Mahasiswa UGM Kembangkan Alat Deteksi Dini Stunting Berbasis AI, Begini Cara Kerjanya
Alat ini diharapkan dapat membantu pemerintah dalam mempercepat penurunan angka prevalensi stunting di Indonesia menjadi 14 persen.
Alat ini diharapkan dapat membantu pemerintah mempercepat penurunan angka prevalensi stunting di Indonesia menjadi 14 persen.
Mahasiswa UGM Kembangkan Alat Deteksi Dini Stunting Berbasis AI, Begini Cara Kerjanya
Stunting merupakan permasalahan yang jadi perhatian negara terutama dalam menyambut Indonesia Emas 2045.
Terkait hal ini, mahasiswa UGM mengembangkan alat untuk membantu program pemerintah tersebut.
Alat itu bernama Electronic Stunting Detection System (ESDS).
Alat yang bekerja untuk mendeteksi stunting itu dirancang terintegrasi dengan sistem informasi dan aplikasi smartphone.
-
Apa yang dilakukan mahasiswa UGM dalam KKN mereka di Sulawesi Barat? Mahasiswa adalah agen perubahan. Tak sedikit mahasiswa yang melakukan inovasi untuk memberikan perubahan di tengah masyarakat. Bentuk inovasi itu bisa dilakukan melalui berbagai cara, salah satunya saat program Kuliah Kerja Nyata atau KKN. Melalui program KKN, Mahasiswa Universitas Gadjah Mada bakal memasang teknologi pemanen air hujan, tepatnya di Pulau Karampuang, Mamuju, Sulawesi Barat.
-
Siapa mahasiswa UGM yang berhasil lulus kuliah di usia termuda? Pada 29 Agustus lalu, Mia Yunita, mahasiswa prodi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, berhasil menyelesaikan studinya. Ia berhasil menyelesaikan studi dalam waktu empat tahun. Namun di antara 3.627 wisudawan-wisudawati lainnya, Mia merupakan yang paling muda.
-
Apa yang diraih oleh Mukhamad Ngainul Malawani di UGM? Pada Rabu (24/1), sebanyak 836 Mahasiswa Program Pascasarjana UGM menjalani wisuda di Grha Sabha Pramana. Salah satu dari mereka ada nama Mukhamad Ngainul Malawani (31). Pria yang akrab disapa Ngainul itu berhasil meraih IPK tertinggi yaitu 4,00 sekaligus berpredikat pujian. Tak hanya itu, ia juga menjadi wisudawan dengan predikat lulusan tercepat karena berhasil meraih gelar doktor dalam waktu 2 tahun 8 bulan 17 hari. Padahal masa studi rata-rata jenjang program S3 adalah 4 tahun 9 bulan.
-
Apa yang dibuat mahasiswa UGM dari kotoran sapi? Mahasiswa merupakan agen perubahan. Mereka telah menciptakan berbagai inovasi yang memberi dampak perubahan di tengah masyarakat. Terbaru, mereka melakukan inovasi dengan menyulap kotoran sapi menjadi batako untuk bahan bangunan.
-
Bagaimana cara pantun ini menghibur mahasiswa? Pantun mahasiswa lucu ini bisa jadi pelepas stres di tengah sibuknya kuliah.
-
Kapan UGM diresmikan? Universitas Gadjah Mada (UGM) didirikan pada 19 Desember 1949 di Yogyakarta, Indonesia.
Ketua tim pengembang ESDS, AA. Gde Yogi Pramana menjelaskan, alat tersebut dapat melakukan pengukuran massa dan panjang tubuh pada bayi secara cepat. Tak hanya itu, alat tersebut juga dapat menyimpan hasil pengukuran secara otomatis sebagai data di aplikasi yang telah terintegrasi.
Dengan begitu, pertumbuhan dan perkembangannya dapat dipantau secara berkala untuk mendeteksi secara dini gejala stunting pada anak di bawah umur dua tahun dengan bantuan machine learning.
“Alat ini juga dirancang agar dapat menghemat waktu serta meminimalkan kesalahan pengukuran karena faktor kesalahan manusia yang masih menggunakan alat ukur secara konvensional,” kata Yogi, mengutip dari Ugm.ac.id pada Senin (20/11).
Yogi mengatakan bahwa pengembangan ESDS tersebut berawal dari keprihatinan mereka terhadap tingginya kasus stunting di Tanah Air. Deteksi dini stunting pada anak di bawah usia dua tahun sebenarnya telah banyak dilakukan kader kesehatan di masyarakat melalui posyandu.
Hanya saja masih sering terjadi kesalahan terhadap keakuratan dalam mengukur dan mengevaluasi pertumbuhan pada anak yang disebabkan oleh kurangnya keterampilan kader dan tidak sesuainya alat pengukur dengan standar antropometri.
“Saat memakai timbangan dacin yang berbasis manual dengan model ayunan seringkali dalam proses penimbangan pengukurannya tidak akurat karena bayi merasa tidak nyaman dan banyak bergerak,” terang Yogi.
Yogi mengatakan bahwa ESDS merupakan hasil pengembangan dari produk yang telah ada sebelumnya.
Produk ini terintegrasi dengan sistem informasi yang tersedia dalam bentuk website application dan mobile application yang menampilkan informasi tumbuh kembang anak, status gizi pada bayi dua tahun, indikasi stunting atau tidak pada anak, edukasi sederhana terkait gizi anak, serta riwayat tumbuh kembang anak.
“Alat ini terintegrasi dengan web-application untuk mengendalikan alat ukur bagi kader yang melakukan atropometri dan menampilkan laman untuk registrasi bayi,” kata Yogi.
Sementara itu anggota kelompok lainnya, Faiz Ihza Permana, memaparkan cara kerja ESDS.
Jadi saat balita ditimbang pada permukaan alat atau area yang telah disediakan, maka sensor high precision cell yang akan membaca besaran yang diukur atau ditimbang. Selanjutnya hasil pembacaan tersebut akan dikalibrasi dengan metode regresi linear untuk mendapatkan calibration factor.
Lalu LCD akan menampilkan hasil pengukuran berupa data kuantitatif yang merupakan interpretasi dari massa dan panjang tubuh bayi yang diukur.
Sedangkan anggota tim lain, Salsa Novalimah, mengatakan hadirnya ESDS ke depan akan memudahkan pengguna dalam melakukan deteksi dini stunting dan pemantauan mandiri bagi orang tua yang punya bayi dua tahun.
Deteksi dini stunting dan pemantauan mandiri diharapkan dapat membantu pemerintah dalam mempercepat penurunan angka prevalensi stunting di Indonesia menjadi 14 persen.
“Dari Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) pada tahun 2022, prevalensi stunting pada anak di bawah 5 tahun masih tinggi yakni sebesar 21,6 persen. Harapannya kehadiran alat ini bisa membantu deteksi dini stunting sehingga mendorong percepatan penurunan stunting di tanah air,” ujar Salsa.