Kisah pilu Fidelis Ari dan legalisasi ganja
Di balik kisah Fidelis yang haru biru ternyata juga memunculkan isu lama. Legalisasi ganja. Benarkah ganja bisa digunakan untuk penyembuhan penyakit termasuk Syringomyelia?
Kisah hidup Fidelis Ari Sudarwoto begitu menyentuh hati. Fidelis kini mendekam di bui karena kasus kepemilikan 39 pohon ganja yang dia tanam di halaman rumahnya. Kasus ini bukan cerita ganja belaka. Ada kisah tangguh suami, istri (Yeni Riawati) yang menderita sakit hingga akhirnya meninggal dunia dan anak-anak mereka yang kini telantar.
Di balik kisah Fidelis yang haru biru ternyata juga memunculkan isu lama. Legalisasi ganja. Benarkah ganja bisa digunakan untuk penyembuhan penyakit termasuk Syringomyelia?
-
Kapan peningkatan kasus Covid-19 terjadi di Jakarta? Adapun kasus positif Covid-19 pada 27 November sampai 3 Desember mengalami kenaikan sebanyak 30 persen dibanding pekan sebelumnya, yaitu pada 20-26 November.
-
Apa yang diresmikan oleh Jokowi di Jakarta? Presiden Joko Widodo atau Jokowi meresmikan kantor tetap Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) Asia di Menara Mandiri 2, Jakarta, Jumat (10/11).
-
Siapa saja yang diarak di Jakarta? Pawai Emas Timnas Indonesia Diarak Keliling Jakarta Lautan suporter mulai dari Kemenpora hingga Bundaran Hotel Indonesia. Mereka antusias mengikuti arak-arakan pemain Timnas
-
Apa yang menjadi salah satu solusi untuk kemacetan di Jakarta? Wacana Pembagian Jam Kerja Salah satu ide yang diusulkan Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono adalah pembagian jam masuk kerja para pekerja di Jakarta. Menurutnya, cara itu bisa mengurangi kemacetan hingga 30 persen.
-
Bagaimana prajurit Mataram akhirnya berjualan di Jakarta? Meskipun kalah perang, para prajurit yang kalah justru mulai berjualan di Jakarta dengan dua menu yaitu telur asin dan orek tempe.
-
Pajak apa yang diterapkan di Jakarta pada masa pasca kemerdekaan? Di dekade 1950-an misalnya. Setiap warga di Jakarta akan dibebankan penarikan biaya rutin bagi pemilik sepeda sampai hewan peliharaan.
"Khasiat ganja sebagai pengobatan penyakit mematikan, sudah kami dokumentasikan sejak 2010," ujar Ketua Lingkar Ganja Nusantara (LGN) Dhira Narayana dalam diskusi di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Minggu (2/4) lalu.
Menurut Dhira, ganja terbukti mujarab dipakai untuk meringankan sakit syringomyelia, penyakit yang menyerang tulang belakang. Selain penyakit syringomyelia, LGN menyebut ganja sempat dipakai untuk diabetes, hepatitis, stroke, epilepsi, dan sebagainya. LGN pun berharap pemerintah segera melakukan riset soal manfaat ganja untuk dunia medis.
"LGN berharap pengetahuan khasiat ganja medis menyebar, dan pada akhirnya dapat memberi keteguhan pada pemerintah untuk memulai riset ganja medis pertama di Indonesia," katanya.
Ketua Terpilih Ikatan Dokter Indonesia, Daeng Muhammad Faqih memberikan pandangan berbeda soal ganja dan syringomyelia ini. Menurut Daeng, syringomyelia terjadi karena ada benjolan berbentuk kista. Kista itu di dalamnya berisi cairan. Benjolan itu yang kemudian menekan sarap dan menekan tulang.
"Tak cuma menekan, benjolan itu bahkan bisa merusak, bukan cuma menekan. Itu yang kadang-kadang menimbulkan rasa nyeri atau sakit," ujar Daeng Muhammad Faqih kepada merdeka.com di kantornya, Selasa (11/4).
Dalam kasus Yeni, apakah ganja yang dikonsumsi bisa menghilangkan penyakit syringomyelia? "Kita tidak tahu, yang dipakai (kasus istrinya Fidelis) itu menyembuhkan atau hanya menghilangkan rasa sakit. Penelitian secara spesifik ganja terhadap syringomyelia belum ada. Belum pernah kita tahu," ujarnya.
