Potret Sepeda Zaman Kolonial Belanda Harganya Capai Rp25 Juta, Hanya Pejabat dan Bangsawan yang Punya
Saat itu, harga sepeda sangat mahal dan tidak bisa dijangkau masyarakat luas.
Saat itu, harga sepeda sangat mahal dan tidak bisa dijangkau masyarakat luas.
Potret Sepeda Zaman Kolonial Belanda Harganya Capai Rp25 Juta, Hanya Pejabat dan Bangsawan yang Punya
Sepeda bukan barang baru bagi masyarakat Indonesia. Alat transportasi ini sudah ada sejak zaman kolonialisme Belanda. Pada zaman dulu, sepeda merupakan barang mewah dan tidak sembarang orang bisa memilikinya.
-
Siapa Cecep? Cecep Abdullah berasal dari Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Pemuda 26 tahun ini sempat viral di media sosial lantaran berkeliling kampung untuk membersihkan masjid.
-
Bagaimana Sesar Opak terbentuk? Sesar Opak sendiri terbentuk karena adanya pergerakan lempeng Oceanik yang masuk ke bawah Lempeng Asia. Pergerakan lempeng ini memicu terjadinya gunung api di Pulau Jawa. Tapi pergerakan lempeng ini membuat permukaan di Jawa menjadi tidak utuh. Tekanan dari lempeng Oceanik yang bergerak menciptakan rekahan-rekahan yang bisa bergerak sewaktu-waktu. Jika rekahan ini bergerak, maka terjadilah gempa.
-
Apa itu Pecel Semanggi? Pecel Semanggi adalah makanan khas Surabaya yang terbuat dari daun semanggi yang dikukus, kemudian dinikmati dengan sambal atau bumbu semanggi.
-
Siapa Serka Sudiyono? Serka Sudiyono adalah anggota TNI yang bekerja sebagai Babinsa di Desa Kemadu, Kecamatan Sulang, Rembang.
-
Apa itu Sempol? Sempol merupakan makanan khas Malang, Jawa Timur. Warga di sana biasa menyebutnya dengan nama sempolan ayam, karena berbahan dasar daging ayam dan sepintas bentuknya mirip paha ayam.
-
Dimana letak Sesar Opak? Jalur Sesar Opak sendiri memanjang dari selatan ke utara, mulai dari muara Sungai Opak di Kecamatan Kretek, Bantul, hingga daerah Prambanan di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Jalur sesar ini memang berdampingan dengan aliran Sungai Opak.
Sejarah
Mengutip Instagram @koloniaal_verslag, sepeda di Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh seorang Eropa yang bekerja sebagai manajer perusahaan tembakau di Asahan, Sumatra Utara pada akhir
tahun 1894.
Ada juga yang berpendapat
sepeda sudah eksis sejak
sebelum tahun 1894. Hal ini dibuktikan dengan adanya berita di koran Java Bode (1890). Seorang pria melakukan perjalanan naik sepeda dari Batavia ke Buitenzorg (Bogor) pada Hari Paskah, 7 April 1890.
Saat itu, hanya kalangan tertentu yang bisa memiliki sepeda, seperti pejabat kolonial, bangsawan, misionaris, dan pebisnis kaya. Hal ini lantaran harga sepeda saat itu sangat mahal.
Pada masa kolonial Belanda, harga sepeda seperti Gazalle hampir setara dengan 1 ons emas atau setara dengan Rp25 juta.
Kepemilikan sepeda semakin meluas pada masa damai usai
Perang Dunia I. Kantor-kantor perwakilan dagang dari berbagai negara-negara Eropa bermunculan di Hindia Belanda.
Mereka memasarkan sepeda di kota-kota besar, seperti Batavia, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Banjarmasin, dan Makassar.
Poster yang terbuat dari lempengan logam berlapis enamel mempromosikan merek-merek sepeda ternama. Seperti seperti Fahrrad, Opel, Batavus, Gazelle, dan Raleigh.
Populer
Mengutip Instagram @koloniaal_verslag, sepeda dalam
bahasa Belanda disebut "fiet" atau
"wielrijder" (kendaraan beroda). Achmad Sunjayadi menyebut sepeda sudah populer di Indonesia sejak abad ke-19 dengan sebutan velocipede.
Pada perkembangannya, velocipede mulai dilupakan karena kehadiran sepeda dengan ban karet berisi angin yang disebut rijwiel pada tahun 1890.
- Potret Pom Bensin di Indonesia pada Masa Kolonial, Ada di Purwodadi hingga Lampung
- 10 Potret Koleksi Perhiasan Syahrini yang Harganya Selangit, Ada Cincin Berlian Senilai Rp24 Miliar
- Potret Rumah Mewah Arsitektur Kolonial Belanda Terbengkalai, Ruang Tamunya Luas 'Subhanallah Bagus Banget'
- Potret Penampakan Pria-pria Jawa Zaman Dulu yang Berambut Gondrong, Tertulis dalam Catatan Penjelajah Negeri Cina
Secara perlahan, bersepeda menjadi hobi baru warga dunia, termasuk Hindia Belanda (Indonesia saat dijajah Belanda).
SepedaBarang Berharga
Orang-orang yang menjadi konsumen
sepeda buatan luar negeri mayoritas para pejabat kolonial. Sepeda
jadi alat transportasi guna mendukung kelancaran urusan kedinasan
di negeri kolonial. Sepeda menjadi inventaris berharga pada masa itu.
Selain para pejabat pemerintah, kalangan
yang memanfaatkan sepeda terbatas pada para pendeta, priayi, hingga pengusaha berduit. Masyarakat kelas bawah hanya mampu
membeli sepeda bekas atau menunggu harga sepeda tersebut turun.