Kisah Dramatis Kwik Djoen Eng, Si Raja Gula yang Bangkrut hingga Harta Tak Bersisa
Saat masih berjaya, Kwik Djoen Eng memiliki sebuah istana di Salatiga yang kini menjadi salah satu hotel bergaya klasik.
Ketika ada sebuah kisah dari seorang pengusaha kaya raya namun tiba-tiba bangkrut menjadi gambaran dramatis tentang fluktuasi ekonomi dan risiko yang melekat dalam dunia bisnis.
Di sisi lain banyak yang beranggapan kekayaan berlimpah sebagai jaminan stabilitas finansial. Sayangnya, fakta di kehidupan nyata seringkali berbeda.
Kwik Djoen Eng adalah salah satu contoh paling mencolok tentang kekayaan melimpah bisa lenyap dalam sekejap. Dikenal sebagai pengusaha sukses dengan kekayaan yang sangat besar, perjalanan hidupnya penuh dengan pelajaran berharga tentang fluktuasi ekonomi, risiko bisnis, dan ketidakpastian finansial.
Melansir dari berbagai sumber, Kwik Djoen Eng merupakan pengusaha keturunan Tionghoa dari Taiwan. Dia dikenal luas atas keberhasilannya berbisnis di Hindia Belanda pada awal abad ke-20.
Mula-mula tiba di Yogyakarta pada tahun 1890-an dengan tujuan fokus pada perdagangan rempah-rempah. Djoen Eng kemudian lebih dikenal sebagai 'Raja Gula' berkat kesuksesannya dalam industri gula.
Dengan mendirikan perusahaan NV Kwik Hoo Tong Handel Maatschappij bersama saudaranya, Kwik Siang Kaw, Djoen Eng berhasil memperluas jangkauan bisnisnya ke Semarang pada tahun 1914.
Di sini, ia mengimpor 17.000 boks teh pouchong dari Taiwan dan mulai membuka cabang di seluruh Pulau Jawa. Dalam perjalanannya, ia membangun banyak perkebunan dan menjadi salah satu pengusaha kaya di Hindia Belanda.
Salah satu pencapaian terbesar Djoen Eng adalah pembangunan Istana Djoen Eng di Salatiga, yang dikenal dengan Institut Roncalli. Dibangun di atas lahan seluas 12 hektar dengan biaya mencapai 3 juta gulden.
Istana ini merupakan salah satu bangunan paling mewah pada masa itu. Lengkap dengan kebun hias, kebun binatang, lapangan tenis, dan kebun kopi.
Namun, kemewahan ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1930, krisis ekonomi besar-besaran melanda Hindia Belanda dan memaksa Kwik Djoen Eng menghadapi kebangkrutan.
Akibatnya, Istana Djoen Eng disita oleh De Javasche Bank dan aset-asetnya dijual untuk melunasi utang. Istana tersebut kemudian kosong dan tidak berpenghuni.
Sebagian besar asetnya, termasuk rumah di Yogyakarta, diambil alih oleh pengusaha lokal Liem Djoen Hwat. Liem mengubah rumah tersebut menjadi Hotel Splendid, yang kemudian dikenal sebagai Hotel Yamato selama pendudukan Jepang pada Perang Dunia II.
Setelah perang, Liem mengubah nama hotel itu menjadi Hotel Merdeka yang terkenal dengan layanan luar biasanya dan menjadi tujuan favorit para politisi dan selebriti internasional.
Pada tahun 1996, Hotel Merdeka diakui sebagai landmark bersejarah nasional oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia.
Sejak tahun 2009, hotel ini dikenal dengan nama The Phoenix Hotel Yogyakarta-MGallery by Sofitel, tetap mempertahankan gaya antiknya dan menarik perhatian pengunjung hingga hari ini.
Kisah Kwik Djoen Eng adalah contoh dramatis tentang kemegahan dan kesuksesan bisnis dapat berakhir dengan kebangkrutan. Namun warisannya tetap hidup melalui bangunan bersejarah yang terus dihargai.