Miskin Ekstrem di Kampung Beras
Berada di pesisir utara Pulau Jawa, Desa Kutagandok, Kecamatan Kutawaluya, Karawang, Jawa Barat berjarak tidak sampai 100 km dari Jakarta. Namun di balik ratusan hektare sawah di desa penghasil beras itu, banyak warganya hidup di bawah garis kemiskinan.
Berada di pesisir utara Pulau Jawa, Desa Kutagandok, Kecamatan Kutawaluya, Karawang, Jawa Barat berjarak tidak sampai 100 km dari Jakarta. Namun di balik ratusan hektare sawah di desa penghasil beras itu, banyak warganya hidup di bawah garis kemiskinan.
Hamparan hijau padi di awal musim tanam menyambut tim merdeka.com saat mengunjungi satu dari lima desa yang masuk dalam kategori kemiskinan ekstrem. Dari pusat kota Karawang, perjalanan selama satu jam ditempuh melalui jalan mulus. Sebagian aspal, sebagian lagi beton.
-
Kapan KEK Singhasari diresmikan? KEK Singhasari berlokasi di Kabupaten Malang, Jawa Timur, wilayah ini telah ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus sejak 27 September 2019.
-
Kapan Ken Ken beralih profesi? Setelah menghilang dari dunia hiburan selama 18 tahun, ia menemukan panggilan barunya sebagai seorang petani.
-
Apa bentuk khas Kue Petulo Kembang? Kue petulo kembang ini terbilang unik karena bentuknya seperti mi gulung yang memiliki beragam warna.
-
Kenapa KEK Singhasari penting? KEK Singhasari berkonsentrasi pada platform ekonomi digital untuk bersinergi dengan perkembangan antara bisnis pariwisata dan ekonomi digital.
-
Kenapa Pemilu penting? Pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden serta Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
-
Kapan pemukiman Atlit Yam tenggelam? Tentang penyebab tenggelamnya pemukiman ini, terdapat perdebatan. Ada yang menyebut tsunami akibat runtuhnya gunung berapi, sementara yang lain mengaitkannya dengan perubahan iklim yang mengakibatkan naiknya permukaan air laut.
Saat melintasi beberapa perkampungan, rumah-rumah warga tertata rapi sepanjang jalan. Sebagian besar bangunan permanen dengan tembok dan atap genteng. Tapi faktanya, berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021, sebanyak 106.780 warga Karawang banyak yang hidup dengan pendapatan kurang dari Rp12.000 per hari. Pemerintah mengkategorikan mereka sebagai warga miskin ekstrem.
Nenek Ernis, janda 80 tahun, menghabiskan masa tuanya seorang diri. Sehari-hari, dia hanya mengandalkan bantuan makanan dari anak ketiganya, Carma (47). Anak pertama dan kedua Ernis sudah meninggal, sedangkan dua anak perempuannya ikut bersama suaminya, di desa lain. Rumahnya berada di Dusun Junti Kaum, sebuah perkampungan yang berjarak seratusan meter dari jalan utama.
Kondisi rumah Ernis termasuk dalam salah satu rumah di Desa Kutagandok yang tidak layak huni. Saat hujan, air mengucur dari sela-sela genteng yang jaraknya tidak rapat lagi. Angin malam berembus melalui sela bilik reyot yang bolong-bolong. Namun Ernis enggan pindah.
"30 Tahun begini. Emak tinggal di sini sendiri, tadinya berdua sama anaknya, anaknya udah meninggal kemarin. Kalau saya di (rumah) sebelah emak tinggalnya," tutur Carma.
Carma menjelaskan, ibunya mewarisi rumah itu dari mendiang suaminya, seorang buruh tani. Sebelum berkeluarga, Carma juga tinggal di rumah itu. Kondisinya tidak berubah sejak puluhan tahun lalu.
"Ya di sini saja, enggak mau pindah. Ya kalau hujan kehujanan, malam banyak nyamuk. Emak diam di situ," kata Carma. Kondisi Ernis yang sudah sepuh dan pikun sulit untuk diajak berkomunikasi. Ernis sehari-hari menghabiskan waktunya duduk di atas sebuah bale bambu.
Rumah Ernis dan Carma berada dalam satu petak tanah seluas 75 meter persegi. Beberapa rumah di sekitarnya juga kondisinya sama. Rata-rata penghuninya tidak memiliki pekerjaan tetap.
Penghasilan mereka bergantung pada musim tanam dan panen. Upah maksimal Rp60.000 per hari mereka dapatkan saat membantu pemilik lahan menanam padi, atau saat panen. Itu pun tidak sampai sepekan bekerja. Tenaga mereka dibutuhkan paling lama lima hari saja. Setelah itu menganggur berbulan-bulan.
