Lembaga baru, keruwetan baru
Putusan DKPP menimbulkan masalah baru. KPU tidak perlu takut disebut membangkang.
Semakin banyak pekerjaan, maka semakin banyak dibutuhkan tenaga kerja. Karena pemilu Indonesia semakin kompleks dan semakin besar volumenya, maka semakin banyak dibutuhkan lembaga penyelenggara. KPU dan Bawaslu saja tidak cukup, sehingga perlu dibentuk lembaga baru.
Logika manajemen konvensional itu yang melandasi lahirnya Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Namun sebagaimana ditunjukkan oleh kegagalan manajemen konvensional dalam mengatasi kerumitan dan volume pekerjaan, kehadiran DKPP tidak serta merta meringankan urusan pemilu. Justru sebaliknya, menjadi ruwet.
Sebagaimana diatur dalam UU No. 15/2011, DKPP memiliki wewenang menegakkan kode etik penyelenggara pemilu. Lembaga ini bisa menjatuhkan sanksi peringatan lisan, peringatan tertulis hingga pemecatan terhadap personal penyelenggara yang terbukti melanggar kode etik.
Namun putusan DKPP yang dibacakan Selasa (27/11) lalu, menunjukkan lembaga ini melampaui wewenangnya. Dia tidak hanya memberi sanksi pemecatan Sekjen dan beberapa pejabat sekretariat jenderal KPU, tetapi juga merintahkan kepada KPU untuk melakukan verifikasi faktual terhadap 18 partai. Padahal sebelumnya mereka dinyatakan tidak lolos verifikasi administrasi oleh KPU.
Apa yang diputuskan DKPP itu mengulangi putusan peringatan tertulis kepada Ketua KPU DKI Jakarta dalam penyelenggaraan Pilkada DKI Jakarta 2011. Saat itu, DKPP juga memerintahkan KPU DKI Jakarta untuk melakukan pendaftaran pemilih kembali. Padahal data yang diajukan pemohon bukan data resmi KPU (yang dianggap salah).
Saat itu peringatan, bahwa DKPP melampaui wewenang tidak begitu menggema. Lagi pula KPU DKI Jakarta dengan menunjukkan data resmi baru, sudah cukup untuk menunjukkan adanya pendaftaran pemilih kembali (jika dibandingkan dengan data tak resmi yang diajukan pemohon).
Nah, putusan kali ini menimbulkan kontroversi, dilema dan masalah baru.
Pertama, jika 18 partai politik yang tidak lolos verifikasi administrasi itu disertakan dalam verifikasi faktual, lalu apa yang harus diverifikasi? Bukankah itu pekerjaan sia-sia, mengingat verifikasi faktual di lapangan membutuhkan dokumen (yang berisi nama pengurus, nama anggota dan alamat kantor, dll), sementara dalam verifikasi administrasi dokumen itu tidak ada atau tidak lengkap?
Kedua, jika KPU memenuhi perintah DKPP untuk melanjutkan verifikasi faktual terhadap 18 partai politik, bukankah hal itu sama saja menempatkan DKPP di atas KPU? Padahal undang-undang menempatkan DKPP sejajar dengan KPU dan Bawaslu. Dalam sistem ketatanegaraan, mestinya hanya lembaga peradilan saja yang bisa mengadili dan menghukum KPU sebagai institusi, karena kesalahan personal akibat pelanggaran kode etik, bukan berakibat hukum terhadap putusan lembaga.
Ketiga, jika KPU memenuhi perintah DKPP maka hal ini akan menimbulkan kekacauan pemilu ke depan. Kali ini, pada tahap pendaftaran partai politik peserta pemilu, DKPP minta verifikasi faktual terhadap partai yang tidak lolos; nanti pada tahapan penghitungan suara, bisa-bisa DKPP minta KPU melakukan penghitungan ulang. Padahal penghitungan ulang adalah hak konstitusional MK dalam kerangka perselisihan hasil pemilu.
Oleh karena itu, bagi KPU akan lebih baik bila lembaga ini hanya menjalankan putusan pemecatan terhadap Sekjen dkk, karena pada wilayah ini wewenang DKPP itu berada, yakni memberi sanksi atas pelanggaran kode etik. Putusan lainnya bisa diabaikan, karena putusan itu memang tidak sesuai dengan undang-undang.
Dalam hal ini KPU tidak perlu takut disebut membangkang atas putusan DKPP, sebab ada undang-undang yang harus lebih dihormati. Kalau penyelenggara pemilu saja tidak menghormati undang-undang, apa jadinya proses penyelenggaraan pemilu ke depan. Keteguhan KPU dalam menghadapi putusan DKPP kali ini akan menentukan pelaksanaan tahapan pemilu berikutnya.