Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai Identitas Bangsa
Jauh sebelum kemunculan sastra modern, lanjut Sastri, bahasa dan sastra Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu telah memperlihatkan fungsinya sebagai jatidiri bangsa di Nusantara.
Identitas merupakan suatu persoalan yang penting dan hangat dibicarakan dalam bidang kesusasteraan dan kajian budaya. Menurut Linda Martin Alcoff (2000: 324), sejak hampir dua dekade yang lalu, identitas menjadi topik utama yang sering difokuskan dan diperdebatkan dalam kajian psikoanalitik, pascastrukturalis dan juga pascakolonial. Jika hanya merujuk kepada bidang pascakolonial, persoalan identitas ini memang merupakan suatu kasus yang mendasar kepada negara-negara bekas tanah jajahan, (seperti Indonesia pada masa Hindia Belanda) apalagi jika penjajahan oleh kuasa asing itu berlangsung terlalu lama.
Demikian seperti diungkapkan oleh pakar linguistik dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Dr Sastri Sunarti. Menurutnya, tempo penjajahan yang panjang menyebabkan sebuah negara, bangsa, ataupun individu di tanah jajahan dapat kehilangan identitasnya. Puncaknya adalah ketika pribumi saban hari didesak oleh kuasa penjajahnya dengan pelbagai retorika tentang budaya penjajah yang selalu ditampilkan lebih dominan, hebat, maju, dan berkualitas jika dibandingkan dengan budaya pribumi atau anak jajahan. Retorika penjajah tentang kehebatan budayanya itu telah lama berjaya menggugah identitas atau jati diri sebagian besar kaum pribumi yang rapuh pegangannya terhadap budayanya.
-
Bagaimana Bahasa Indonesia berkembang pesat melampaui bahasa induknya, bahasa Melayu? Bahasa Indonesia berkembang pesat melampaui bahasa induknya, bahasa Melayu, sehingga menjadikannya bahasa terbesar di Asia Tenggara.
-
Kenapa penting untuk mengetahui peribahasa Bahasa Indonesia? Oleh karena itu, penting untuk mengetahui peribahasa Bahasa Indonesia beserta artinya.
-
Kapan Ajeng Kamaratih belajar bahasa asing? Mantan finalis Miss Indonesia, pembaca berita, dan presenter televisi, Ajeng Kamaratih hobi belajar bahasa asing.
-
Bagaimana cara melatih kosakata bahasa asing? Mencari Teman Penutur Asli Sambil menambah kosakata, kamu harus melatihnya dengan penutur asli. Di zaman serba digital, mudah buat menemukan teman dari negara lain untuk membantumu belajar bahasa asing.
-
Bahasa apa saja yang dimiliki oleh Indonesia? Indonesia yang ternyata punya 707 bahasa berada di peringkat kedua.
-
Bagaimana cara berlatih pidato bahasa Jawa? Agar dapat berpidato dengan fasih dan lancar, tentu diperlukan latihan secara berulang-ulang. Para pelajar pun dapat berlatih untuk berpidato dengan naskah yang akan dibicarakan di depan umum.
"Retorika penjajah tersebut berhasil menjadikan pribumi memiliki sifat rendah diri (inferior) dan cenderung malu akan budaya dan bahasanya sendiri. Lebih dahsyat daripada itu, penjajah bertujuan menjerumuskan pribumi ke kancah kekaburan identitas agar mereka dengan mudah dapat dicucuk hidungnya serta patuh dengan segala arahan dan peraturan penjajah. Sebagaimana disampaikan oleh Zawiah Yahya (1994: 108) yang menyatakan: Retorika kolonial digunakan untuk mengawal kaitan kuasa antara Barat yang menjajah dengan Timur yang dijajah, sambil menepikan budaya pribumi," ungkap Sastri.
Untungnya, menurut Sastri semangat kebangsaan yang berhasil dibangun dan dicetuskan oleh kalangan pribumi di Hindia Belanda berhasil diraih dan akhirnya dinyatakan sebagai sebuah kebulatan tekad oleh pemuda-pemuda Indonesia. Pribumi yang awalnya terpecah identitasnya itu mulai mencari-cari kembali identitas negara, bangsa atau dirinya sendiri yang telah dirusak dan dicemarkan oleh penjajah. Pencarian identitas negara dan bangsa ini biasanya dapat diraih kembali melalui bahasa dan sastra, serta kebudayaan sebuah masyarakat. Sementara itu, identitas sendiri atau individu juga dapat dibentuk melalui cantuman bahasa, budaya, agama, gender, perkawinan dan umur seseorang.
