Kisah Heroik Usman dan Harun, Prajurit TNI AL yang Dieksekusi Mati di Singapura
Usman dan Harun gagal dalam pelariannya usai meledakkan Hotel Mac Donald House.
Pada 10 Maret 1965 telah terjadi pengeboman di Hotel Mac Donald House yang terletak di kawasan Orchard Road, Singapura. Tersangkanya adalah orang Indonesia, Usman dan Harun yang dihukum eksekusi mati.Pengeboman yang terjadi di Singapura pada 1965 tidak terlepas dari konflik Konfrontasi Indonesia-Malaysia.
Presiden Sukarno menentang terbentuknya Federasi Malaysia pada 16 September 1963. Sukarno bahkan membuat seruan ‘Ganyang Malaysia’, karena menurutnya upaya pembentukan negara Malaysia dengan mengincar sebagian wilayah Kalimantan adalah bentuk baru imperialisme yang berpotensi mengancam kedaulatan Indonesia.
- Kisah Hidup NH Dini Penulis Legendaris Asal Semarang, Mantan Pramugari yang Hidup Berkelana di Luar Negeri
- Kisah Dramatis Kwik Djoen Eng, Si Raja Gula yang Bangkrut hingga Harta Tak Bersisa
- Diduga Sakit Jantung, Jemaah Haji Asal Soppeng Meninggal saat Tiba Depan Hotel di Jeddah
- Hotel-hotel Mewah di Kota ini Cuma Setahun Sekali Diisi, Pemiliknya Tajir Melintir Tinggal di Lereng Gunung Fokus Ibadah
Selain itu, Federasi Malaysia merupakan ide Inggris untuk menyelesaikan masalah dekolonisasi di bekas wilayah-wilayah jajahannya, oleh karena itu Sukarno menyebutnya sebagai bentuk neokolonialisme.
Sebagai bentuk konfrontasi, Indonesia meluncurkan berbagai serangan ke Malaysia, termasuk Singapura. Hal ini dikarenakan Singapura bergabung dengan Federasi Malaysia pada 1963.
Salah satu aksi yang dilakukan di Singapura adalah pengeboman di Hotel Mac Donald House yang terletak di kawasan Orchard Road, Singapura.
Mengutip dari Usman Bin Haji Muhammad Ali alias Janatin karya Muchtaruddin Ibrahim yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dikatakan bahwa Usman bin Haji Muhammad Ali, Harun bin Haji Mahdar, dan Gani bin Gani Aroef ditugaskan untuk melakukan penyusupan ke Singapura.
Usman sebagai pemimpin, sedangkan Harun dan Gani sebagai anggotanya. Mereka memutuskan untuk melakukan aksi peledakan di Hotel Mac Donald yang terletak di Jalan Orchard Road. pada 10 Maret 1965, pukul 15.07, mereka meledakkan bom di sana.
Jatuh Korban
Di Mac Donald, terdapat sebuah bank yakni Shanghai Bank meski bom diledakkan tujuh menit setelah bank tutup, namun masih banyak karyawan yang berada di sana untuk menyelesaikan pekerjaannya.
“Akibat ledakan ini menimbulkan kerugian 24 mobil sedan hancur dan 6 korban jiwa, serta 35 orang Iuka berat dan ringan,” ditulis Muchtaruddin Ibrahim dalam buku Usman Bin Haji Muhammad Ali alias Janatin.Tiga hari setelah ledakan di MacDonald House, para pelaku berhasil ditangkap di perairan saat berusaha melarikan diri.
Mereka adalah Usman dan Harun, anggota Korps Komando (KKO), yang kini dikenal sebagai Marinir Angkatan Laut Republik Indonesia.Sebelum ditangkap, ketiganya sempat berkumpul dan merencanakan untuk kembali.
Karena penjagaan petugas keamanan Singapura diperketat, maka mereka sepakat untuk berpisah dan menempuh jalan masing-masing. Sebelum berpisah, Usman berpesan kepada anggotanya bahwa siapa pun yang lebih dulu tiba di induk pasukan harus segera melaporkan hasil tugas yang telah mereka lakukan kepada atasan.
Gani berjalan sendiri, namun menurut Muchtaruddin Ibrahim, Usman sendiri belum begitu hafal seluk-beluk Singapura, sedangkan bagi Harun Singapura sudah seperti kota kelahirannya.
Oleh karena itu, Usman meminta kepada Harun agar mereka bersama-sama mencari jalan keluar untuk kembali ke pangkalan. Setelah menemui jalan buntu, mereka mencoba melalui pelabuhan dengan penuh perhitungan.
Meski penjagaan diperketat pasca ledakan Mac Donald House, mereka berhasil lolos dengan menunjukkan kartu anggota PRM Singapura, menyamar sebagai awak kapal dagang yang sedang singgah di Pelabuhan Singapura.
Mereka kemudian memilih kapal dagang Begama yang menuju Bangkok dan menyamar sebagai pelayan dapur .Namun, pada 12 Maret 1965 malam, pemilik kapal, Kie Hok, mengetahui mereka adalah pemuda yang bersembunyi di kapalnya, lalu mengusir mereka.
Saat mencari kapal lain, mereka melihat sebuah motor boat yang dikemudikan oleh seorang warga keturunan Tionghoa. Tanpa ragu, mereka merampas kapal tersebut dan segera mengambil alih kemudi, mengarahkan haluan menuju Pulau Sambu.
Namun, sebelum berhasil melewati perairan Singapura, kapal tiba-tiba macet. Ketika sedang memperbaikinya, sekitar pukul 09.00, mereka ditemukan oleh Polisi Perairan Singapura.
Tanpa perlawanan, mereka ditangkap dan dibawa kembali ke Singapura sebagai tahanan.Usman dan Harun ditahan selama enam bulan di penjara Singapura.
Proses Sidang
Dalam sidang pengadilan, Usman dan Harun menolak semua tuduhan. Mereka menyatakan bahwa tindakan mereka dilakukan dalam situasi perang dan meminta untuk diperlakukan sebagai tawanan perang (prisoner of war), sehingga pengadilan dianggap tidak berwenang untuk mengadili mereka.
Namun permintaan Usman dan Harun tidak mendapat tanggapan dari sidang majelis. Mereka menolak permintaan itu karena ketika Usman dan Harun ditangkap tidak memakai pakaian dinas. Pada 29 Oktober 1965 Usman dan Harus dijatuhi hukuman mati (gantung).
Pemerintah Indonesia sudah melakukan berbagai upaya agar dapat membebaskan mereka dari hukuman mati, namun gagal.Akhirnya pada 17 Oktober 1968, pukul 06.00, pemerintah Singapura mengeksekusi Usman dan Harun.
Hari itu juga, jenazah mereka dipulangkan ke Indonesia. Dalam perjalanan dari Bandara Kemayoran ke Markas Hankam di Merdeka Barat, ribuan orang dari berbagai daerah menyambut dengan penuh duka. Keesokan harinya, jenazah diberangkatkan dari Markas Hankam ke Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Sebagai bentuk tanda jasa dan penghormatan, pemerintah meningkatkan pangkat mereka satu tingkat menjadi Sersan Anumerta KKO Usman dan Kopral Anumerta KKO Harun, memberikan tanda kehormatan Bintang Sakti, serta menganugerahkan gelar pahlawan nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden (Kepres) No. 050/TK/Tahun 1968.
Reporter Magang: Yulisha Kirani Rizkya Pangestuti