Beda nasib imigran di Indonesia
Beda nasib imigran di Indonesia. Semua tenda berpenghuni. Diisi para imigran. Mereka merupakan pencari suaka. Berasal dari banyak negara. Mulai Afganistan, Sudan, Somalia, Korea hingga Tiongkok. Bukan tanpa alasan mereka tinggal di sana. Semua demi tuntutan. Mendesak UNHCR memberikan kepastian negara ketiga.
Belasan tenda besar berjajar di Jalan Kebon Sirih Barat I, Jakarta Pusat. Warnanya beragam. Dari jingga, hijau maupun biru. Berdiri di atas trotoar. Persis di depan gerbang Menara Ravindo lokasi kantor United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR). Sebuah badan milik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) khusus mengurus pengungsi.
Semua tenda berpenghuni. Diisi para imigran. Mereka merupakan pencari suaka. Berasal dari banyak negara. Mulai Afganistan, Sudan, Somalia, Korea hingga Tiongkok. Bukan tanpa alasan mereka tinggal di sana. Semua demi tuntutan. Mendesak UNHCR memberikan kepastian negara ketiga guna melanjutkan kehidupan. Para imigran di tenda ini bisa dikatakan belum beruntung. Hidup mereka menjadi luntang-lantung.
-
Apa julukan yang melekat pada IPB? Institut Pertanian Bogor (IPB) dikenal dengan sebutan "Kampus Rakyat" karena komitmennya yang mendalam terhadap pemberdayaan masyarakat dan pengembangan sektor pertanian yang langsung berdampak pada kehidupan sehari-hari rakyat.
-
Kenapa IPB didirikan? Institusi ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga ahli di sektor pertanian yang saat itu sangat vital bagi pembangunan negara.
-
Kapan IPB resmi didirikan? Pendirian Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 1 September 1963 merupakan tonggak sejarah penting dalam pengembangan pendidikan tinggi di Indonesia, khususnya dalam bidang pertanian.
-
Bagaimana PBB menyatakan kesiapan mereka dalam memenangkan Prabowo dan Gibran? Sekjen Partai Bulan Bintang Afriansyah Noor menegaskan partainya siap memenangkan Prabowo dan Gibran di Pemilu 2024.
-
Bagaimana Petugas Imigrasi tersebut meninggal? Korban diduga tewas setelah terlibat cecok dengan pelaku Warga Negara asal Korea Dal Joong Kim (DJK).
-
Kenapa militer Israel menembak kendaraan PBB? “Kami mengutuk keras kekejaman yang sedang berlangsung yang dilakukan oleh pendudukan Israel baik terhadap warga Palestina maupun pekerja bantuan asing di Gaza,” demikian pernyataan yang dikeluarkan oleh pemerintah di Gaza.
Seperti dirasakan Mahmud. Pria ini seorang imigran asal Afganistan. Sudah hampir 3,5 tahun belakangan ini dirinya tinggal di tenda. Merana. Ketika bertemu, kami melihat dia tengah duduk di pinggir Jalan Kebon Sirih Barat I. Memakai kaos warna abu-abu. Celana training hitam dan sendal jepit. Tatapannya datar. Melihat ke arah jalan dan memeluk sebuah tas ransel hitam. Kepalanya hanya mengangguk mendengar suara berasal dari fon warna putih menempel di telinga.
Kami lantas menyapa. Menemui dan berkenalan dengan Mahmud. Ternyata sudah hampir lima tahun berada di Indonesia. Sebelum akhirnya tinggal di tenda. Selama di Tanah Air, dia sempat berada di Cisarua, Bogor. Hidup bersama para imigran Afganistan lainnya. Perlahan duit miliknya habis. Tak mampu lagi membayar sewa rumah dan memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Urusan finansial semakin sulit. Mahmud memberanikan diri berangkat ke Jakarta. Mendatangi kantor UNHCR. Berharap mendapat bantuan. Lalu diberi tempat tinggal. Namun, dia akhirnya mendirikan tenda sambil meminta proses pengiriman ke negara ketiga lebih cepat. Sayang, meski sudah berada di depan gerbang, badan PBB tersebut belum juga memberinya kepastian. Lantas memutuskan tinggal dan mendirikan tenda pemberian relawan asal Bekasi. Makan seadanya. Bila ada uang dia makan di warung nasi terdekat. Sebaliknya, bila uang habis harus menahan lapar. Berharap ada orang baik memberinya makanan.
"Terus terang saya ke sini karena uangnya sudah lama habis," cerita Mahmud kepada merdeka.com akhir pekan lalu.