Upaya meraih kembali identitas bangsa melalui bahasa itu akhirnya dinyatakan melalui suatu kerapatan atau kesepakatan yang disebut oleh pemuda Indonesia pada masa itu sebagai Kongres Pemuda yang dilaksanakan pada tanggal 28 Oktober 1928. Atau sekarang lebih kita kenal sebagai Sumpah Pemuda 1928. Bahasa Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu disepakati bersama untuk dijunjung sebagai bahasa persatuan. Kesepakatan untuk mengukuhkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan ini tidak muncul secara serta merta melainkan telah melalui batu ujian yang panjang yang dapat kita ketahui perjalanannya dari surat kabar dan sumber tercetak lainnya pada masa lalu. Perjalanan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia itu salah satunya adalah pada sumber-sumber kesusasteraan baik yang lisan, tertulis, maupun tercetak.
Setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945, lanjut Sastri, bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara dikukuhkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Bab XV, pasal 32 dan 36. Kemudian dikukuhkan dalam undang-undang kebahasaan tahun 2010. Bahasa dan sastra Indonesia semakin mantap dikukuhkan sebagai alat pemersatu dan pengikat bagi seluruh rakyat Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa juga semakin kuat tercermin melalui kemunculan karya sastra Indonesia modern yang berkembang dengan pesat setelah kemerdekaan.
"Bahasa yang dapat dipelajari melalui karya sastra sebagaiman telah disebutkan di atas sarat dengan kandungan pemikiran dan ideologi. Kedua unsur inilah yang kemudian dianggap sebagai jati diri suatu bangsa. Dalam hubungan antarbangsa, identitas menjadi penting karena menyangkut keberlanjutan eksistensi sebuah bangsa lebih-lebih dalam konteks global. Kepentingan identitas menjadi utama kalau kita ingin menunjukkan diri sebagai bangsa dalam gempuran budaya global."
Karya Sastra dapat menjadi dinding identitas itu selama sang pengarang memiliki keterpanggilan untuk berbuat sesuatu yang besar bagi bangsanya. Sastri mengutip Sutardji Calzoum Bachri, dalam sebuah kesempatan di tahun 2006, menyatakan bahwa dengan karyanya seorang pengarang menorehkan identitas dirinya. Ketika seorang pengarang menorehkan identitas dirinya, ia juga telah menorehkan identitas bangsanya. Jadi, sastra memberikan ruang yang di dalamnya kebangsaan dapat kita temukan. Sebagaimana alam Melayu (Malay World) di wilayah serantau ini mengenalkan Hamzah Fansuri sebagai penyair dari zaman kegemilangan tamaddun Melayu masa lampau atau William Shakespeare sebagai sastrawan Inggris dari zaman Victoria yang dikenal di seluruh dunia.
Karya sastra seperti puisi misalnya mengandung lirik-lirik yang personal dan indah, yang menyuarakan kesepian, kesendirian, dan keterasingan manusia. Sebagaimana terbaca dalam sajak-sajak, Chairil Anwar, Abdul Hadi WM, Subagio Sastrowardoyo, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, dan lain-lain.
Pada sajak Sutardji Calzoum Bachri misalnya, mencuat nada nihilistik dan renungan-renungan surealis. Pada sajak-sajak Danarto, Kuntowijoyo, dan Sutardji Calzoum Bachri cenderung muncul unsur mistikal dan sufistik. Juga dalam beberapa beberapa puisi, Taufiq Ismail, Emha Ainunnadjib, D. Zawawi Imron dan lain-lain. Melalui karyanya mereka menawarkan sumber-sumber kearifan lokal – yaitu tasawuf dan mistisisme – sebagai kerangka dasar keindahan puitikanya, (Abdul Hadi WM, 2010: 13-14).
Karya-karya sastra seperti prosa yang mengeksplorasi budaya lokal juga akan terbaca pada novel Umar Kayyam, Chairul Harun, Y. B, Mangunwijaya, dan lain-lain. Melalui karya sastra pula kita dapat menemukan konteks sosial dan zaman yang terepresentasi dalam sajak-sajak milik WS. Rendra, Taufiq Ismail, Emha Ainunnadjib, Hamid Jabbar, dan lain-lain.
"Demikian pula jika kita membaca kembali tetralogi karya Pramoedya Anantatoer yang terkenal itu Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jalan Lurus, dan Rumah Kaca, maka akan kita temukan isu-isu yang dimuat di dalamnya tidak terbatas pada persoalan suatu bangsa (Indonesia masa penjajahan) saja. Meskipun keempat novel itu banyak berbicara tentang manusia Jawa tetapi menurut Sudibyo (2007:18) Jawa justru menjadi unsur yang diberontaki oleh penulis. Terutama mentalitas Jawa yang terbelakang, tidak kritis, hipokrit, pasrah, dan terlalu loyal pada atasan," papar Sastri.
