Saat Soeharto Merasa Masa Depannya Gelap dan Memilih Jadi Tentara Belanda
Soeharto memilih menjadi serdadu kolonial adalah pilihan realistis untuk lepas dari kemelaratan.
Kehidupan Soeharto di masa muda serba sulit. Ke sana kemari mencari pekerjaan, tak juga dapat. Menjadi serdadu kolonial adalah pilihan realistis untuk lepas dari kemelaratan.
Saat Soeharto Merasa Masa Depannya Gelap dan Memilih Jadi Tentara Belanda
Penulis: Arsya Muhammad
8 Juni 1921, seorang bayi lahir di rumah sederhana di Desa Kemusuk, sebuah dusun terpencil di wilayah Argomulyo, sebelah barat Kota Yogyakarta.
Ibunya bernama Sakirah, dan ayahnya bernama Kertosudiro. Seorang ulu-ulu, atau petugas desa pengatur air. Sebagai petugas desa, Kertosudiro tidak menerima gaji. Beliau bertani di atas lungguh, atau sepetak kecil tanah jabatan.
-
Siapa yang berencana meracuni Soeharto? Rupanya tamu wanita yang tidak kami undang itu berencana meracuni kami sekaluarga," kata Soeharto.
-
Siapa yang pernah menolak perintah Presiden Soeharto? Ia pernah menolak perintah Presiden Soeharto dan menjelaskan kesalahan sang kepala negara memberi perintah tersebut
-
Kapan Soeharto mendapat gelar Jenderal Besar? Presiden Soeharto mendapat anugerah jenderal bintang lima menjelang HUT Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) ke-52, tanggal 5 Oktober 1997.
-
Siapa yang mengenalkan Soeharto kepada Siti Hartinah? Rupanya mereka sudah punya calon. Wanita itu adalah Siti Hartinah. Teman sekelas adik Soeharto, saat sekolah di Wonogiri.
-
Apa yang pernah dititipkan Soeharto kepada Sudjono Humardani? Ceritanya pada tahun 1967, Sudjono pernah diberi tugas oleh Soeharto untuk meminjam topeng Gadjah Mada yang disimpan di Pura Penopengan Belah Batu Bali.
-
Kenapa Kunarto membawa pengawal ke hadapan Soeharto? “Saya pun membawanya ke depan Pak Harto, agar dia bilang sendiri,” kata perwira menengah Polri itu.
Bayi itu dinamai Soeharto. Tak ada keistimewaan apa pun saat itu. Orang tuanya bukan orang berada, kalau tidak mau disebut susah. Tidak ada firasat apa pun kelak bayi yang lahir itu akan menjadi orang nomor satu, dan memimpin Republik Indonesia 32 tahun lamanya.
Tak lama setelah Soeharto dilahirkan, kedua orang tuanya bercerai. Ibunya yang sakit, tidak bisa menyusuinya. Soeharto kemudian dititipkan ke Mbah Kromo, masih terbilang kakek dari pihak Ibu. Seorang paraji atau orang yang biasa membantu ibu-ibu melahirkan. Mbah Kromo putri juga yang membantu proses kelahiran Soeharto dulu.
Masa kecil Soeharto dihabiskan di penitipan. Jauh dari kebahagiaan atau kehangatan keluarga. Dari Mbah Kromo, kemudian dititipkan di rumah adik ayahnya di daerah Wuryantoro. Bapak Prawirowihardjo, seorang mantri tani.
Pengalamannya tinggal di desa dan bergaul dengan keluarga petani, cukup membekas dan terbawa sampai Soeharto kelak menjadi orang nomor satu di Republik ini.
Karena tinggal berpindah-pindah, sekolahnya pun berpindah-pindah. Soeharto lulus dari sekolah rendah lima tahun dan kemudian meneruskan ke sekolah lanjutan rendah (Schakelschool) di Wonogiri.
Namun dia terpaksa pindah sekolah ke Sekolah Schakel Muhammadiyah di Yogyakarta karena sekolahnya di Wonogiri mewajibkan anak-anak untuk bersepatu. Sementara saat itu Soeharto tidak punya sepatu.
Setelah lulus Schakelschool, Soeharto tidak bisa melanjutkan sekolahnya lagi karena tidak ada biaya untuk studi.
