Kita dan Laut China Selatan
Tiongkok membuat garis baru secara sepihak di Laut China Selatan. Sebagian wilayah RI yang kaya migas ikut terancam.
Bingung juga saya mengikuti berita tentang posisi kita di Laut China Selatan dari apa yang diungkapkan Presiden Jokowi pada saat berkunjung ke Jepang Senin lalu (23/3).
Dalam wawancara dengan Surat Kabar Jepang, Yomiuri Shimbun, Senin, Presiden Jokowi menilai China perlu hati-hati menentukan peta perbatasan lautnya. Katanya lagi "Sembilan titik garis yang selama ini diklaim Tingkok dan menandakan perbatasan maritimnya tidak memiliki dasar hukum internasional apa pun,"
Namun hari ini, Selasa (24/3) ada bantahan dari penasehat kebijakan luar negeri Jokowi, Rizal Sukma, yang menyatakan bahwa sang presiden hanya mengkritik sebagian area yang disebutkan. Hal yang dimaksudkan adalah garis klaim Tiongkok yang menyentuh Kepulauan Natuna, yang sudah jelas merupakan wilayah kekuasaan Indonesia. Pihak Kementerian Luar Negeri Indonesia pun menilai apa yang ditulis oleh Reuters sebelumnya, merupakan bentuk kesalahan intepretasi ucapan Presiden Jokowi.
Apa yang sebenarnya terjadi? Terus terang, pernyataan Presiden di hari Senin memang agak mengejutkan mengingat posisi lumayan kalem kita selama ini dalam isu Laut China Selatan terkait dengan garis putus-putus (dashed line) baru yang ditarik tahun 2009 yang merupakan pembaharuan dari garis yang ditarik tahun 1947 yang telah membuat marah Filipina dan Vietnam di mana Indonesia ingin menjadi penengah (honest broker).
Gambaran lebih jelas posisi kita nampaknya bisa kita lihat dari pernyataan Menlu Retno Marsudi (24/3) yang "mempertanyakan" batas penarikan sembilan titik yang dilakukan Tiongkok di Laut China dan Indonesia sejak tahun 2009 sudah mempertanyakan hal itu secara resmi ke Perserikatan Bangsa Bangsa, namun sampai sekarang belum ada jawabannya.
Lebih lanjut Menlu menyatakan bahwa bagi Indonesia yang paling penting adalah meyakinkan stabilitas perdamaian supaya terwujud di kawasan laut China Selatan karena di sekitar kawasan ini pun lebih dari 50% kapal dagang besar berseliweran demi perdagangan dan bisnis di semua kawasan Asia. Jadi sangat penting perdamaian di sana.
Oleh karena itulah, tambahnya, Indonesia menganggap kawasan ini sangat penting bagi semua pihak dan peran Indonesia ingin menjaga dan mengembangkan suasana perdamaian lebih baik lagi di kawasan tersebut sehingga dapat bermanfaat bagi kita semua.
Meskipun demikian sangat disayangkan PBB sampai saat ini (sudah 5 tahun lebih) belum memberikan jawaban atas pertanyaan Indonesia terhadap 9 titik baru yang menjadi batas baru yang dilakukan pihak Tiongkok di Laut China Selatan.
Mengapa kita mempertanyakan? Karena Indonesia merupakan salah satu negara yang terancam dirugikan karena aksi Tiongkok menggambar sembilan titik wilayah baru di Kepulauan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Jika dilihat sekilas, perairan kaya gas itu terkesan masuk wilayah kedaulatan China. Menurut Kementerian Luar Negeri, klaim Tiongkok melanggar Zona Ekonomi Eksklusif milik RI.
Meski tak begitu kentara, nampak ada pergeseran dan pandangan Pemerintah kita saat ini untuk lebih assertive dalam isu ini. Hal ini nampaknya selain karena adanya strategi maritim baru (poros maritim), juga karena sampai ini Tiongkok nampak sengaja diam dan tak memberi kejelasan mengenai garis yang mereka tarik itu untuk menghindari komplikasi hukum dan politik.
Pergeseran sikap itu dapat juga dilihat dari dua hal. Pertama, secara regional Indonesia tak bisa lagi diam melihat Tiongkok dengan penjejakan maritimnya yang agresif di bagian selatan Luat China Selatan, dan hal ini memerlukan penguatan kesatuan ASEAN.
Kedua, secara global konsekuensi dari kebangkitan kekuatan maritim Indonesia terkait Samudera Hindia dan Samudera Pasifik nampaknya akan disambut baik oleh AS, Jepang, Australia dan India. Dengan sinergi di bidang keamanan maritim yang memang sudah ada di kawasan antara kekuatan Indo-Pasifik, adanya Indonesia akan menambah bobot dan kapabilitas maritim Indonesia bersama negara-negara tersebut.
Satu hal yang penting bagi Indonesia adalah adanya kesatuan kebijakan dan pandangan antara pihak militer di satu pihak dengan pembuat kebijakan politik di sisi lain dalam isu Laut China Selatan, sehingga Indonesia dapat menjaga integritas wilayahnya secara koheren dan optimal.