Kisah Hidup Syekh Jangkung, Ulama Legendaris dari Pati Murid Sunan Kalijaga
Syekh Jangkung sering disebut sebagai penyebar agama Islam di Nusantara. Semasa hidupnya, sosoknya begitu populer di tengah warga Karesidenan Pati. Dia dikenal warga sebagai ulama karismatik dan ahli Tasawuf.
Syekh Jangkung sering disebut sebagai penyebar agama Islam di Nusantara. Semasa hidupnya, sosoknya begitu populer di tengah warga Karesidenan Pati.
Syekh Jangkung merupakan putra dari Sunan Muria. Dia dikenal warga sebagai ulama karismatik dan ahli Tasawuf. Selama belajar agama Islam, ia berguru dengan Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga.
-
Kenapa Jaka merantau? Dengan penuh tekad, Jaka pun memutuskan untuk merantau ke negeri orang untuk mencari nafkah dan mewujudkan semua impian mereka berdua.
-
Kapan Beji Sirah Keteng dibangun? Mengutip Instagram @purbosasongko_dalang, Situs Beji Sirah Keteng dibangun pada masa pemerintahan Raja Sri Jayawarsa.
-
Apa yang diterima Pemprov Jateng dari Balai Bahasa? Pada Kamis (10/8), Pemprov Jateng menerima hibah dari Balai Bahasa berupa bangunan gedung permanen dan perangkatnya.
-
Bagaimana cara membuat Jenang Saren? Mengutip Kemdikbud.go.id, bahan utama yang digunakan untuk membuat jenang saren adalah tepung ketan dan gula jawa.
-
Kenapa Candi Jago dibangun? Sejarah Candi Jago dibangun atas inisiasi Raja Kertanegara untuk menghormati mendiang sang ayah, Raja Sri Jaya Wisnuaedhana (1248-1268).
-
Bagaimana cara membuat kue jipang? Berasnya dimasukkan ke situ,” ungkap pemilik kanal YouTube Brent Sastro sembari menunjuk sebuah alat pemanas yang dihubungkan ke gas elpiji. Di sebelahnya, tampak sebuah wajan berisi air gula yang dicampur minyak sedang dipanaskan.
Sebelum bernama Syekh Jangkung, dia terkenal dengan nama Saridin. Lantas apa yang dilakukan Syekh Jangkung selama hidupnya, terutama terkait penyebaran Islam di wilayah Pati dan sekitarnya?
Asal-usul Nama Syekh Jangkung
©istimewa
Nama asli Syekh Jangkung adalah Syarifuddin. Untuk memudahkan masyarakat Jawa mengucapkannya sesuai logat, nama “Syarifuddin” berubah menjadi “Saridin”. Gelar “Syekh” bagi Saridin sendiri merupakan pemberian dari negeri Andalusia. Adapun nama “Syekh Jangkung” merupakan pemberian gurunya, Sunan Kalijaga.
Selama menjadi muridnya, Syekh Jangkung selalu “dijangkung” oleh Sunan Kalijaga. Makna kata “dijangkung” sendiri adalah dilindungi, diayomi, dipelihara, dididik, dan selalu dalam naungan.
Dituduh Lakukan Pembunuhan
Setelah sekian lama berguru dengan Sunan Kalijaga, Syekh Jangkung diminta menyiarkan Islam pertama kali di sebuah desa bernama Desa Miyono. Saat menyiarkan ajaran Islam, Syekh Jangkung sempat dituduh membunuh Branjung, lelaki kaya raya di desa itu.
Saat ditanya hakim, Syekh Jangkung membantah tuduhan tersebut. Dia bercerita, semalam sebelumnya memang telah terjadi pembunuhan di kebun belakang rumah Branjung. Saat itu, Syekh Jangkung dan Branjung menjaga pohon durian untuk dibagi dua.
Pada saat itu, terbesit niat licik Branjung untuk menakuti Syekh Jangkung. Dia menyamar sebagai macan. Karena mengira itu macan sungguhan, Syekh Jangkung mengambil bambu runcing dan menusukkannya ke perut Branjung berulang kali hingga tewas.