Dia bercerita, datang ke Indonesia untuk menyelamatkan diri. Sebab di Afganistan tengah berlangsung konflik antar suku. Mahmud adalah berasal dari Hazara, sebuah suku minoritas di Afganistan. Keberadaannya kerap diburu. Konflik ini akhirnya membuat dia memutuskan untuk kabur dari negara asalnya. Ingin selamat dan menata hidup lebih baik meski di negara orang. Begitu pikirnya. Hingga akhirnya tahun 2013, dia keluar dari Afganistan. Menumpang pesawat dari Pakistan dia terbang ke Indonesia.
Mahmud tak ingat lagi rute pesawat membawanya hingga sampai di Indonesia. Dia hanya ingat dari Bandara Soekarno-Hatta langsung diajak ke Cisarua, Bogor. Tak lama dia tinggal di Bogor. Hanya 1,5 tahun. Lalu langsung mengajukan izin sebagai pencari suaka ke UNHCR. Namun sejak tahun 2014, dia tak juga dipanggil guna menjalani proses wawancara. Padahal semua telah dilalui.
Pencari Suaka di depan kantor UNHCR ©2016 Merdeka.com
Seleksi Untuk mendapat negara ketiga dari UNHCR memang ketat. Badan ini menjalankan prosedur Penentuan Status Pengungsi (RSD). Dimulai dengan registrasi atau pendaftaran terhadap para pencari suaka. Setelah registrasi, mereka akan melakukan wawancara individual tiap pencari suaka, dengan didampingi seorang penerjemah.
Proses ini melahirkan keputusan beralasan menentukan apakah permintaan status pengungsi diterima atau ditolak. Sekaligus kepada mereka satu kali kesempatab untuk meminta banding apabila permohonannya ditolak. Sedangkan bagi mereka sudah teridentifikasi akan menerima perlindungan selama UNHCR mencarikan solusi jangka panjang. Biasanya berupa penempatan di negara lain. Untuk tujuan ini, UNHCR berhubungan erat dengan banyak negara memiliki potensi untuk menerima pengungsi.
Kami telah mencoba mendatangi kantor dan menghubungi pihak UNHCR di Jakarta untuk meminta penjelasan mengenai masalah imigran di Tanah Air. Namun, tidak satu pun menanggapi permintaan kami. Meski begitu, menurut situs unhcr.org, tercatat sampai dengan akhir Maret 2017, sebanyak 6,191 pencari suaka dan 8,279 pengungsi terdaftar di UNHCR Jakarta secara kumulatif.
Hingga kini Mahmud tak juga mengetahui statusnya. Belum mendapatkan kartu pengungsi. Tanda akan diberangkatkan ke negara ketiga. Bagi imigran sudah mendapat kartu pengungsi pun harus menunggu persetujuan negara tujuan untuk diterima atau ditolak. Meski hidup di trotoar, dirinya menegaskan bukan seorang pengemis. Sebab, tak pernah minta belas kasihan orang meski tak punya uang sepeser pun di kantong. Dia memilih kelaparan dibanding meminta. Namun, tak menolak bila ada orang memberikan bantuan. "Kita bukan minta-minta (pengemis) seperti itu," ungkap Mahmud.
Hidup di pinggir jalan membuat Mahmud selalu sigap dan waspada. Sebab ada saja pihak mencoba mengambil keuntungan. Selama tinggal di tenda, dirinya pernah kehilangan barang. Mulai dari ponsel hingga baju maupun sandal. Hanya pasrah. Dan menjadi lebih waspada menjaga sisa barang berharga miliknya.
Hal serupa juga dialami Choi. Imigran asal Tiongkok itu juga tinggal di Jalan Kebon Sirih Barat I. Sama seperti Mahmud, Choi juga sudah bertahun-tahun menunggu kepastian status dari UNHCR. Dia mengaku tak pernah bisa tidur nyenyak di malam hari. Sebab setiap dua jam dia pasti terbangun. Mendengar suara kendaraan. Tak jarang dirinya kerap terbangun lantaran tendanya diserempet kendaraan dikemudikan orang mabuk.
Sudah tak betah. Begitu katanya. Tetapi, dia memilih bersabar. Tak bisa berbuat apa-apa. Tak ada uang untuk kembali ke negara asal. Hanya menunggu kepastian pengiriman dirinya ke negara ketiga.
Cerita berbeda datang dari Ali. Pengungsi Afganistan dan tinggal di Jakarta. Nasib Ali lebih beruntung. Dia tak pernah tinggal di tenda pinggir jalan dekat kantor UNHCR. Pria berusia 20 tahun ini tak terlihat seperti pengungsi terlantar. Layaknya turis, dia tampil rapi meski hanya memakai kaos dan celana jeans. Ali bersama dua temannya sesama pengungsi Afganistan tinggal di sebuah rumah sewa kawasan Kalibata, Jakarta Selatan. Setiap bulannya mereka urunan membayar sewa seharga Rp 2 juta per bulan.
