'Saya Lahir saat Perang, Tumbuh dalam Perang, dan Akan Mati karena Perang'
Cerita tentang para korban serangan bom di Afghanistan.
Setiap malam, Hamdullah Hemat menelan 500 miligram obat tidur. Dia baru 15 tahun, duduk di bangku SMP. Bulan lalu, dia melihat sahabatnya tewas karena bom bunuh diri di sekolah.
Mary Alimi (30), ibu dari tiga anak, menderita gegar otak dalam insiden yang sama. Dia tak bisa lagi mengingat nama anak-anaknya.
-
Apa yang terjadi di Bumi saat Bumi bercincin? Selama jutaan tahun, material dari cincin ini secara bertahap jatuh ke Bumi, menciptakan lonjakan dampak meteorit yang kami amati dalam catatan geologi.
-
Di mana TNI dibentuk? Dahulu TNI dibentuk dan dikembangkan dari sebuah organisasi bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR).
-
Kapan Brigjen TNI (P) Bom Soerjanto meninggal dunia? Ayah Irjen Krishna Murti meninggal dunia. Ia adalah Brigjen TNI (P) Bom Soerjanto Bin Soejitno yang mengembuskan nafas terakhirnya pada Rabu (10/7) kemarin.
-
Apa usia Bumi? Dilaporkan ScienceFocus, Jumat (7/7), faktanya Bumi telah berusia 4,54 miliar tahun.
-
Di mana pemakaman Brigjen TNI (P) Bom Soerjanto dilaksanakan? Alm Bom Soerjanto dimakamkan dengan cara militer di pemakaman Al-Azhar Memorial, Karawang.
-
Apa yang dimaksud dengan kata-kata diam dalam konteks ini? Kata-kata diam adalah salah satu cara yang efektif untuk menggambarkan bagaimana kita diam apa makna di balik diamnya kita.
Jamila Neyazi (19), seorang guru sekolah. Dia mengalami luka di tangan dan bahu dalam ledakan 7 Juli lalu dan melihat banyak dari siswanya terluka karena pecahan kaca, maupun terluka karena ditimpa reruntuhan. Dia khawatir menjadi depresi.
"Saya merasa mati rasa. Saya berharap ada sebuah tempat tenang dan gelap supaya saya bisa duduk dan menangis," ujarnya, seperti dilansir dari New York Times, Rabu (7/8).
Ada puluhan bom bunuh diri di Afghanistan setiap tahun. Satu insiden yang tragis dan satu insiden lainnya dengan cepat terlupakan karena brutalitas yang sama yang terjadi kemudian.
Seperti gelombang ledakan, guncangan psikologis dari ledakan bergema jauh di luar lokasi serangan, menimbulkan luka yang tak terlihat yang berlangsung seumur hidup. Mereka yang mengalami ledakan dan bertahan hidup selamanya akan berubah, dan bahkan orang yang jauhnya beribu kilometer pun dapat tersapu oleh dampak emosional. Bagi banyak orang, ingatan akan peristiwa bom sangat menyakitkan dan menyesakkan sehingga mereka tidak memikirkan masa depan.
"Saya lahir saat perang. Saya tumbuh dalam keadaan perang. Dan saya akan mati karena perang," kaya Neyazi, guru muda itu.
Lebih dari 1 Juta Warga Depresi Akut
Bagi sebagian besar masyarakat Afghanistan, konseling bagi korban trauma sebagaimana di Barat bukanlah suatu pilihan. Perawatan bagi korban sangat langka, dan banyak dari mereka yang bisa mengakses perawatan ini justru takut distigmatisasi, kata Lyla Lynn, seorang psikolog Amerika yang bekerja di negara itu. Warga Afghanistan yang trauma oleh kekerasan biasanya mencari seorang mullah atau mengunjungi sebuah kuil, katanya.
WHO memperkirakan di Afghanistan, negara berpenduduk sekitar 35 juta, lebih dari 1 juta warga menderita depresi klinis, dan setidaknya 1,2 juta menderita kecemasan. Namun disebutkan angka riil diperkirakan jauh lebih besar.
Lynn, pendiri Peace of Mind Afghanistan, yang berusaha meningkatkan kesadaran tentang kesehatan mental di negara itu, mengatakan telah sering merawat pasien Afghanistan selama enam hingga 12 bulan sebelum mulai terlihat peningkatan.
Pelaku bom bunuh diri Taliban yang meledakkan sebuah truk yang penuh dengan bahan peledak pada 7 Juli pagi menargetkan sebuah bangunan di Ghazni, sebuah kota yang luas di Afghanistan timur. Bangunan tak mencolok itu disebut menjadi kantor Direktorat Keamanan Nasional, agen mata-mata pemerintah.
Pelaku mungkin tidak memperhatikan bahwa empat sekolah berada di dekat bangunan, berkumpul bersama di lingkungan yang padat. Bom itu menewaskan 12 warga sipil, termasuk sahabat Hamdullah yang sama-sama berusia 15 tahun. Lebih dari 100 anak-anak terluka.
Istilah militer untuk korban tersebut adalah dampak kerusakan. Istilah yang sama bisa berlaku untuk Aziza Alimi, 70, yang menyaksikan rumahnya runtuh dari ledakan tetapi lolos tanpa cidera. Istri cucunya, Alimi, ibu dari tiga anak, terluka parah dan hampir tidak dapat berbicara.