Pohon ganja milik Fidelis Ari diamankan BNN ©istimewa
Bisa jadi ganja yaang dikonsumsi Yeni hanya untuk menghilangkan rasa sakit, bukan menghilangkan penyakit. Di Indonesia sendiri kata Daeng, belum ada penelitian soal ganja yang bisa mengobati suatu penyakit. Namun penelitian serupa pernah dilakukan di Amerika Serikat.
"Untuk bisa menyebuhkan ya harus diangkat kistanya," ujar Daeng.
Ganja memang unik. Tanaman yang memiliki nama latin Cannabis Sativa ini dikenal sebagai 'obat' psikotropika karena adanya kandungan zat tetrahidrokanabinol (THC,tetra-hydro-cannabinol). Namun ganja belum dipakai sebagai standar dalam dunia medis.
"Hasil penelitiannya ada manfaat medis. Misalnya untuk hal-hal yang berkaitan dengan gangguan sarap, penyakit epilepsi, alzeimer. Ganja itu katanya punya peran untuk mengatasi gangguan kecemasan, lalu juga untuk mengobati nyeri yang hebat karena pnereumatik, nyeri hebat karena kanker, tetapi, ada tetapinya," kata Daeng.
Menurut Daeng, ikatan dokter Amerika Serikat memberikan 3 catatan penting soal hasil penelitian ganja itu. Tiga catatan penting itu yang pertama, hasil penelitian itu masih harus ditingkatkan level keilmiahannya. Jadi artinya masih perlu didiskusikan dan dikaji lagi tingkat keilmiahan penelitian soal ganja itu.
"Jadi rekomendasi ikatan dokter Amerika itu harus diuji lagi dilanjutkan supaya tingkat keilmiahannya benar benar bisa diterima," katanya.
Catatan penting kedua kata Daeng, masih harus dipertimbangkan efek samping penggunaan canabis untuk keperluan medis. Ada beberapa efek samping dalam penggunaan ganja sebagai keperluan medis seperti halusinasi, gangguan kepribadian, gangguan pernapasan, gangguan pembuluh darah dan jantung.
Efek samping dalam waktu singkat adalah gangguan pernapasan, gangguan pembuluh darah dan jatuh. Dalam jangka menengah itu misalnya gangguan kepribadian, gangguan halusinasi, gangguan sedasi dan tingkat kesadaran menurun. Dalam jangka panjang mempengaruhi organ, organ otak, organ liver dan lainnya.
Catatan penting ketiga adalah adanya penyalahgunaan yang juga harus dipertimbangkan. Jadi meski ada penelitian yang menyatakan ganja memiliki manfaat untuk medis, Amerika Serikat hingga saat ini masih melarang ganja digunakan sebagai standar pengobatan.
"Federal di AS tidak membolehkan pemakaian ganja untuk medis. Di Indonesia juga tidak boleh karena memang di Indonesia belum ada penelitian soal ganja ini," ujarnya.
Daeng juga tidak sepakat jika karena kasus Fidelis Ari pembahasan soal legalisasi dikuatkan lagi. Menurutnya obat dalam kasus ini bukan ganja, tetapi justru pemerataan layanan kesehatan hingga ke pelosok negeri.
Perkebunan ganja di Israel ©Reuters/nir elias
IDI berpendapat, kasus yang menimpa Fidelis Ari harus dilihat secara objektif. Kasus ini menjadi bukti tidak meratanya pelayanan medis yang baik di Tanah Air. Di Sanggau, Kalimantan Barat, layanan medis tidak lengkap seperti yang ada di Pulau Jawa.
"Persoalannya bukan pada ganja. Persoalannya belum ratanya pelayanan medis. Jangan ditarik ke ganjanya dulu. Persoalan ini muncul karena di sana (Sanggau) tidak Rumah Sakit yang bisa menangani dan dokternya tidak tersedia. Jadi sebetulnya ini masalah distribusi pelayanan medis yang tidak merata. Seandainya rumah sakit mampu dan dokter ahlinya ada kan bisa dikerjakan. ya kan?. Ini persoalan akses pelayanan kesehatan. Kedua, apakah benar ganja bisa mengobati syringomyelia atau penyakit lain? Ini harus dipertimbangkan sehingga tidak muncul spekulasi (legalitas ganja) seperti itu," ujarnya.
(mdk/bal)