Kampus Ruang Diskusi, Pendidikan Militer Belum Urgensi
Kalau tujuan pendidikan militer untuk mempersiapkan komando cadangan alias Komcad maka proses pendaftaran, seleksi, pembentukan, dan pengesahan harus dilakukan sesuai ketentuan UU PSDN yang berlaku.
Banyak cara wewujudkan rasa nasionalisme kaum milenial. Tidak harus melalui pendidikan militer di perguruan tinggi. Dirasa belum ada urgensi. Meskipun upaya itu menjadi salah satu alternatif.
Upaya memasukkan pendidikan militer di kampus memang sedang digodok Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Mereka merasa program itu mampu membangkitkan sikap cinta tanah air di kalangan generasi muda.
-
Apa yang dilakukan mahasiswa UGM dalam KKN mereka di Sulawesi Barat? Mahasiswa adalah agen perubahan. Tak sedikit mahasiswa yang melakukan inovasi untuk memberikan perubahan di tengah masyarakat. Bentuk inovasi itu bisa dilakukan melalui berbagai cara, salah satunya saat program Kuliah Kerja Nyata atau KKN. Melalui program KKN, Mahasiswa Universitas Gadjah Mada bakal memasang teknologi pemanen air hujan, tepatnya di Pulau Karampuang, Mamuju, Sulawesi Barat.
-
Siapa yang terlibat dalam penerapan Kurikulum Merdeka? Dengan demikian, secara konkret orang tua perlu menjadi teman dan pendamping belajar bagi anak.
-
Di mana Universitas Terbuka menjangkau calon mahasiswa? Salah satunya kami mengikuti acara KLBB yang digelar selama dua hari ini.
-
Mengapa Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian, Kerjasama dan Alumni Fakultas Filsafat UGM memanggil mahasiswa tersebut? Pemanggilan ini disebut Iva untuk melakukan konfirmasi dan meminta keterangan. "Kami tahu dari media sosial. Ini kita menemui yang bersangkutan. Kita ajak bicara, kita ajak diskusi untuk menggali seperti apa yang sebenarnya terjadi," kata Iva saat dihubungi wartawan, Senin (18/3).
-
Kenapa beasiswa Banyuwangi Cerdas diberikan? "Ini adalah upaya menjamin pendidikan bagi siswa yang berprestasi namun tidak mampu secara ekonomi. Pendidikan adalah hak setiap anak bangsa, untuk itu perlu menjamin pendidikan mereka, untuk bisa meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi," kata Ipuk.
-
Bagaimana cara para mahasiswa mengurai isi naskah kuno tersebut? Mengutip BBC, Jumat (9/2), mahasiswa itu menggunakan artificial intelligence (AI) untuk “membuka” isi teks yang terbakar itu. Teks tersebut diperkirakan milik ayah mertua Julius Caesar yang berisi tentang musik dan makanan. Para ahli menyebut terobosan ini sebagai “revolusi” dalam filsafat Yunani.
Pemerhati Pendidikan dari Universitas Multimedia Nusantara Doni Koesoema mengatakan, dalam konteks kampus, sebenarnya masih ada banyak cara untuk menumbuhkan rasa cinta bangsa dan nasionalisme. Misalnya, melalui keikutsertaan mahasiswa melalui pendidikan kewarganegaraan, bukan melalui pelatihan dasar kemiliteran secara wajib.
Dia berpandangan, pengayaan pengalaman mencintai bangsa dan tanah air bisa dilakukan melalui banyak cara, metode, dan ruang ekspresi seni, budaya, dan agama. "Jadi saya melihat belum ada urgensi untuk pendidikan militer di kampus," ujar Doni kepada Merdeka.com, Kamis pekan lalu.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya nasional, pasal 13 mengatur tentang cara Bela Negara melalui pelatihan dasar kemiliteran secara wajib bagi warga negara sebagai calon Komponen Cadangan yang memenuhi syarat.
Kalau tujuan pendidikan militer untuk mempersiapkan komando cadangan alias Komcad maka proses pendaftaran, seleksi, pembentukan, dan pengesahan harus dilakukan sesuai ketentuan UU PSDN yang berlaku. Pendekatan yang dilakukan pun harus berbasis pada kesukarelaan peserta.
Atas dasar itu, Doni melihat bahwa pendidikan militer tidak diwajibkan, dan hanya berlaku bagi mahasiswa yang memang tertarik mengikutinya dan memenuhi berbagai syarat, seperti sehat secara fisik dan mental. Kalau perlu, bisa dilakukan asesmen ideologi, agar tidak dimanfaatkan banyak kelompok tertentu dengan mempergunakan momen ini.
Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) ini pun berpandangan, pendidikan militer bisa menjadi pengganti mata kuliah pendidikan Pancasila yang ada di perguruan tinggi sejauh universitas memiliki kebijakan untuk mengonversinya. Terkait hal ini, dia menggarisbawahi perbedaan karakter antara pendidikan militer dan pendidikan yang dikembangkan di universitas.
Pendidikan militer mahasiswa tidak boleh diperpanjang di lingkup kampus dengan menjadikan mereka semacam perwakilan militer di kampus. Bagi Doni, kampus adalah tempat pengembangan keutamaan akademis, yang lebih mengutamakan dialog dan pemikiran kritis yang terbuka pada berbagai macam pemikiran sejauh dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. "Militerisme di kampus tidak boleh terjadi."