Seperti halnya Mahmud, Ali datang ke Indonesia menggunakan jalur udara. Terbang dari Kabul menuju India dan Malaysia untuk transit. Setelah dua hari baru tiba di Indonesia. Lalu diarahkan menuju Cisarua. Tak lama tinggal di kawasan Puncak Bogor itu. Hanya sembilan bulan.
Untuk mencukupi kebutuhan hidup, Ali mendapatkan kiriman dari seorang temannya telah mendapat negara suaka. Keluarga di Afganistan beberapa kali juga masih mengirimkan uang. Tetapi, memang tidak banyak. Untuk itu, dia masih bisa hidup lebih laik dibanding para imigran lainnya. "Dikirim uang dari keluarga dan teman saya," ujar Ali kepada kami.
Mega, seorang wanita warga negara Indonesia sekaligus teman dekat Ali, mengatakan bahwa para imigran ini biasanya mempunyai banyak utang. Itu berasal dari uang kiriman para imigran beruntung. Namun uang tersebut bukan diberikan cuma-cuma. Sebaliknya dianggap sebagai utang dan harus dibayar bila telah mendapatkan negara suaka.
"Salah satu temannya Ali)itu sampai tahun 2017 utangnya sudah sampai Rp 300 juta. Uangnya itu biasa digunakan untuk tempat tinggal, makan sehari-hari, tergantung lifestyle dari mereka," cerita Mega.
Ini terpaksa dilakukan lantaran para imigran ini dilarang bekerja selama di Indonesia. Bila nekat, bakal berurusan dengan pihak imigrasi. Sanksi hukum pun tak bisa dihindarkan. Sebab, Indonesia tidak berkewajiban menampung atau mempersilahkan para pengungsi negara konflik untuk datang ke Indonesia. Semua didasari lantaran Indonesia tidak ikut menandatangani Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang Pengungsi Internasional. Namun, Indonesia menandatangai konvensi HAM berkewajiban untuk menaati konvensi pengungsi internasional.
Imigran dekat kantor UNHCR Jakarta ©2018 Merdeka.com/Anisyah Al Faqir
Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM menyebut bahwa UNHCR memiliki beberapa kriteria untuk mengirim imigran dari negara transit ke negara tujuan. Mulai dari tidak memiliki latar belakang kriminal, memiliki tanda persekusi dan keberadaan imigran terancam jiwanya di negara asal. "Tugas UNHCR itu yang nanti akan menentukan apakah dia layak untuk diberikan status sebagai pengungsi atau seperti apa, mereka punya kriteria," kata Kepala Humas Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, Agung Sampurno kepada merdeka.com.
Agung menyebut biasanya tujuan para pencari suaka di Indonesia adalah Australia. Sebab dilihat dari letak geografis, Indonesia bertetangga dengan Australia. Tak hanya alasan geografis, para imigran datang ke Indonesia lantaran pemerintah telah menerapkan kebijakan bebas visa kepada wisatawan mancanegara. Program semulanya untuk menggerakkan roda ekonomi dari sektor pariwisata ini dimanfaatkan para imigran. Setelah berada di Indonesia mereka lantas mendaftarkan diri sebagai pencari suaka di kantor perwakilan UNCHCR. Menurut data dimiliki Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, sampai 31 Agustus 2017, ada 14.337 orang imigran ilegal berada di Indonesia.
Nasib Mahmud dan Choi memang belum beruntung. Kepastian mendapat negara suaka masih digantung. Padahal saban hari sudah berdiri di depan kantor UNHCR. Namun, tetap saja mereka masih tinggal di emperan jalan. Berharap ada belas kasihan orang memberi makan. Sudah biasa menahan rasa lapar.
Sedangkan Ali lebih beruntung. Permohonan mengajukan diri sebagai warga pencari suaka diterima UNHCR. Dia telah mendapatkan kartu pengungsi. Setelah menjalani proses wawancara Ali memutuskan untuk pindah ke Jakarta. Setelah menunggu 3,5 tahun di Indonesia, Ali mendapatkan kabar dirinya akan segera di kirim ke negara ketiga. Ada empat negara tujuan para pencari suaka di Indonesia. Mulai dari Autralia, New Zealand, Amerika dan Kanada. Tetapi, sampai saat ini belum mendapat kepastian soal keberangkatan.
Baca juga:
88 Calon TKI ilegal diamankan dari balai penampungan di Jakarta Timur
Kemnaker dan Bareskrim Polri gagalkan pengiriman 98 pekerja Migran ilegal
Tangis haru warnai momen penyelamatan migran di Laut Libya
26 Mayat perempuan ditemukan tewas misterius di Laut Mediterania
Kabur dari Rudenim Balikpapan, 3 WN Afghanistan terditeksi di Banjarmasin