Pernah Jadi Ibu Kota Mataram, Ini Kisah Berdirinya Keraton Kartasura
Pada abad ke-17, daerah Kartasura yang kini secara administratif masuk Kabupaten Sukoharjo merupakan Ibu Kota Kerajaan Mataram Islam. Kartasura dipilih untuk menjadi ibu kota Mataram setelah meletusnya Pemberontakan Trunajaya yang terjadi di Plered, Ibu Kota Mataram sebelumnya.
Pada abad ke-17, daerah Kartasura yang kini secara administratif masuk Kabupaten Sukoharjo merupakan Ibu Kota Kerajaan Mataram Islam. Kartasura dipilih untuk menjadi Ibu Kota Mataram setelah meletusnya Pemberontakan Trunajaya yang terjadi di Plered, Ibu Kota Mataram sebelumnya.
Setelah pemberontakan itu berakhir dan pihak Kerajaan Mataram berhasil menangkap Trunajaya, Sunan Amangkurat II yang saat itu menjadi Raja Mataram, memerintahkan Pangeran Nerangkusuma membuka Hutan Wanakerta untuk dijadikan kawasan pemukiman. Seiring berjalannya waktu, wilayah itu semakin besar dan menjadi Ibu Kota Kerajaan Mataram.
-
Kenapa Jaka merantau? Dengan penuh tekad, Jaka pun memutuskan untuk merantau ke negeri orang untuk mencari nafkah dan mewujudkan semua impian mereka berdua.
-
Kapan Beji Sirah Keteng dibangun? Mengutip Instagram @purbosasongko_dalang, Situs Beji Sirah Keteng dibangun pada masa pemerintahan Raja Sri Jayawarsa.
-
Apa yang diterima Pemprov Jateng dari Balai Bahasa? Pada Kamis (10/8), Pemprov Jateng menerima hibah dari Balai Bahasa berupa bangunan gedung permanen dan perangkatnya.
-
Bagaimana cara membuat Jenang Saren? Mengutip Kemdikbud.go.id, bahan utama yang digunakan untuk membuat jenang saren adalah tepung ketan dan gula jawa.
-
Kenapa Candi Jago dibangun? Sejarah Candi Jago dibangun atas inisiasi Raja Kertanegara untuk menghormati mendiang sang ayah, Raja Sri Jaya Wisnuaedhana (1248-1268).
-
Bagaimana cara membuat kue jipang? Berasnya dimasukkan ke situ,” ungkap pemilik kanal YouTube Brent Sastro sembari menunjuk sebuah alat pemanas yang dihubungkan ke gas elpiji. Di sebelahnya, tampak sebuah wajan berisi air gula yang dicampur minyak sedang dipanaskan.
Selama pusat pemerintahan berada di Kartasura, pemberontakan demi pemberontakan terjadi hingga akhirnya pusat Kerajaan Mataram kembali berpindah di sebuah daerah yang hingga kini dinamakan Surakarta.
Berikut kisah berdirinya Kraton Kartasura:
Dipilih Sebagai Ibu Kota Kerajaan
©Wikipedia.org
Setelah Keraton Plered hancur karena Pemberontakan Trunajaya, diadakan rapat pemilihan lokasi keraton yang baru oleh tokoh-tokoh kerajaan. Mereka kemudian menetapkan tiga tempat yang dianggap tepat untuk membangun keraton yang baru.
Lokasi yang diusulkan waktu itu adalah Wanakerta, Logender, dan Tingkir. Ketiga lokasi ini memang dianggap sebagai tempat layak untuk didirikan kerajaan. Logender misalnya, tempat itu dinilai terbuka dan memiliki kecukupan air.
Sementara daerah Tingkir dianggap sejuk. Kondisi yang sama juga ada di Wanakerta. Bahkan daerah itu cukup dekat dengan bekas wilayah Pajang dan Mataram. Pada akhirnya, pilihan jatuh ke wilayah Wanakerta.
Berdirinya Keraton Kartasura
©2021 Liputan6.com
Setelah pemilihan ibu kota, keraton di daerah Wanakerta dibangun dengan waktu tujuh bulan lamanya. Di sekeliling keraton dibangun benteng yang kokoh. Melansir dari Liputan6.com, Babad Tanah Jawi menyebutkan kompleks kerajaan ini terdiri dari bangunan yang kokoh. Pada 1682, bangunan keraton telah jadi seutuhnya dan mulai ditempati oleh Sunan Amangkurat II.
Saat Sunan Amangkurat pertama kali masuk ke istana barunya itu, nama “Wanakerta” kemudian diubah menjadi “Kartasura Hadiningrat”. Di sebelah selatan kompleks istana itu ada alun-alun. Sementara itu untuk memperkuat keamanan, bagian depan benteng dilapisi semak berduri dan parit berair.
Pemberontakan di Keraton Kartasura
©Wikipedia.org
Setelah Amangkurat II wafat, tahta kemudian dilanjutkan oleh putranya, Adipati Anom yang bergelar Amangkurat III. Namun setelah itu terjadi perang saudara selama 4 tahun yang melibatkan Amangkurat III dengan pamannya, Adipati Puger yang dinobatkan sebagai Raja Mataram dengan gelar Pakubuwana I. Pada akhirnya perang saudara itu dimenangkan pihak Pakubuwana I yang kemudian menduduki tahta Kraton Kartasura hingga wafat.
Pada saat Keraton Kartasura dipimpin oleh Sunan Pakubuwana II, terjadi berbagai pemberontakan di antaranya pemberontakan Cina (1740) yang kemudian disusul oleh pemberontakan R.M Garendri (1743). Karena pasukan Kartasura tak mampu menghadapi serangan kaum pemberontak, pertahanan keraton kemudian bobol dan Pakubuwana II terpaksa melarikan diri ke Wonogiri. Melansir dari Uns.ac.id, Pakubuwana berhasil kembali merebut Kartasura pada 1744 setelah mengadakan kerja sama dengan Adipati Madura, Cakraningrat.
Namun karena kondisi kraton sudah rusak berat akibat pemberontakan, istana akhirnya dipindah ke sebuah lokasi bernama Desa Sala pada tahun 1745.
Peninggalan Keraton Kartasura
©Wikipedia.org
Kini, kondisi peninggalan Keraton Kartasura sungguh memprihatinkan. Tembok batu bata di luar keraton telah hancur dengan tanah dan menyisakan beberapa bagian saja. Bahkan di dalam tembok itu kini telah dipenuhi perumahan, ladang, dan makam.
Namun yang menjadi sorotan adalah sebuah gundukan tanah setinggi lebih dari 20 meter di bekas peninggalan itu. Warga setempat menyebut gundukan tanah itu sebagai “Gunungkunci”.
Di puncak gundukan tanah itu ada sebuah makam keramat. Dulunya gundukan tanah itu adalah Segoroyoso, atau tempat rekreasi keluarga kraton yang dibangun pada masa Paku Buwana I (1704-1709).