupun PDF yang memberikan data mengenai jumlah korban yang mereka miliki."
Moser-Puangsuwan juga menekankan, berdasarkan bukti anekdotal, jumlah korban sangat besar. Myanmar tidak menjadi penandatangan konvensi PBB yang melarang penggunaan, penimbunan, atau pengembangan ranjau anti-personel. ICBL mencatat bahwa penggunaan ranjau anti-personel oleh militer telah meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, termasuk di sekitar infrastruktur seperti menara telepon seluler dan jaringan pipa energi, yang sering kali menjadi target para penentang militer.
Korban Warga Sipil
Selama beberapa dekade konflik internal, militer Myanmar sering kali dituduh melakukan berbagai kekejaman dan kejahatan perang. Menurut ICBL, terdapat bukti yang menunjukkan pasukan junta militer memaksa warga sipil untuk berjalan di depan unit mereka dengan tujuan "membersihkan" area yang terkena ranjau.
ICBL mengungkapkan, pihaknya telah meninjau foto-foto yang menunjukkan penemuan ranjau anti-personel yang diproduksi di Myanmar, yang disita oleh para penentang militer setiap bulan antara Januari 2022 hingga September 2024 di hampir seluruh wilayah negara tersebut. Berdasarkan laporan PBB, lebih dari 3 juta orang terpaksa mengungsi akibat konflik yang terjadi setelah kudeta.
"Semua pihak yang terlibat dalam pertempuran menggunakan ranjau darat tanpa pandang bulu," ungkap UNICEF pada April lalu.
Kelompok pemberontak juga mengaku kepada AFP, mereka turut memasang ranjau di beberapa daerah di bawah kendali mereka.
ICBL mencatat, tahun lalu sedikitnya 5.757 orang menjadi korban ranjau darat dan sisa-sisa bahan peledak perang di seluruh dunia, dengan 1.983 di antaranya meninggal dunia.
"Warga sipil merupakan 84 persen dari semua korban yang tercatat," jelas ICBL.
Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 2022, ketika ICBL mencatat setidaknya 4.710 korban, termasuk 1.661 kematian. Hal ini menunjukkan situasi di lapangan semakin memburuk dan menambah tantangan bagi upaya perlindungan warga sipil di Myanmar.