Ketika korban pemerkosaan justru dibilang genit
"Ini masih menjadi stigma lama pada masyarakat. Katanya korban genit, pakaiannya seksi," kata Uli.
Upaya menghapus diskriminatif terhadap korban pemerkosaan seperti masih 'jauh panggang dari api'. Secara sosial, hukum, dan budaya masih menerapkan korban sebagai pemicu masalah terjadinya kekerasan seksual.
Korban seringkali dianggap bersalah atau lumrah bila terjadi adanya kejadian bejat para pelaku. Rasa suka sama suka menjadi dalih bagi pemerkosa melakukan perbuatan tersebut. Atau paling tidak penampilan fisik korban ikut mempengaruhi penyebab lainnya.
"Ini masih menjadi stigma lama pada masyarakat. Katanya korban genit, pakaiannya seksi. Memang kalau sudah begitu apakah boleh berlaku seperti itu," kata Uli Pangaribuan, Divisi Pelayanan Hukum-Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan kepada merdeka.com di Jakarta dua pekan lalu.
Selain itu, dia melanjutkan, penerapan pasal-pasal berkaitan dengan kekerasan seksual masih gamang. Sulitnya lagi beberapa penyidik memandang sebelah mata dan cenderung ikut melecehkan korban. "Banyak kasus ketika penyidik mengetahui korban sudah tidak perawan, mereka malah balik menuduh dan merendahkan korban," ujarnya.
Seperti tertimpa Ar, inisial nama seorang mahasiswi korban pemerkosaan di wilayah Sumatera. Sampai kini dia harus menanggung beban hidup lebih berat lagi. Si pemerkosa sampai sekarang masih berada di lingkungan sama."Saya pernah surati pihak akademisi, belum ada tanggapan sampai sekarang," ujarnya.
Di kantor polisi dia juga menerima perlakuan mirip. Dia sudah pernah melapor, namun tanggapan tak serius dia terima. Kasus pemerkosaan yang menimpa mahasiswi yang bercita-cita menjadi guru itu, berhenti di bagian sentra pelayanan kepolisian (SPK), sebelum sampai masuk ke unit pelayanan khusus wanita atau satuan Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA).
Sejauh ini, data kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual terhadap perempuan di Sumatera Selatan masih tinggi. Data yang diungkap Womens Crisis Centre (WCC) Palembang, sampai kini tercatat sepanjang 2014 lalu, terjadi sebanyak 111 pemerkosaan.
Direktur Eksekutif WCC Palembang Yeni Roslaini Izi mengungkapkan, perempuan sangat rentan menjadi korban kejahatan, baik dalam rumah tangga, lingkungan, bahkan dalam pacaran. Tercatat, sepanjang tahun 2014 terjadi 279 kasus kekerasan terhadap perempuan. Dari jumlah itu, didominasi pemerkosaan sebanyak 111 kasus.
Kemudian disusul kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebanyak 74 kasus, kekerasan dalam pacaran 51 kasus, perdagangan perempuan dan anak sebanyak 4 kasus, dan kekerasan lainnya sebanyak 39 kasus. "Dari angka itu, pemerkosaan mendominasi di urutan pertama. Itu terjadi tahun 2014," ungkap Yeni, Rabu (21/1).
Adapun dari sisi usia, kata dia, mayoritas berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswi. Hal ini karena mereka sangat mudah menjadi korban pemerkosaan, baik oleh pacarnya sendiri atau orang lain di sekitarnya. "Karena rentan jadi korban, pelajar dan mahasiswi seharusnya lebih waspada dan mampu mengantisipasi kejahatan itu," ujarnya.
Yenni menambahkan, angka kekerasan terhadap perempuan tahun 2014 meningkat dibanding tahun 2013 yang berjumlah 234 kasus dan tahun 2012 sebanyak 237. "Pemerintah dan banyak pihak harus berperan penuh agar kekerasan terhadap perempuan bisa diminimalisir," ujarnya memungkasi.