US Shutdown, ribut yang membuat kalut
Kekisruhan politik dalam negeri AS tersebut telah mengarah pada gejala baru yaitu bahwa kebuntuan dan disfungsi politik.
US Shutdown atau penutupan sebagian kantor pemerintahan Amerika Serikat (AS) telah memasuki minggu kedua. Keributan politik akibat sama-sama keukeuhnya Partai Demokrat dan Partai Republik pada posisinya masing-masing. Untuk dapat beroperasi Pemerintah AS membutuhkan Kongres agar menyetujui anggaran belanja untuk tahun keuangan fiskal yang dimulai per 1 Oktober. Namun Republik menahannya dan berakibat penutupan.
Keributan atau lebih tepatnya kekisruhan politik dalam negeri AS tersebut telah mengarah pada gejala baru yaitu bahwa kebuntuan dan disfungsi politik dianggap sebagai suatu normalitas baru di AS. Betapa tidak, jika protes warganya dan kekhawatiran dunia dianggap tak bermakna dan kedua pihak tak beranjak dari argumennya?
Pemimpin Partai Republik di Kongres, John Boehner berharap shutdown pada akhirnya akan membawa Presiden Obama dan Partai Demokrat ke meja perundingan untuk membahas undang-undang rawatan kesehatan (Obamacare) dan anggaran nasional secara umum. Sedang Partai Demokrat dan Presiden Obama terus bertahan dan marah atas sandera politik dan tuntutan konsesi dari Gedung Putih.
Warga dan para analis politik dan AS menilai bahwa kedua partai lebih mementingkan basis dukungan politik dan ideologinya ketimbang mencoba menegosiasikannya (reach out). Kondisi yang disebut sebagai era "hyper-partisan" dikhawatirkan akan menimbulkan dampak-dampak tak terduga pada ekonomi nasional AS dan dunia.
Ada pendapat bahwa dampak shutdown akan makin berbahaya jika mendekati pertengahan Oktober 2013, saat pemerintah AS bisa gagal bayar atau default pada sejumlah utang yang jatuh tempo. Kongres akan menghadapi batas waktu krusial 17 Oktober nanti untuk meningkatkan plafon utang sebesar USD 16,7 triliun, batas di mana pemerintah bisa menerbitkan utang baru untuk gali lubang tutup lubang.
Tak heran, China sebagai kreditor asing terbesar telah menyerukan agar AS segera bertindak untuk menghindari default. China yang memegang USD 1.277 triliun surat utang AS pantas berteriak meminta AS "mengambil langkah nyata" untuk meninggikan plafon utang sebelum 17 Oktober demi menyelamatkan investasi China.
Default AS memang bisa membuat kalut. Obligasi AS adalah fondasi dari sistem ekonomi AS dan global. Tingkat yield AS menjadi acuan dari tingkat suku bunga pada kredit pemilikan rumah dan obligasi korporasi. Adanya kecemasan mengenai kemungkinan gagal bayar utang AS akan mendorong investor untuk meminta imbal hasil yang lebih tinggi. Hal itu akan menaikkan beban kredit untuk semua pihak.
Lain lagi masalahnya dengan Uni Eropa (UE). Dengan adanya shutdown itu pembicaraan mengenai Trans-Pacific Partnership terkendala secara signifikan. Selain sudah terhadang masalah masalah isu budaya (film) dan keuangan, pembicaraan lanjutan di Brussel telah ditunda akibat shutdown itu. UE mengeluh bahwa penundaan itu telah mengaburkan tujuan untuk mencapai kesepakatan penting dalam hal perdagangan dan investasi kedua pihak.
Presiden Filipina Benigno Aquino di sela-sela sidang APEC di Bali menyatakan bahwa ekonomi AS adalah nomor satu di dunia, apa yang terjadi terhadapnya pasti akan mempengaruhi kita semua, sedang Presiden Cile, Sebastian Pinera secara sinis menyindir bahwa AS sebaiknya menghadapi masalah fiskal secara lebih baik ketimbang mengambil langkah shutdown.(BBC, 8/10)
Meski pemerintah Indonesia belum terlalu khawatir dengan dampaknya bagi Indonesia, shutdown ini juga perlu dicermati secara seksama. Pertama, bila shutdown berkepanjangan maka akan akan ada dampak nyata pada pertumbuhan ekonomi AS, sehingga kinerja ekspor seluruh negara termasuk Indonesia ke AS pun akan terpengaruh.
Kedua, perlu diwaspadai juga dampaknya pada jalur keuangan seperti saham global maupun suku bunga surat utang AS. Ada kemungkinan juga bila harga surat utang AS turun maka bisa diharapkan arus modal masuk ke Indonesia akan kembali berlanjut. Intinya memang kewaspadaan. Kelengahan akan menimbulkan dampak konkrit bagi perekonomian Indonesia yang terkait erat dengan ekonomi negara lain di era globalisasi ini.