“Saya masih ingin melanjutkan sekolah, tetapi baik ayah saya mau pun keluarga lainnya tidak ada yang sanggup membiayai saya sekolah. Keadaan ekonomi keluarga saya rendah sekali,” tulis Soeharto dalam otobiografinya Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya yang ditulis oleh G Dwipayana dan Ramadhan KH
Gonta-Ganti Pekerjaan
Soeharto pun memasuki dunia kerja. Tidak mudah memperoleh pekerjaan kala itu. Dia kemudian mengadu nasib ke Wuryantoro dan diterima bekerja menjadi pembantu klerek di sebuah Bank Desa atau Volks-Bank. Pekerjaannya keluar masuk kampung dan menawarkan kredit bagi petani, pedagang kecil atau pemilik warung yang membutuhkan pinjaman.
Apes, pada suatu hari kain yang dikenakannya tersangkut per sepeda bututnya. Kain itu sobek. Padahal kain itu pinjaman dari bibinya. Soeharto dibentak. Dia tidak punya lagi kain yang cukup layak untuk pekerjaan tersebut. Soeharto pun terpaksa meninggalkan profesi sebagai Klerek Bank Desa.
Dia mencoba peruntungan mencari pekerjaan di Kota Solo. Pekerjaan apa saja, asal halal, kata Soeharto. Namun di Solo, dia tidak bisa mendapatkan pekerjaan sehingga akhirnya harus kembali ke Wuryantoro.
Di sini dia mengisi waktu dengan melakukan pekerjaan apa saja. Membangun langgar atau musala, menggali parit dan membereskan lumbung.
“Tapi setelah itu, hari depan saya gelap lagi,” kenangnya.
Jadi Serdadu Belanda
Di tengah keresahan akan masa depannya, Soeharto mendaftar masuk tentara Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL). Menjadi serdadu kolonial saat itu bukanlah masalah ideologis atau pengabdian kepada Ratu Belanda, tetapi kepada soal perut.
Bagi para pemuda pribumi miskin, menjadi serdadu kolonial adalah pilihan untuk lepas dari kemelaratan hidup di desa. Minimal mereka mendapatkan gaji tetap, asrama dan pensiun (jika sudah menyelesaikan masa tugas).
Apalagi saat itu pemerintah Kolonial membuka rekrutmen besar-besaran sebagai antisipasi pecahnya Perang Pasifik. Bahkan orang yang belum pernah sekolah pun bisa diterima menjadi serdadu KNIL.
Soeharto berhasil diterima Kortverband, atau ikatan dinas pendek di Gombong. Diakuinya pengalaman ini sangat berbeda dengan saat menjadi klerek bank desa. Tapi dia mulai menikmati kehidupan sebagai seorang serdadu.
“Saya menemukan kesenangan dan mulai benar-benar tertarik tertarik untuk hidup dari pekerjaan ini,” akunya.
Fisik dan otaknya ternyata encer. Dia menjadi lulusan terbaik dalam pendidikan militer tersebut. Beberapa nama masih dikenangnya hingga dia menjadi Presiden RI puluhan tahun kemudian.
“Orang Belanda yang masih saya ingat adalah komandan kompi saya, Kapten Dryber. Lalu saya masih ingat komandan peleton saya Letnan Hyneman,” kenangnya.
Di KNIL, Soeharto meraih pangkat Kopral, dan kemudian Sersan. Pangkat yang terbilang cukup lumayan untuk ukuran pribumi saat itu.
Menjelang Perang Pasifik pecah, Sersan Soeharto ditugaskan ke Markas Besar Angkatan Darat di Bandung sebagai pasukan cadangan. Dia dikirim ke Cisarua, namun hanya satu minggu.
8 Maret 1942, Belanda menyerah tanpa syarat kepada balatentara Jepang. Seperti banyak serdadu KNIL pribumi lainnya, alih-alih mati-matian bertempur, Soeharto memilih menanggalkan pakaian militernya. Dia naik kereta api dan pulang ke Yogyakarta untuk menghindari ditangkap tentara Jepang.
Berakhirlah karir militernya di tubuh angkatan bersenjata Hindia Belanda. Namun menjadi serdadu KNIL menjadi langkah awal karir kemiliterannya yang panjang.
Kelak di era pendudukan Jepang, Soeharto mendaftar masuk polisi. Lalu mengikuti pendidikan Perwira Pembela Tanah Air di Bogor. Setelah kemerdekaan dia pun bergabung dengan BKR, kemudian TKR dan menjadi komandan TNI.
Soeharto terus meneruskan karir militernya hingga menyandang pangkat jenderal. Di kemudian hari, saat senjakala pemerintahan Orde Lama, Soeharto dilantik menjadi pejabat presiden, kemudian Presiden Kedua RI tanggal 26 Maret 1968.