Kisah Pilu Siswa SD di Serang, Demi Sekolah Bertaruh Nyawa Sebrangi Sungai Besar dengan Rakit hingga Harus Berenang
Setiap hari anak-anak di kampung ini harus bertaruh nyawa untuk menuju sekolah menggunakan rakit, lantaran tak ada akses jembatan.
Setiap hari anak-anak di kampung ini harus bertaruh nyawa untuk menuju sekolah menggunakan rakit kecil dari bambu, lantaran tak ada akses jembatan.
Kisah Pilu Siswa SD di Serang, Demi Sekolah Bertaruh Nyawa Sebrangi Sungai Besar dengan Rakit hingga Harus Berenang
Beginilah kondisi anak-anak siswa Sekolah Dasar (SD) di Kampung Nambo, Desa Gabus, Kecamatan Kopo, Kabupaten Serang yang bertaruh nyawa saat berangkat dan pulang sekolah. Mereka harus sebrangi Sungai Cidurian menggunakan rakit bambu lantaran tak ada fasilitas jembatan.
Rasa takut harus mereka hadapi, terutama jika sewaktu-waktu arus air tiba-tiba deras. Namun rute yang ditempuh merupakan akses tersingkat menuju sekolah mereka, sehingga tidak ada pilihan lain.
-
Kapan kemacetan di jalur Pantura Jawa Barat sudah tidak ada? Walau masa kejayaan jalur pantura di musim mudik lebaran sudah berakhir, namun sisa-sisa nostalgia itu masih bisa dirasakan. Sudah dua hari terakhir volume kendaraan roda dua maupun roda empat terpantau meningkat menuju arah timur. Warga ibu kota mulai melakukan perjalan mudik lebaran ke kampung halaman, seiring liburnya siswa sekolah dan aktivitas perkantoran.Namun setiap musim mudik tiba, ada banyak hal yang menjadi kenangan salah satunya jalur pantai utara (Pantura) Jawa Barat. Sekitar 15 sampai 20 tahun lalu, jalur pantura Jawa Barat selalu jadi andalan warga Jakarta saat pulang kampung. Mulai keluar gerbang Tol Cikampek hingga sepanjang jalur pantura Indramayu menuju Cirebon, kemacetan kendaraan selalu tak terhindarkan. Kendati demikian 10 tahun terakhir, kondisinya berubah. Kemacetan jalur pantura Jawa Barat yang rutin terjadi seakan lenyap tergusur Tol Cikampek Palimanan (Cipali).
-
Kenapa mayoritas warga di Desa Gempol tidak bertani? Pak Sadimin berkata, hampir tidak ada warga di desanya yang bertani. Mayoritas adalah pemetik daun teh. Menurutnya, kondisi sosial itu disebabkan karena tanah di desa tersebut yang merupakan tanah perkebunan.
-
Siapa yang menyatakan bahwa tidak ada perang bintang di Pilgub Jateng? Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Tengah di Pilgub Jateng Komjen Pol Ahmad Luthfi-Taj Yasin Maemoen alias Gus Yasin menyebut tanda bintang yang disandangnya hanyalah sebuah pangkat di institusi Polri. Ketika mendaftar kontestasi di Pilkada serentak 2024, praktis bintang-bintang tersebut bakal hilang."Tidak ada perang bintang. Bintang pangkat ya, kalau kita sudah mendaftar, sudah tak ada bintang," kata Ahmad Luthfi di kantor DPW PKB Jateng, Selasa (3/9).
-
Di mana Desa Sembungan berada? Desa Sembungan sendiri merupakan desa tertinggi di Pulau Jawa. Menurut data dari Kemenparekraf, desa tersebut berada di ketinggian 2.300 meter di atas permukaan laut.
-
Di mana situs Banten Girang berada? Lalu, ada juga situs Banten Girang yang berbentuk gua dan merupakan peninggalan Kerajaan Sunda saat masih menguasai Banten, sebelum berdirinya Kesultanan Surosowan tahun 932 dan 1030 masehi.
-
Kenapa jumlah Rumah Gadang di Desa Adat Sijunjung tidak bertambah? Angka Pertumbuhan yang Tetap Mengutip dari kanal Liputan6.com, keunikan dari Desa Adat Sijunjung ini adalah jumlah rumah adat di sini tidak bertambah atau tidak adanya pertumbuhan yang signifikan.
