Peneliti Ungkap Gara-Gara Kecerdasan Buatan Manusia Tidak Pernah Temukan Alien, Begini Penjelasannya
Pengembangan teknologi kecerdasan buatan atau AI oleh para peneliti mengalami kemajuan pesat selama beberapa tahun terakhir.
Pengembangan teknologi kecerdasan buatan atau AI oleh para peneliti mengalami kemajuan pesat selama beberapa tahun terakhir.
-
Warna apa yang diprediksi para ilmuwan akan dimiliki alien? Mengutip Live Science, Selasa (11/6), penelitian menunjukkan bahwa alien mungkin memiliki warna merah, biru, atau hijau untuk melindungi diri dari sinar ultraviolet yang ekstrem. Mereka mungkin memiliki pigmen atau protein yang menyerap sinar UV, sehingga membuat mereka bersinar dalam warna yang aman.
-
Apa saja isu negatif yang ditimbulkan oleh penggunaan AI? Contoh dari sisi negatif kecerdasan buatan ini, seperti kesalahan analisa akibat misinformasi berita, perlindungan hak cipta, sampai hal-hal yang terkait kemanusian.
-
Dimana dampak negatif AI bisa terjadi? Potensi ancaman yang dapat terjadi berkaitan dengan perubahan kehidupan sosial, ekonomi, bahkan pertahanan akibat penyelenggaraan kecerdasan artifisial.
-
Apa yang dibayangkan oleh AI? Hasilnya sungguh memesona. Coldplay memainkan musik mereka di tengah latar belakang Gunung Bromo yang diselimuti kabut, menambah pesona dan kemegahan dari acara tersebut. Ribuan penonton terlihat memadati area tersebut.
-
Apa saja yang menjadi kekhawatiran para tokoh AI dunia tentang dampak buruk AI? Meskipun terdapat optimisme tentang potensi manfaatnya, penting untuk memperhitungkan risiko terkait dengan kemajuan yang cepat dalam kecerdasan buatan.
-
Mengapa para ilmuwan menganggap klaim tentang 'mayat alien' sebagai 'omong kosong'? Rafael Bojalil-Parra, direktur penguatan penelitian di Metropolitan Autonomous University di Kota Meksiko, menyebut klaim tersebut sebagai "total omong kosong" dan mencerminkan suasana anti-ilmiah yang tengah melanda negara mereka.
Peneliti Ungkap Gara-Gara Kecerdasan Buatan Manusia Tidak Pernah Temukan Alien, Begini Penjelasannya
Pengembangan teknologi kecerdasan buatan atau AI oleh para peneliti mengalami kemajuan pesat selama beberapa tahun terakhir. Salah satu teknologi tersebut adalah artificial superintelligence atau ASI, suatu bentuk AI yang tidak hanya melampaui kecerdasan manusia tapi juga tidak akan dibatasi oleh kecepatan belajar manusia.
Ide pembuatan ASI ini merupakan inti dari sebuah penelitian yang diterbitkan baru-baru ini di Acta Astronautica. Kemungkinan AI menjadi sebuah “filter hebat” di alam semesta, ambang batas yang mencegah sebagian besar kehidupan berevolusi menjadi peradaban luar angkasa.
Kecerdasan buatan ini menjadi konsep yang mungkin menjelaskan mengapa pencarian kecerdasan luar angkasa, Seti, belum mendeteksi tanda-tanda peradaban teknis maju di tempat lain di galaksi ini, dikutip dari Science Alert.
Asumsi “filter hebat” ini pada akhirnya mempertanyakan, mengapa di alam semesta yang luas dan kuno ini mampu menampung miliaran planet-planet yang berpotensi layak untuk dihuni makhluk hidup lainnya, dan mengapa kita belum bisa mendeteksi tanda-tanda peradaban alien. Hasil penelitian ini juga menunjukan bahwa terdapat rintangan yang belum teratasi dalam garis waktu evolusi peradaban yang mencegah mereka berkembang menjadi entitas luar angkasa.
Para ilmuwan meyakini kehadiran ASI dapat menjelaskan kebingungan yang ada. Kemajuan pesat AI yang berpotensi mengarah pada ASI, mungkin bersinggungan dengan fase penting dalam perkembangan peradaban yang menjadi transisi dari spesies suatu planet ke spesies multiplanet.
Dengan kemajuan yang jauh lebih pesat dari AI, banyak peradaban bisa goyah karena keterbatasan umat manusia untuk mengendalikan atau mengeksplorasi dan menghuni Tata Surya secara berkelanjutan.
Tantangan AI, khususnya ASI, terletak pada sifat AI yang otonom yang mampu memperkuat diri dan meningkatkan kemampuan. Ia memiliki potensi untuk meningkatkan kemampuan dengan kecepatan yang melampaui garis evolusi manusia tanpa AI.
Potensi terjadinya masalah sangat besar, yang dapat menyebabkan kehancuran peradaban biologis dan AI sebelum mereka berkesempatan menjadi multiplanet.
Misalnya, jika negara-negara semakin mengandalkan dan menyerahkan kekuasaan kepada sistem AI otonom yang bersaing satu sama lain, kemampuan militer dapat digunakan untuk membunuh dan menghancurkan dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hal ini berpotensi menyebabkan kehancuran seluruh peradaban manusia, termasuk sistem AI itu sendiri.
Dalam skenario ini, para ilmuwan memperkirakan usia panjang peradaban teknologi mungkin kurang dari 100 tahun. Ini merupakan perkiraan waktu antara kemampuan untuk menerima dan menyebarkan sinyal antar bintang (1960), dan perkiraan kemunculan ASI (2040) di Bumi. Waktu yang sangat singkat jika dibandingkan dengan skala waktu kosmik yang mencapai miliaran tahun.
Jika perkiraan ini dikaitkan dengan versi optimis dari persamaan Drake, yang mencoba memperkirakan jumlah peradaban luar angkasa yang aktif dan komunikatif di Bimasakti, menunjukkan bahwa, pada suatu waktu, hanya ada segelintir peradaban cerdas di luar sana. Selain itu, seperti manusia, aktivitas teknologi mereka yang relatif sederhana bisa membuat mereka cukup sulit untuk dideteksi.