Tersentuh Penderitaan Warga Gaza, Dua Pilot Tempur AS Mengundurkan Diri, Tolak Kebijakan Negara Soal Dukungan ke Israel
Tersentuh Penderitaan Warga Gaza, Dua Pilot Tempur AS Mengundurkan Diri, Siap Lawan Kebijakan Negara Soal Israel
Kedua anggota militer ini adalah Larry Hebret dan Juan Bettancourt, yang menyampaikan keinginannya dan tidak lagi ingin melanjutkan tugasnya dalam perang
- Hampir 50.000 Warga Palestina Dilaporkan Tewas dan Hilang di Gaza, Israel Tercatat 3.000 Kali Lakukan Pembantaian
- Menteri Israel Ini Ingin Tinggal di Gaza Setelah Mengusir Warga Palestina
- Pasukan Israel Putar Rekaman Tangisan Anak-Anak untuk Pancing Warga Gaza ke Jalan Lalu Menembak Mereka Pakai Drone
- Seperti Sudah Diduga, Menteri Israel Sebut Pembebasan Tawanan di Gaza Tak Penting, Militer Punya Tujuan Lain
Tersentuh Penderitaan Warga Gaza, Dua Pilot Tempur AS Mengundurkan Diri, Tolak Kebijakan Negara Soal Dukungan ke Israel
Dua orang anggota aktif Angkatan Udara AS mengatakan mereka ingin meninggalkan dinas militer dan memilih untuk menolak penugasan militer lantaran kebijakan pemerintah yang terus mendukung Israel di Gaza.
Kedua anggota militer ini adalah Larry Hebret dan Juan Bettancourt, yang menyampaikan keinginannya dan tidak lagi ingin melanjutkan tugasnya dalam perang karena merasa bersalah atas kematian lebih dari 37.400 warga Palestina, mayoritas adalah anak-anak dan perempuan.
Kedua prajurit AU tersebut telah secara resmi meminta pengunduran diri melalui prosedur militer yang ada, dan beralih menjadi penentang penugasan militer atau orang-orang yang menolak berpartisipasi dalam dinas militer atas dasar etika atau moral.
Dilansir dari Aljazeera, Minggu (23/6), Herbert, penerbang senior yang bertugas aktif di Angkatan Udara AS mengatakan terdapat sejarah panjang bagi penentang tugas militer.
Herbert juga mengatakan bahwa tentara AS yang aktif, bisa memilih untuk menjadi penentang penentang tugas militer, itu merupakan hak mereka.
“Saya pikir banyak anggota layanan yang sebenarnya tidak mengetahui
sepenuhnya apa itu dan apa saja hak-hak mereka," katanya.
Ketika dalam masa cuti tugas pada bulan April, Herbert melakukan protes di luar Gedung Putih yang menyerukan penghentian pengiriman senjata AS ke Israel dan gencatan senjata permanen di Gaza.
Herbert juga mengatakan kematian Hind Rajab, bocah yang berusia enam tahun, pada bulan Februari lalu merupakan titik balik. Rajab dan keluarganya menjadi sasaran tank Israel ketika mereka berada dalam mobil, kejadian tersebut merenggut nyawanya dan keluarganya.
"Dia hampir mirip dengan putri saya, dan ini adalah sesuatu yang sangat sulit untuk dipahami. Semua anak-anak ini memiliki aspirasi dan impian serta kehidupan yang banyak dari kita jalani dan inginkan, dan sepenuhnya tidak dapat dibenarkan untuk mendukung apa yang terjadi," kata Hebert kepada NBC News.
Herbert mengatakan, dia bekerja untuk menyediakan penjualan senjata dari AS ke Israel.
Selain Herbert, Juan Bettancourt, pilot Angkatan Udara AS juga mengatakan dia tidak dapat melanjutkan tugasnya dalam mendukung AS setelah menonton berita soal Gaza.
"Saya melihat pembantaian ribuan warga sipil tak berdosa sementara dunia menyaksikan melalui ponsel pintar mereka," ungkap Bettancourt kepada NBC, yang melaporkan angkatan udara telah menindaklanjuti 36 permohonan penolakan tugas militer sejak awal tahun 2021, 29 di antaranya dikabulkan.
Kedua prajurit aktif ini diketahui telah mengajukan pernyataan keberatan secara terbuka dan berharap aktivitas ini dapat mempengaruhi posisi AS dalam perannya mendukung Israel.
Niat kedua prajurit AU dalam membela Gaza ini juga dipengaruhi oleh kejadian Aaron Bushnell,
seorang pilot militer AS yang melakukan aksi bakar diri pada bulan Februari lalu sebagai bentuk protes perang di Gaza.
Hingga saat ini, AS diketahui telah menyediakan ribuan bom besar beserta amunisi dan peralatan lainnya, serta dukungan intelijen kepada militer Israel sejak perang Gaza dimulai.
Senjata-senjata tersebut, termasuk bom seberat 907 kg berulang kali digunakan dalam serangan berskala besar yang menewaskan banyak warga sipil, termasuk serangan terhadap sekolah-sekolah milik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang kini dijadikan tempat penampungan bagi para pengungsi Palestina.