Jauh sebelum kemunculan sastra modern, lanjut Sastri, bahasa dan sastra Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu telah memperlihatkan fungsinya sebagai jatidiri bangsa di Nusantara. Historiografi tradisional yang terdapat dalam khasanah sastra tulis maupun tradisi lisan masyarakat di Nusantara memuat kearifan tersendiri. Hasil karya nenek moyang kita tersebut dimuat dalam klasifikasi tersendiri seperti, tambo, babad, riwayat, hikayat, riwayakna, salasilah, serat sarasilah, pustakaraja, ruwayat dan lain sebagainya memuat pemahaman asal-usul suatu komunitas, tempat, atau tokoh dari sebuah negeri di Nusantara.
Misalnya, Hikayat Raja-Raja Pasai yang menurut Winstedt dalam (Sweeney, 1967:94) merupakan “sejarah” dalam kesusastraan Melayu yang paling tua. Selain Hikayat Raja-Raja Pasai (1960) juga terdapat Salasilah Kutai (1981) dari Kalimantan, Tambo Minangkabau (1991), dan sejarah raja-raja di Jawa dalam Babad Tanah Jawi, Babad Demak, Pustakaraja Purwa, Sajarah Ageng,Nusa Jawi, Serat Purwakanda, Serat Sarasilah Raja-Raja Jawa (Djamaris, 1991:13), I Laga Ligo (1991) dari Sulawesi Selatan, dan lain sebagainya.
Keadaan Kebahasaan saat ini menurut Sastri merupakan kekayaan sastra yang seharusnya juga sejalan dengan fungsi kekayaan bahasa daerah di Indonesia yakni seyogyanya menjadi penyumbang bagi pengembangan bahasa Indonesia ke depan. Untuk itu, perlu sekali diingat kembali kondisi kebahasaan kita saat ini yang menurut Yayah Lumintaintang (1999:137) adalah bahasa yang bilingual/multilingual, baik secara individual maupun secara komunal. "Hal ini disebabkan penutur bahasa di Indonesia selain menggunakan bahasa Indonesia kita juga memiliki kekayaan bahasa daerah yang saat ini menurut data Linguists List per 1 April 2008 terdapat sebanyak 746 bahasa daerah termasuk bahasa Cina di wilayah Indonesia (Ganjar, 2010: 34)."
Di sinilah politik bahasa yang tepat perlu diterapkan sehingga bahasa daerah tidak menjadi terancam perannya dan bahasa ibu tetap dapat hidup dan berkembang dengan baik ketika kebijakan bahasa Indonesia menjadi pilihan politis yang juga harus dijalankan. Kita tentu tidak menginginkan situasi kebahasaan yang rumit seperti di India terjadi juga di negara kita. India yang juga memiliki ratusan bahasa daerah terpaksa menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa Nasional kedua ketika bahasa Nasional resmi yakni Hindi tidak mampu menjadi jembatan bagi alat komunikasi yang menyatukan bangsa India yang multi etnik tersebut. Belum lagi persoalan penyerapan kata asing ke dalam bahasa Indoensia seperti yang disampaikan oleh Remy Sylado (2005) bahwa 9 dari 10 kosakata Bahasa Indonesia adalah bahasa asing. Hal ini tentu agak menyedihkan jika mengingat betapa kayanya bahasa daerah yang dapat kita kita manfaatkan untuk menambah kosakata bahasa Indonesia tersebut. Tetapi sayang hal ini belum terlaksana dengan baik.
"Di sinilah peran dan tantangan yang harus kita ambil sebagai peneliti kebahasaan dan kesastraan Indonesia dan daerah baik yang berada di lembaga bahasa seperti Badan Bahasa dan kantor Balai Bahasa maupun perguruan tinggi seperti Universitas Negeri Gorontalo untuk berperan mengembangkan bahasa dan sastra Indonesia ke depannya," tutupnya.
Baca juga:
Cara seru dan stylish buat belajar bahasa Inggris di WSE Professional
Tak bisa bahasa Inggris tapi mau kuliah di luar negeri, ini caranya
5 Negara surga wisata dengan bahasa tersulit di dunia
Pemain Timnas Indonesia diajari bahasa Spanyol
6 Cara seru dan gampang buat asah kemampuan bahasa Inggris
Yakin kamu sudah berbahasa Indonesia yang baik dan benar?