Cucu lainnya dari Aziza Alimi yaitu Jaber (8), berada di sekolah saat Taliban menyerang Ghazni pada Agustus 2013. Dia tak terluka secara fisik, namun trauma oleh tembakan dan ledakan dan kemudian menolak kembali ke sekolah sejak saat itu. Neneknya berusaha memukulnya, kemudian membujuknya dengan mainan.
Setelah pengeboman 7 Juli, Jaber mengatakan kepada neneknya, "Nah, apa kubilang."
Alimi mengatakan Jaber kemudian melarikan diri ke rumah keluarga setelah pengeboman bulan lalu karena itulah dia tak lagi memaksanya kembali ke sekolah.
Hamdullah (15), mengatakan dia datang ke pemakaman temannya namun tak tahan melihat keluarga yang berduka.
"Itu seperti mimpi buruk. Saya mendengar suaranya, ketawanya, senyumnya, dan itu membuatku gila," ujarnya.
Dia mengaku merasa bersalah karena membujuk Hamidullah pindah ke sekolah Afghan Rahmati, sehingga mereka bisa berangkat bersama-sama.
"Di negara-negara lain, 15 tahun adalah anak-anak. Sejujurnya, di Afghanistan kami tidak pernah menjadi anak-anak sepenuhnya," ceritanya.
Gullalia Ahmadi (18), guru tingkat pertama, mengalami luka di tangan dan kaki dalam insiden itu. Dia melihat anak-anak merintih dan berlumuran darah, masih di atas bangku mereka atau ada juga yang berjalan menyusuri lorong berasap. Sejak saat itu, kata dia, dia tidur dengan gelisah selama beberapa malam.
"Kapan pun saya mencoba terlelap, saya mendengar jeritan dan tangisan dan saya mencium bau darah," ujarnya.
Hekmat Zaki (23), guru lainnya di Afghan Rahmati, tak mengalami luka fisik tapi khawatir luka mentalnya permanen. Dia mencoba kembali mengajar beberapa setelah ledakan, namun banyak dari muridnya, seperti Jaber, trauma dan menolak kembali ke sekolah.
"Saya tidak bisa tidur," kata Zaki. "Setiap malam, saya mondar mandir di halaman selama beberapa jam," ujarnya.
Dia juga tidak berharap murid-muridnya pulih dalam waktu dekat.
"Serangan ini sangat berdampak terhadap mereka dan akan tetap melekat sepanjang hidup mereka," kata dia.
Kami Tak Ingin Taliban Kembali ke Negara Ini
Seperti bom bunuh diri lainnya yang diklaim Taliban baru-baru ini, serangan Ghazni memupus harapan laporan kemajuan dalam pembicaraan damai antara militan dan Amerika Serikat di Doha, Qatar. Pembicaraan berusaha untuk mencapai solusi politik permanen dalam perang hampir 18 tahun, bersama dengan gencatan senjata yang komprehensif.
Pada pagi hari serangan Ghazni, perwakilan Taliban bertemu secara terpisah di Doha dengan sekelompok pejabat dan warga Afghanistan untuk diskusi informal tentang kemungkinan peta jalan menuju perdamaian. Dua hari kemudian, para peserta mengeluarkan deklarasi bersama berjanji bekerja untuk mengurangi korban sipil menjadi nol.
Deklarasi menyerukan jaminan keamanan di beberapa jenis lembaga publik. Di antara mereka ada sekolah.
Neyazi, guru itu, menyatakan keheranannya bahwa kehancuran di Afghan Rahmati disebabkan seorang muslim.
"Lihat saya!" katanya di sekolah yang dibom, tiga hari setelah Taliban mengklaim bertanggung jawab atas serangan itu. "Saya memakai jilbab." Hanya tangannya yang terlihat.
Pakaiannya, menutupi kepalanya dari ujung rambut hingga ujung kaki, adalah jenis pakaian yang diwajibkan Taliban untuk dipakai perempuan ketika mereka mengendalikan Afghanistan, sebelum invasi Amerika pada 2001. Neyazi adalah orang yang secara sosial konservatif, seorang muslim yang taat. Tapi dia menolak untuk percaya janji apa pun oleh Taliban untuk melindungi warga sipil.
"Saya sering menangis dan saya begitu putus asa," kata Neyazi, yang menunggu sia-sia para muridnya kembali bersekolah.
"Kami tak ingin Taliban kembali ke negara ini," imbuhnya.
Hayatullah (40), tinggal di dekat lokasi ledakan tetapi tidak terluka secara fisik. Keempat keponakannya, yang berada di kelas selamat, namun hancur secara emosional.
Tingkah mereka sebagaimana anak-anak yang lain. Farahnaz (7), menangis saat tidur setiap malam. Dia tak mau ditinggalkan sendiri dalam beberapa menit.
Ayesha dan Belal, keduanya delapan tahun dan Mohammad Yusuf (9), juga menderita. Mereka terlihat linglung. Mereka juga menolak kembali ke sekolah. Paman mereka, Hayatullah, telah mendengar pernyataan dari pembicaraan damai di Doha. Mereka menanggapinya dengan dingin.
"Damai - Apa itu damai? Tak ada kedamaian sama sekali. Pelaku bom bunuh diri dan ledakan, hanya itu yang bisa kami harapkan sepanjang hidup kami," kata Hayatullah.
(mdk/pan)