Masih Dianggap Asing, Ini Saatnya Mengetahui Bahaya Fast Fashion Terhadap Lingkungan
Keberadaan fast fashion ternyata memberikan dampak buruk bagi lingkungan. Kenapa?
Pasalnya, fast fashion seringkali merugikan banyak aspek, salah satunya lingkungan. Ini karena produksinya yang terus-menerus namun dengan kualitas yang kurang baik.
Sayangnya, belum banyak orang yang melek akan hal ini.
Selain fast fashion, terdapat juga istilah slow fashion yang lebih environment friendly.
Akan tetapi, slow fashion saat ini sudah lama punah semenjak adanya revolusi industri.
Ingin tahu penjelasan detail peralihan fast fashion yang dianggap merugikan lingkungan?
Yuk temukan jawabannya di sini!
Sejarah Peralihan Fast Fashion
Fast fashion merupakan metode produksi yang muncul pasca revolusi industri. Sebelumnya sistem produksi pakaian dikenal dengan slow fashion. Dilansir dari Earth.org, pada era slow fashion desainer hanya memproduksi empat kali dalam setahun di masing-masing musim, yakni fall, winter, spring, dan summer.
-
Baju bahan apa yang terkenal ramah lingkungan? Baju berbahan Tencel atau Lyocell terkenal ramah lingkungan. Bagaimana nggak, seratnya dihasilkan dari tanaman kayu putih alias eucalyptus.
-
Siapa yang mengungkapkan bahwa tren fashion di Indonesia semakin cepat? Daniel Minardi, Head of Brands Management & Digital Products Shopee Indonesia mengungkapkan perputaran tren di industri fashion terasa semakin cepat dan menarik untuk diikuti setiap tahunnya.
-
Kapan baju kurung mulai diadopsi oleh masyarakat Melayu? Pada tahun 1400, dalam karya kesusastraan berjudul "Sejarah Melayu" oleh Malay Annals, disebutkan bahwa orang Melayu mulai mengenakan pakaian seperti tunik, yang merupakan pengaruh dari Timur Tengah, untuk menutupi tubuh mereka, yang juga menjadi awal mula munculnya baju kurung.
-
Bagaimana gaya hidup konsumtif dapat merusak lingkungan? Konsumsi berlebihan berkontribusi langsung pada kerusakan lingkungan melalui eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan dan produksi sampah yang meningkat. Setiap barang yang dibeli memerlukan bahan baku dan energi untuk diproduksi, diangkut, dan dibuang setelah tidak lagi digunakan.
-
Apa yang menjadi ciri khas Baju Kurung Tanggung? Baju kurung tanggung ini masih kental dengan nuansa Melayu. Pasalnya populasi masyarakat Melayu di Jambi memang cukup tinggi. Setiap daerah di Indonesia dikenal memiliki pakaian adatnya masing-masing. Di Provinsi Jambi, ada pakaian adat bernama baju kurung tanggung yang keberadaannya masih lestari hingga kini.
-
Bagaimana evolusi baju kurung? Dahulu, baju kurung sering dipakai dalam acara kebesaran kerajaan, tetapi seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat biasa mulai mengenakannya dalam berbagai kesempatan.
Selain itu, fashion merupakan sesuatu yang mewah dan hanya digunakan oleh kalangan kelas atas. Ini karena desainer yang masih merancang pakaian dengan manual, otomatis harganya cenderung mahal. Sampai akhirnya muncul penemuan mesin jahit di tahun 1980-an.
Dengan penemuan tersebut, produsen cenderung berfokus pada produksi sebanyak-banyaknya. Akibatnya produsen lebih mengutamakan kuantitas dibandingkan kualitas. Hal ini mereka lakukan untuk mendapat keuntungan yang besar.
Akhirnya, fashion menjadi lebih mudah dijangkau oleh berbagai kalangan. Sayangnya, kualitas dari suatu fashion menjadi terabaikan karena overproduksi yang berfokus pada keuntungan.
Bedanya Fast Fashion dan Slow Fashion
Selain cara produksinya, terdapat beberapa perbedaan lainnya antara fast fashion dan slow fashion. Berikut penjelasannya:
1. Daya Tahan
Produk slow fashion memiliki umur pakai yang lebih panjang karena kualitasnya yang unggul. Di sisi lain, fast fashion yang kurang memperhatikan kualitas pada akhirnya tidak memiliki keunggulan yang sebanding dengan slow fashion. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, hal ini terjadi karena produsen lebih mengutamakan jumlah produksi dibandingkan kualitas.