Carma yang sekolah hanya sampai kelas tiga SD mengikuti jejak bapaknya menjadi buruh tani saat berusia remaja. Dia tidak pernah meninggalkan desanya untuk mencari pekerjaan lain. "Paling kalau ada panggilan jadi kuli bangunan. Itu juga upahnya kita kasbon dulu. Jadi kerja hari ini, ya buat makan hari ini, besok beda lagi," ujarnya.
Buruh Tani dan Kemiskinan Ekstrem
Rochman bergerak cepat. Camat Kutawaluya, Karawang itu segera mengumpulkan stafnya, ketua RT, dan kepala desa. Oktober 2021, pemerintah pusat mengumumkan ada lima desa di wilayahnya yang termasuk kategori miskin ekstrem di Karawang. Dia meminta segera dilakukan pendataan.
"Karena kita tidak dikasih tahu si A, si B, cuma desa ini, desa ini, miskin aja," kata Rochman kepada merdeka.com saat ditemui Rabu 2 Februari lalu.
Dari pendataan yang dilakukan selama sepekan di akhir Oktober 2021, total ada 232 warga yang masuk kategori miskin ekstrem. Mereka tersebar di Desa Kutagandok, Kutakarya, Kutamukti, Sampalan dan Desa Sindangsari.
Salah satu yang dicek Rochman dan petugas kecamatan adalah tempat tinggal. Banyak rumah warga yang masih berlantai tanah. Rata-rata di tiap desa ada 90 rumah yang tidak layak huni.
"Tiap desa kita cek, kita data. Jadi ada rumah yang mau rubuh dan ada juga masih pakai bilik, masih lantai tanah. Ada yang (dindingnya) memakai bekas poster dan bekas spanduk," tuturnya.
Petugas juga mencatat apa saja yang dibutuhkan warga. "Kalau memang warga ada yang ingin keahlian jahit kita akan ajukan ke dinas koperasi, karena akan ada pemberian mesin jahit. Kalau modal belum tahu," ujarnya.
Saat itu, bantuan yang langsung diberikan adalah pembagian susu dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Karawang. Dari pendataan itu juga diketahui, mayoritas warga yang dikategorikan miskin ekstrem merupakan buruh tani. Rata-rata pendapatan mereka di bawah Rp12.000 per hari.
"Ada sebenarnya di atas Rp12.000, sehari dapat Rp50.000, tapi enggak tiap hari dapat. Karena kan setelah panen mereka beberapa bulan enggak kerja," jelas Rochman.
Dari data yang dihimpun, Rochman menyimpulkan, warga yang dikategorikan miskin ekstrem bisa dilihat dari kondisi rumah dan penghasilan harian.
Terkait pendidikan, Rochman mengatakan, sebenarnya fasilitas sudah tersedia dan gratis. Cuma banyak anak-anak yang tidak mau sekolah dengan alasan tidak punya sepatu dan tas serta perlengkapan lainnya. Meski begitu, Rochman menyebut, pendidikan warganya sudah mengalami peningkatan. Jika sebelumnya orang tuanya tidak sekolah, kini anak-anak mereka bersekolah SD hingga SMP.
Selain rumah tidak layak huni, Rochman mengungkapkan, banyak warga yang tidak mempunyai tempat mandi, cuci, kakus (MCK) pribadi. Melalui program bantuan sanitasi dari Kementerian PUPR, Rochman meminta para lurah membuat fasilitas MCK bersama. Dia meminta tempat buang air di atas saluran irigasi ditiadakan.
"Cuma kendala dari tanah. Enggak mungkin tanah orang kita jadikan tempat MCK bersama," ujarnya.
Sementara Kepala Desa Kutagandok Mamat Karmat menceritakan, sawah ratusan hektare di wilayahnya hanya sebagian kecil milik warganya. Banyak warga yang awalnya memiliki lahan menjualnya sedikit demi sedikit karena terdesak kebutuhan hidup. Ada juga yang secara turun temurun menjadi buruh tani.
Mamat menyebut, 60 persen pemilik sawah di Desa Kutagandok berasal dari Jakarta dan Bandung, sisanya orang Karawang. "Akhirnya penduduk setempat jadi buruh," tukasnya.
Melalui program padat karya, Mamat berupaya menciptakan pekerjaan agar para buruh tani itu memiliki pendapatan di sela masa tanam dan masa panen. Ada juga warga yang menanam palawija di tanah-tanah kosong untuk menambah penghasilan.
Ketua Umum LSM Lodaya Karawang, Nace Permana yang ditemui merdeka.com menjelaskan, kondisi pandemi Covid-19 juga ikut berpengaruh besar terhadap masyarakat yang rentan. Namun di sisi lain, pemerintah daerah dinilai kurang proaktif menjamah perekonomian masyarakat bawah.
