Penuh Perjuangan, Ini Kisah Tim Pemulasaran Jenazah COVID-19 di Banjarnegara
Dari yang semula beranggotakan 15 orang, kini anggota Tim Pemulasaran Jenazah Pasien COVID-19 RSI Banjarnegara tinggal tiga orang. Selain harus bertaruh nyawa, mereka harus merasakan lelah luar biasa karena pemakaman jenazah COVID-19 sudah tak lagi mengenal waktu.
Di masa pandemi ini, banyak orang meninggal akibat terinfeksi COVID-19. Agar tidak semakin menyebar, pemakaman jenazah pasien COVID-19 harus dilakukan dengan cara khusus. Sanak saudara dan sahabat pun tak diperkenankan untuk ikut membantu mengiringi jenazah.
Yang jelas, tugas berat harus dihadapi para petugas pemakaman jenazah COVID-19. Tak hanya berjuang dalam mengatasi rasa takut akibat tertular virus, mereka juga berjuang melawan lelah karena makin hari jumlah pasien yang meninggal karena COVID-19 semakin banyak. Hal itulah yang dirasakan tim pemulasaran jenazah COVID-19 Rumah Sakit Islam Banjarnegara, Jawa Tengah.
-
Kenapa Jaka merantau? Dengan penuh tekad, Jaka pun memutuskan untuk merantau ke negeri orang untuk mencari nafkah dan mewujudkan semua impian mereka berdua.
-
Kapan Beji Sirah Keteng dibangun? Mengutip Instagram @purbosasongko_dalang, Situs Beji Sirah Keteng dibangun pada masa pemerintahan Raja Sri Jayawarsa.
-
Apa yang diterima Pemprov Jateng dari Balai Bahasa? Pada Kamis (10/8), Pemprov Jateng menerima hibah dari Balai Bahasa berupa bangunan gedung permanen dan perangkatnya.
-
Bagaimana cara membuat Jenang Saren? Mengutip Kemdikbud.go.id, bahan utama yang digunakan untuk membuat jenang saren adalah tepung ketan dan gula jawa.
-
Kenapa Candi Jago dibangun? Sejarah Candi Jago dibangun atas inisiasi Raja Kertanegara untuk menghormati mendiang sang ayah, Raja Sri Jaya Wisnuaedhana (1248-1268).
-
Bagaimana cara membuat kue jipang? Berasnya dimasukkan ke situ,” ungkap pemilik kanal YouTube Brent Sastro sembari menunjuk sebuah alat pemanas yang dihubungkan ke gas elpiji. Di sebelahnya, tampak sebuah wajan berisi air gula yang dicampur minyak sedang dipanaskan.
Dari yang semula beranggotakan 15 orang, kini anggota Tim Detasemen Tutup Bumi 19 alias Dentum 19 hanya menyisakan 3 orang. Padahal jumlah jenazah yang harus diurus hari demi hari semakin banyak.
“Beberapa anggota lama yang akhirnya terpapar COVID-19 menjadi mudah lelah, banyak istirahat. Padahal jenazah yang meninggal karena COVID-19 itu makin banyak. Pemakamannya juga tak kenal waktu,” kata Gunadi, salah satu anggota tim Dentum 19.
Lalu apa saja perjuangan yang harus dihadapi para petugas pemulasaran jenazah COVID-19? Berikut selengkapnya:
Pernah Jatuh ke Liang Lahat
©2021 Merdeka.com/Iqbal Nugroho
Gunadi mengatakan, salah satu pengalaman yang tak pernah terlupakan saat menjadi tim pemulasaran jenazah COVID-19 adalah saat suatu hari dia jatuh ke liang lahat. Pada saat itu, kondisi malam hari dan minim penerangan. Karena sudah lelah, dia akhirnya jatuh ke liang lahat yang telah disiapkan. Tak hanya Gunadi, beberapa temannya juga pernah mengalami kejadian serupa.
Selain itu, yang paling sering dialaminya adalah tersandung batu atau nisan makam. Sepulang dari pemakaman, ia mendapat kakinya telah berdarah.
“Gak sadar tahu-tahu perih, kaki berdarah-darah sampai kantor. Kondisi makam gelap, tangan memegang peti jenazah, otomatis kita tidak bisa jalan cepat. Kadang kaki sering tersandung karena makam di Banjarnegara tidak tertata rapi,” ungkap Gunadi dikutip dari Liputan6.com pada Rabu (14/7).
Hadapi Keluarga Almarhum
©Liputan6.com/Arfandi Ibrahim
Tantangan lain yang harus dihadapi tim pemulasaran jenazah adalah menghadapi keluarga almarhum. Biasanya, mereka menghendaki prioritas pelayanan dan enggan berlama-lama mengantre. Namun di sisi lain, mereka juga harus taat prosedur mengingat jumlah petugas yang terbatas.
“Kami kerepotan, karena saat sampai di rumah sakit kami harus mengantar dan mengubur jenazah lagi. Jadi kami tidak ada prioritas, namun harus sesuai urutan dan antrean,” kata Eko Pranoto, anggota tim yang lain.
Bekerja 27 Jam
©2021 Merdeka.com/Iqbal Nugroho
Walau kaki harus berdarah dan badan kepanasan akibat mengenakan jubah hazmat, semangat para anggota tim pemulasaran jenazah tak pernah luntur. Mereka sadar yang mereka lakukan bukan sekadar pekerjaan, namun juga pengabdian untuk membantu sesama. Karena itulah mereka berani berkorban bekerja tak kenal waktu.
Pernah pada suatu hari tim itu mengurus delapan jenazah. Masing-masing jenazah ditempatkan di makam yang berbeda-beda. Tak jarang mereka harus bekerja hingga subuh sehingga merasakan lelah yang luar biasa.
“Saya pernah menghitung 27 jam saya bekerja. Sangat kami nikmati prosesnya tanpa mengeluh sedikitpun,” kata Eko.