2. Waktu Produksi
Pada era slow fashion, desainer hanya butuh empat waktu dalam setahun untuk memproduksi pakaian. Ini terbagi menjadi empat musim yaitu fall, winter, spring, dan summer. Secara otomatis, konsumen hanya bisa membeli pakaian di waktu-waktu tersebut saja. Berbeda dengan slow fashion, fast fashion bisa memproduksi jenis pakaian baru 52 kali setahun. Alias setiap minggunya akan ada produksi produk baru. Terlihat sangat boros, bukan?
3. Tenaga Kerja
Nah, karena dulu desainer jumlahnya sangat sedikit, mereka menjadi orang-orang pilihan yang bisa memproduksi pakaian dengan profesional. Mereka juga bisa mengerjakannya dengan teratur karena ada waktu produksi yang telah ditentukan.
- Tak Disangka, 5 Brand Fashion Asal Indonesia ini Tembus Pasar Dunia
- Anies Ajak Generasi Muda Dukung Gagasan Perubahan Demi Lapangan Pekerjaan Lebih Banyak
- Kerap Diakui sebagai Pelopor Tren di Indonesia, Begini Ini 8 Penampilan Gaya Rambut Naura Ayu
- 6 Resep Makanan Khas Bandung yang Populer, Mudah Dibuat & Bisa Jadi Ide Jualan
Ketika beralih ke fast fashion, rasanya siapapun bisa menjadi tenaga kerja produksi pakaian, tanpa memperdulikan background desainer. Ditambah lagi mereka yang dihadapi toxic productivity mengingat membludaknya produksi pada era ini.
4. Model Pakaian
Model pakaian pada era slow fashion cenderung timeless dan tidak terikat dengan tren. Ini tentu akan membuat pakaian tersebut tetap modis dalam jangka panjang, mengingat produksinya hanya waktu tertentu. Sebaliknya, fast fashion justru sangat terikat dengan tren sehingga apa yang viral langsung diproduksi saat itu juga.
Dampak Fast Fashion
Ada beberapa dampak buruk yang bisa diakibatkan oleh fast fashion. Apa saja itu?
1. Muncul Gaya Hidup Konsumerisme
Seringnya frekuensi produksi akan membuat masyarakat merasa ketinggalan zaman. Tak bisa dipungkiri bahwa fashion saat ini seringkali muncul dengan tren yang berbeda-beda. Ini sangat berdampak pada gaya hidup yang konsumerisme, apa lagi bagi orang-orang yang memiliki sifat FOMO (Fear of Missing Out)
2. Pencemaran Lingkungan
Dilansir dari UN Environment Program, pabrik yang memproduksi pakaian fast fashion akan terus bekerja selama 24 jam non-stop. Ini karena request yang banyak untuk menghasilkan kuantitas yang membludak. Akibatnya, kimia yang dikeluarkan dari pabrik tentu akan mencemari lingkungan selama produksi berlangsung.
3. Toxic Productivity pada Pekerja Industri
Produksi 24 jam non-stop tentu akan berpengaruh terhadap pekerja industri. Jika dilihat, sudah banyak kasus para pekerja yang protes karena upahnya yang di bawah upah minimum, seperti di Bangladesh dan Sri Lanka. Mereka tidak selayaknya dipekerjakan seperti itu dengan imbalan yang tidak sesuai.
4. Bahan Dasar Kimia yang Tidak Terurai
Perlu diketahui bahwa produksi fast fashion menggunakan kain berbahan dasar kimia. Mengapa tidak organik? Karena bahan organik tidak bisa diproduksi dengan waktu yang singkat. Sehingga, para produsen mengakalinya dengan menggunakan bahan dasar kimia.
Jika pakaian-pakaian ini tidak laris, semua akan ditimbun menjadi sampah yang dibuang ke lahan terbuka. Ini juga termasuk pencemaran lingkungan karena kimia yang tidak bisa terurai.
Nah, dalam menghadapi bahaya fast fashion ini, sebagai konsumen tentu harus cermat dalam memilih busana.
Hal pertama yang bisa dilakukan adalah mendukung merek-merek yang berkomitmen menggunakan bahan ramah lingkungan, mengurangi limbah tekstil, dan memberikan perlindungan kepada pekerja mereka.
Selain itu, pilihlah untuk mendaur ulang atau mendonasikan pakaian yang sudah tidak digunakan, jangan hanya membuangnya ke tempat pembuangan sampah.
Pilihan ini dapat membantu mengurangi dampak lingkungan dari limbah tekstil yang terus meningkat.
Melalui langkah bijak ini, diharapkan bisa melindungi bumi dan mewariskannya dalam keadaan baik ke generasi mendatang.
Penulis: Nihel Rashiqa Rinaldo