Amnesty International Soroti Kekerasan Polisi ke Massa Demo Penolakan RUU Pilkada
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, aparat kepolisian kembali bersikap brutal kepada para pengunjuk rasa
Amnesty International Indonesia menyoroti perilaku aparat kepolisian kepada massa dalam aksi unjuk rasa 'Peringatan Darurat' penolakan RUU Pilkada yang berlangsung di berbagai kota di Indonesia pada Kamis, 22 Agustus 2024 lalu.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, aparat kepolisian kembali bersikap brutal kepada para pengunjuk rasa. Usman bilang, aparat seolah tak mau belajar dari sejarah.
- Kapolres Tangerang Respons Desakan Setop Periksa Said Didu: Kami Lindungi Hak Pelapor
- MPR Hapus Nama Soeharto dari TAP MPR soal KKN, Amnesty International: Jelas Khianati Reformasi 1998
- Koalisi Masyarakat Sipil Minta Kapolri Bertanggung Jawab Buntut Polisi Represif ke Demonstran Kawal Putusan MK
- Ricuh! Demonstran Desak Bubarkan Muktamar PKB Dorong Polisi dan Lempar Botol
"Satu kata, brutal. Pengamanan yang semula kondusif, berujung brutal. Dan fatalnya, ini bukan pertama kali. Aparat yang brutal tersebut seolah tidak mau belajar dari sejarah," kata Usman dalam keterangan tertulis, dikutip Jumat (23/8).
Usman menyampaikan, berkaca dari sejarah, penggunaan kekuatan eksesif aparat telah merenggut hak asasi manusia (HAM), hak untuk berkumpul damai, hak untuk hidup, tidak disiksa dan diperlakukan tidak manusiawi. Padahal, ujar Usman warga yang mengikuti aksi tengah menyampaikan kritik.
"Mereka bukan kriminal, tapi warga yang ingin mengkritik pejabat dan lembaga negara. Bahkan jika melanggar hukum pun, tidak boleh diperlakukan dengan tindakan brutal," ungkap Usman.
Amnesty Sebut Banyak Pendemo Ditangkap
Amnesty, lanjut Usman memantau langsung jalannya protes. Amnesty mendapati di petang hari saat demo masih berlangsung, ada banyak pengunjuk rasa yang ditangkap dengan cara-cara yang tidak mencerminkan penegak hukum profesional.
"Jika ada peserta yang melakukan perobohan pagar Gedung DPR, tidak berarti perilaku brutal itu diperbolehkan," kata dia.
Usman menyebut, kekuatan aparat kepolisian hanya bisa dipakai saat bertindak untuk melindungi atau menyelamatkan jiwa, baik jiwa peserta aksi maupun petugas. Sehingga, kekerasan yang dilakukan aparat kepada warga yang mengikuti aksi sangatlah tidak perlu karena tidak ada jiwa yang terancam.
"Perilaku aparat yang brutal adalah bukti gagalnya mereka menyadari bahwa siapapun berhak untuk memprotes melalui unjuk rasa. Berhak untuk menggugat, tidak setuju atau beroposisi. Dan semua ini dilindungi oleh hukum nasional maupun internasional," jelas dia.
Oleh sebab itu, penggunaan kekuatan eksesif seperti kekerasan, peluru karet, gas air mata, kanon air maupun tongkat pemukul, tidak diperlukan sepanjang tidak ada ancaman nyata. Amnesty menuntut aparat kepolisian memberikan pertanggungjawaban.
"Negara harus mengusut dan menindak semua pelakunya, sampai tuntas. Jangan ada lagi korban yang jatuh," kata Usman.
"Presiden dan DPR RI harus belajar menghormati hak warga negara untuk dilibatkan dalam pembuatan kebijakan. Ini adalah penyebab utama mengapa mahasiswa dan masyarakat terpaksa turun ke jalan," tandasnya.