Sebenarnya pola pendidikan militer bisa dimanfaatkan asal sesuai porsi. Terutama untuk pembentukan karakter mahasiswa agar memiliki sikap nasionalisme. Namun, model militer, komando dan ketaatan pada atasan, yang sifatnya hirarki tidak bisa otomatis berlaku juga di kampus. Karena domain kampus adalah domain akademis.
Untuk itu, dia mendorong sebaiknya rencana pendidikan militer dipertimbangkan dengan baik agar tetap selaras dengan UU Bela Negara dan tidak membingungkan publik.
DPR justru melihat rencana Kemenhan dan Kemendikbud tersebut merupakan terobosan yang baik. Jika ditilik dari sisi penguatan pendidikan karakter bagi peserta didik untuk menanamkan kedisiplinan, menamakan nilai nilai Pancasila dan semangat kebangsaan.
Wakil Ketua Komisi X DPR, Abdul Fikri Faqih, mengatakan ada baiknya pelaksanaan program tersebut porsi yang diberikan disesuaikan dengan jalur, jenis, dan jenjang pendidikan. "Sehingga tidak lantas mengubah pendidikan kita yang humanis menjadi kaku dan militeristik," ungkap Abdul kepada Merdeka.com.
Politikus PKS ini mengatakan, sejauh ini memang belum ada komunikasi antara pihaknya dengan Kemendikbud selaku rekan kerja Komisi X terkait program tersebut. Namun, dia berharap agar program tersebut juga harus diimbangi dengan penguatan pendidikan agama dan budaya yang cukup.
Kasubdit Direktorat Bela Negara, Kolonel Kav. Tjetjep Darmawan menegaskan bahwa konsep Bela Negara mesti dipahami sebagai tekad setiap warga negara Indonesia. Baik secara perorangan dan kelompok untuk mencintai tanah air, sadar berbangsa dan bernegara, juga yakin terhadap pancasila sebagai ideologi bangsa, rela berkorban, dan memiliki kemampuan bela negara.
"Sekali lagi, Bela Negara bukan militeristik dan bukan wajib militer," jelas Tjetjep kepada merdeka.com.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Nizam mengatakan, pelaksanaan program ini merupakan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional Untuk Pertahanan Negara. Sampai saat ini mekanisme pelaksanaan program tersebut masih dibahas oleh kedua belah pihak.
Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud Nizam menyampaikan, program tersebut merupakan pelaksanaan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (PSDN). Dalam UU tersebut, setiap warga negara memiliki hak untuk menjadi bagian dalam Komcad. Hak itulah yang sedang diupayakan agar dapat terpenuhi.
"Dalam UU 23/2019 tentang Sumber Daya Nasional Untuk Pertahanan Negara, salah satunya mengamanahkan tentang hak WNI untuk menjadi komponen cadangan. Hak tersebut kita penuhi melalui skema kampus merdeka," ujar dia kepada Merdeka.com, pekan lalu.
Jika menilik UU 23/2019, maka pada pasal 6 ayat (1) UU tersebut disebutkan bahwa setiap Warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha Bela Negara yang diwujudkan dalam penyelenggaraan Pertahanan Negara.
Selanjutnya pada ayat (2) dijelaskan bahwa Keikutsertaan Warga Negara dalam usaha Bela Negara diselenggarakan melalui pendidikan kewarganegaraan; pelatihan dasar kemiliteran secara wajib; pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia secara sukarela atau secara wajib; dan pengabdian sesuai dengan profesi.
Pada pasal 6 ayat 3 disebutkan Hak Warga Negara dalam usaha Bela Negara antara lain mendapatkan pendidikan kewarganegaraan yang dilaksanakan melalui Pembinaan Kesadaran Bela Negara; mendaftar sebagai calon anggota Tentara Nasional Indonesia; dan mendaftar sebagai calon anggota Komponen Cadangan.
Dengan demikian, melalui program tersebut, lanjut dia, mahasiswa diberikan ruang untuk menggunakan haknya menjadi bagian dari komponen cadangan pertahanan negara. "Selain itu program-program kepemimpinan dan bela negara yang bagus akan kita kerjasamakan dengan Kemenhan."
Dia pun menegaskan bahwa program komponen cadangan Kemenhan bersifat sukarela. Jika kita membaca UU 23/2019, maka di pasal 28 juga dijelaskan bahwa komponen cadangan merupakan pengabdian dalam usaha pertahanan yang bersifat sukarela.
Dia juga menampik bahwa program tersebut merupakan sinyal militer masuk kampus. Program tersebut merupakan pemenuhan hak warga negara dalam bela negara. Siapapun yang memenuhi syarat boleh mendaftar dan mengikuti seleksi program dan pelatihan yang diselenggarakan oleh Kemenhan. Termasuk mahasiswa.
Kalau memenuhi syarat, maka saat lulus, mahasiswa yang bersangkutan tidak hanya mendapatkan gelar kesarjanaan, melainkan juga dapat menjadi perwira cadangan. Mereka yang berstatus perwira cadangan tetap dapat menempuh pilihan karir yang mereka inginkan menurut minat, bakat, dan ilmu yang sudah mereka pelajari.