Mengapa Jumlah Pendatang di DKI Jakarta Turun Padahal Transportasi Publik Sudah Bagus, Begini Analisisnya
Kepala Dinas Dukcapil Provinsi DKI Jakarta Budi Awaludin memprediksi jumlah pendatang tahun ini akan turun
Kepala Dinas Dukcapil Provinsi DKI Jakarta Budi Awaludin memprediksi jumlah pendatang tahun ini akan turun
- KTP Warga DKI Dicatut untuk Pilkada Jakarta, KPU Tunggu Rekomendasi Bawaslu Tentukan Nasib Dharma-Kun Wardana
- Aturan Pembatasan Kendaraan Pribadi di DKI Jakarta Segera Terbit
- Bawa Mobil Dinas ke Puncak dan Buang Sampah Sembarangan, Kasetpel Dishub DKI Dinonaktifkan
- Pemprov DKI Sediakan Banyak Transportasi Umum, Faktanya Cuma Dipakai Segelintir Warga Jakarta
Mengapa Jumlah Pendatang di DKI Jakarta Turun Padahal Transportasi Publik Sudah Bagus, Begini Analisisnya
Jumlah pendatang di ibu kota merosot. Penurunan terjadi setidaknya dalam 4 tahun terakhir.
Data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta mencatat jumlah pendatang di DKI pada tahun 2020 mencapai 24.043 orang.
Namun, jumlah tersebut menurun jadi 20.046 orang di tahun 2021. Peningkatan terjadi di tahun 2022, tercatat ada 27.478 pendatang di DKI Jakarta.
Kemudian, mengalami penurunan menjadi 20.046 orang di tahun 2023.
Kepala Dinas Dukcapil Provinsi DKI Jakarta Budi Awaludin memperkirakan jumlah pendatang baru ke Jakarta akan menurun jika dibandingkan dengan 2023 yakni sekitar 10.000-15.000 orang.
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti Yayat Supriatna menilai faktor merosotnya jumlah pendatang di ibu kota adalah biaya hidup yang semakin tinggi. Terlebih, setelah lebaran.
"Banyak pemudik sekarang tidak mau membawa keluarga lagi ke Jakarta karena mereka sendiri sudah tertekan dengan biaya hidup, makin lama makin mahal,"
kata Yayat saat dihubungi, Kamis (18/4).
merdeka.com
Contohnya, kata Yayat, biaya makan sehari-hari di ibu kota saja menghabiskan Rp3 juta tiap bulannya.
Itu di luar dari kebutuhan lainnya.
Terlebih, gaji para pekerja di Jakarta yang rata-rata sekitar Rp4 jutaan sehingga akan memilih hidup di indekos atau kontrakan murah.
"Apalagi yang masih bujangan dari kampung itu satu indekos atau kontrakan bisa lima orang untuk menghemat biaya," ujar Yayat.
Selain itu, dia juga menyoroti baru diketahui fakta banyaknya warga memiliki KTP Jakarta, namun tidak tinggal di Ibu Kota sejak dilaksanakan penonaktifan nomor induk kependudukan (NIK) yang masih dilakukan hingga kini.
Menurut dia, data ini turut mendukung alasan biaya hidup tinggi menjadi faktor warga lebih memilih untuk tidak tinggal menetap di Jakarta dan memilih hidup di kota sekitarnya.
Kendati demikian, terdapat juga faktor lainnya yang mendukung warga masih bisa untuk bekerja di Jakarta meski sudah tidak tinggal menetap yakni adanya kemudahan transportasi.
"Mereka masih bisa menggunakan sepeda motor, KRL hingga bus daripada mereka tinggal di Jakarta," kata Yayat.
Dengan demikian, dia menilai biaya hidup memang berpengaruh pada naik turunnya jumlah pendatang yang masuk ke Jakarta. Namun hal itu tidak mengurangi kepadatan aktivitas warga untuk tetap mencari pekerjaan di Ibu Kota. Seperti dikutip Antara.