"Terkesan hanya berjalan apa adanya. Tidak pernah ada pengkajian bagaimana Karawang ini terdampak dengan segala potensi pembangunan yang ada. Setiap pembangunan pasti akan berdampak positif maupun negatif," ujarnya.
"Karawang ini kan lumbung padi nasional, kita juga kota industri tapi sangat lucu ketika punya label baru, termasuk (kemiskinan) ekstrem di Indonesia," tukasnya.
Apalagi, lanjut Nace, saat panen, beras diangkut keluar oleh pemilik yang bukan orang Karawang sehingga tidak terjadi perputaran uang di Karawang.
"Jadi petani di Karawang tidak akan jauh dari kemiskinan karena mereka bukan pemilik lahan. Mereka sebagai petani, mereka juga sebagai konsumen produk pertanian. Petani tapi beli beras juga. Makanya akan sulit untuk lepas dari lingkaran kemiskinan ini," ujarnya.
Upaya Bangkit dari Kemiskinan Ekstrem
Kemiskinan ekstrem didefinisikan sebagai kondisi di mana kesejahteraan masyarakat berada di bawah garis kemiskinan ekstrem - setara dengan USD 1.9 PPP (purchasing power parity). Kemiskinan ekstrem diukur menggunakan "absolute poverty measure" yang konsisten antar negara dan antar waktu.
Menggunakan definisi terebut, pada tahun 2021 tingkat kemiskinan ekstrem di Indonesia adalah 4 persen atau 10,86 juta jiwa. Di Jawa Barat, ada tujuh daerah dengan jumlah penduduk miskin ekstrem tinggi yakni Sumedang, Kuningan, Indramayu, Karawang, Cianjur, Cirebon, dan Subang.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Karawang menyatakan penduduk yang berkategori miskin ekstrem di daerahnya kebanyakan tersebar di wilayah pedesaan dengan mata pencarian buruh pertanian.
"Saat ini penanganan kemiskinan ekstrem difokuskan di 25 desa yang masuk kategori pedesaan dan pertanian," kata Kepala Bidang Pembiayaan Monitoring dan Evaluasi Bappeda Karawang Ani Muthia, Oktober tahun lalu.
Menurut dia, sudah ada intervensi pemerintah pusat dalam penanganan kemiskinan ekstrem. Namun sejauh ini baru ada bantuan sosial.
Camat Kutawaluya Rochman menjelaskan, pihaknya terus berupaya mengurangi angka kemiskinan ekstrem. Dia meminta dinas terkait memberikan bantuan pelatihan dan pembinaan terhadap warga agar memiliki keterampilan.
Salah satu yang telah dilakukan adalah memberi pelatihan pembuatan kue semprong untuk ibu-ibu di Desa Sampalan. Dinas Koperasi membentuk kelompok warga untuk diberi keterampilan.
"Alat sudah dikasih, kompor dan lain-lain. Karena Kutawaluya terkenal kue semprongnya dan bolu kijing. Itu lagi dikembangkan oleh dinas," ujarnya.
Mamat Karmat, Kepala Desa Kutagandok menyebut, pelatihan itu harus kontinyu dan berkelanjutan. "Kita harus dorong terus," ujarnya.
Mamat mengusulkan, upaya pemerintah untuk membuat warga keluar dari kemiskinan ekstrem tidak hanya melalui bantuan sosial. Dia menginginkan, anggaran dana desa tidak habis untuk pembangunan infrastruktur.
"Kalau bisa ke depan tuh lebih cenderung kepada pengembangan pemberdayaan masyarakat. Mungkin setelah pandemi covid ini, pemerintah pusat polanya 40 persen dana desa untuk mendorong sumber daya manusianya. Minimal ada pelatihan-pelatihan apa dari dana desa," ujarnya.
Mamat juga berharap, akses pendidikan lebih merata lagi sehingga generasi berikutnya tidak terjebak dalam kemiskinan. "Jangan sampai kemiskinan ini terus diwariskan, turun kemurun. Jadi itu yang harus kita ubah pola pikir orang tua dulu seperti apa," ujarnya.
Sedangkan Nace Permana meminta Pemkab Karawang menciptakan regulasi, inovasi dan peningkatan teknologi pertanian, termasuk pembatasan kepemilikan lahan pertanian oleh orang luar. Tujuannya agar buruh tani di Karawang lebih sejahtera.
"Oke deh sawah milik orang lain. Tapi jeraminya bisa dibuat jamur kan. Jadi mereka tidak mengandalkan panen berbentuk padi tapi mereka bisa menambah nilai ekonomi dari produk inovasi pertanian tadi. Sehingga ada nilai tambah pada pendapatan," pungkasnya.
(mdk/bal)