Diketahui kondisi ini sudah bertahun-tahun mereka jalani, sembari berharap adanya bantuan jembatan dari pemerintah agar mobilitas warga semakin mudah.
“Setiap hari lewat sini kalau ke sekolah, berangkat jam 07:00 WIB pulang jam 11:00 WIB siang,” kata seorang siswa SD, Iyan. Mengutip YouTube SCTV Banten, Sabtu (17/2).
Rakit Swadaya Warga jadi Penyelamat
Rakit yang digunakan sendiri berbahan batang bambu utuh yang disusun sejajar. Rakit ini hanya bisa menampung enam sampai tujuh orang, dengan resiko tinggi.
Pasalnya rakit bambu hanya dibuat ala kadarnya, sebagai alat penyeberangan utama. Untuk menggerakannya, seorang operator menarik tali baja yang membentang dari masing-masing ujung Sungai Cidurian.
Resiko tenggelam sampai hanyut terbawa arus beresiko terjadi, seperti beberapa waktu lalu di mana seorang warga terseret saat mengantarkan anaknya ke sekolah.
Berpuluh-puluh Tahun Tak Ada Jembatan
Warga cukup kesulitan jika harus ke luar kampung lantaran tidak ada akses lain. Bahkan tidak adanya jembatan sudah berlangsung sejak puluhan tahun silam.
Seorang warga, Maesaroh menjelaskan bahwa sejak ia belum lahir, kondisinya masih sama seperti ini.
“Dari dulu nggak ada jembatan, dari pas saya belum lahir ini mah. Begini aja, kalau rakitnya hanyut ya patungan lagi warganya, bikin lagi,” katanya
Anak-anak Tak Bisa Sekolah saat Banjir
Yang ditakuti warga adalah saat kondisi air Sungai Cidurian meluap. Di saat itu, limpahan air benar-benar besar sehingga akses mobilitas warga terputus.
- Siswi SMP Diperkosa 6 Remaja di Belakang Masjid hingga Sekolah Siak, 3 Pelaku Masih SD
- Momen Bertaruh Nyawa Pelajar SD di Sukabumi, Bergelantungan di Jembatan Hampir Putus Seberangi Sungai Demi Sekolah
- Siswa Kelas 3 SD ini Keren Banget, Jadi Petugas Pengibar Bendera bak Anggota Paskibraka Berpengalaman Banjir Pujian
- Kisah Siswa Kelas 5 SD di Palembang Jualan Keripik demi Hidupi 3 Adik dan Nenek
Anak-anak di sana terpaksa tidak bisa berangkat sekolah, dan harus kembali ke rumah saat arus Sungai Cidurian banjir.
“Anak-anak juga nggak bisa berangkat sekolah kalau banjir. Paling pas agak reda baru berangkat,” terangnya
Terkadang Harus Berenang
Sungai Cidurian di Kampung Nambo, Desa Gabus, Kecamatan Kopo memang terkenal memiliki arus deras.
Rakit pun tidak selalu ada, karena tak jarang terbawa air yang meluap. Ketika itu pula anak-anak juga harus berenang menyeberangi sungai demi bisa menempuh pendidikan.
“Jadi kalau agak surut sedikit, baru anak-anak bisa berenang buat sekolah, kalau nggak ada eretan (rakit), bahaya,” ujarnya lagi.
Berharap Bisa Segera Memiliki Jembatan
Warga hanya bisa berharap kampung mereka memiliki jembatan, karena akan sangat membantu warga khususnya bagi anak-anak dalam menempuh pendidikan ke sekolah.
“Saya mohon partisipasi pemerintah lah buat warga di sini,” tambah Maesaroh
“Berharap bisa ada jembatan,” kata Iyan, menambahkan.
Penjelasan Pihak Desa
Salah satu perangkat Desa Gabus, Abdul Muhyi mengakui bahwa warganya mengalami kesulitan untuk berdagang maupun berangkat sekolah karena tak ada jembatan.
Pemerintah desa menyebut sudah beberapa kali mengajukan pembangunan jembatan ke dinas terkait, namun sampai saat ini masih belum terealisasi.
“Warga memang kesulitan menyeberang karena tidak ada akses jembatan. Jadi ketika ada kebutuhan berangkat sekolah, berdagang, mereka kesulitan,” terang Abdul Muhyi.