Dihukum Mati
© shutterstock
Atas tindakan ini, Syekh Jangkung dihukum mati di hutan Pati. Namun Syekh Jangkung ternyata masih hidup dan lari dari hutan untuk selanjutnya pergi ke Kudus. Di Kudus inilah ia bertemu dan berguru dengan Sunan Kudus.
Setelah berguru dengan Sunan Kudus, Syekh Jangkung kembali menjalani masa pelarian dan akhirnya pulang ke Pati. Di rumahnya, Syekh Jangkung memelihara kerbau jantan yang cukup besar bernama Kebo Dhungkul Landoh. Kerbau ini dibawa ke mana-mana dan menjadi terkenal di Pati.
Karomah Syekh Jangkung
Selain dengan Sunan Kalijaga, Syekh Jangkung juga pernah menjadi salah satu santri Sunan Kudus. Pada suatu hari, Sunan Kudus menguji kesaktian Syekh Jangkung yang saat itu dianggap paling pintar di perguruannya. Saat itu Sunan Kudus bertanya,”Apakah setiap air pasti ada ikannya?” Saridin menjawab,”Ada, Kanjeng Sunan.”
Mendengar jawaban itu Sunan Kudus memerintahkan seorang murid untuk memetik buah kelapa dari pohon di halaman. Buah itu kemudian dipecah. Jawaban Saridin terbukti. Ternyata di air buah kelapa itu terdapat sejumlah ikan. Sunan Kudus tersenyum. Namun satri lain menganggap Saridin lancang dan pamer kepintaran.
Kisah Syekh Jangkung dan Sultan Agung
©2021 wikipedia/ editorial Merdeka.com
Semasa hidupnya, Syekh Jangkung melakukan pengembaraan ke mana-mana, termasuk ke wilayah Kulonprogo. Di sana, terdapat sebuah makam yang diduga merupakan makam Syekh Jangkung.
Tak hanya itu, Syekh Jangkung pernah bekerja sama dengan Raja Mataram, Sultan Agung untuk menumpas kejahatan dan menyebarkan agama Islam di masyarakat.
Dilansir dari Kulonprogokab.go.id, dalam hubungan keluarga sendiri Syekh Jangkung merupakan kakak ipar dari Sultan Agung, karena dia menikah dengan kakak dari Sang Raja Mataram itu, Retno Jinoli.
Kirab Pusaka Syekh Jangkung
Kirab Pusaka Syekh Jangkung adalah sebuah acara yang mempertontonkan jamasan pusaka peninggalan Syekh Jangkung, seorang ulama terkenal di Indonesia. Pada kirab ini, beberapa pusaka yang diarak antara lain Kudi Rancang, Bathok Bolu, dan Alquran Tulisan Tangan.
Kudi Rancang adalah sejenis keris yang diyakini memiliki kekuatan gaib. Pusaka ini memiliki pola dan bentuk yang unik, serta memiliki nilai historis yang tinggi. Bathok Bolu adalah alat musik tradisional Jawa yang terbuat dari batok kelapa dan dilengkapi dengan balutan kain. Alat musik ini sering digunakan dalam berbagai upacara keagamaan di daerah Jawa. Dalam upacara kirab, Bathok Bolu sering dipukul atau dimainkan untuk menambah semarak acara.
Salah satu pusaka yang paling berharga dalam Kirab Pusaka Syekh Jangkung adalah Alquran Tulisan Tangan. Alquran ini merupakan naskah Alquran yang ditulis secara langsung oleh Syekh Jangkung. Alquran Tulisan Tangan ini memiliki nilai spiritual dan historis yang sangat tinggi bagi umat Islam.
Melalui Kirab Pusaka Syekh Jangkung, masyarakat dapat melihat secara langsung dan menghargai keberadaan pusaka-pusaka bersejarah yang menjadi peninggalan Syekh Jangkung. Acara ini juga bertujuan untuk melestarikan budaya dan tradisi lokal serta menghormati jasa-jasa ulama terdahulu.