Beda dengan MUI, Ketum PBNU Sebut Salam Lintas Agama Tanda Kerukunan Umat
Gus Yahya menilai, salam sejahtera yang sering digunakan dalam berbagai tradisi keagamaan tidak selalu dianggap sebagai bagian dari ibadah formal.
Gus Yahya menekankan, penggunaan salam dalam pidato atau pertemuan tidak selalu bermakna ibadah, melainkan bisa menjadi tanda kerukunan antarumat beragama.
- Ragam Tradisi Unik Menyambut Maulid Nabi di Indonesia, dari Sekaten hingga Walima yang Sarat Makna
- Mengenal Lebih Dekat Tradisi Sekaten, Warisan Budaya Penuh Makna dalam Menyambut Maulid Nabi Muhammad SAW
- Sedekah Serabi, Tradisi Memenuhi Nazar Khas Suku Lintang yang Sudah Mulai Dilupakan
- Mengintip Tradisi Bada Riaya, Lebaran-nya Masyarakat Islam Kejawen Bonokeling di Banyumas
Beda dengan MUI, Ketum PBNU Sebut Salam Lintas Agama Tanda Kerukunan Umat
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya menegaskan, klaim yang menyatakan semua ucapan salam di agama apapun merupakan ibadah merupakan hal yang tidak tepat.
"Karena ada klaim bahwa 'assalamualaikum' adalah ibadah, maka diklaim salam yang lain juga ibadah. Padahal tidak ada ibadah itu. Tanya teman-teman Kristen apakah salam sejahtera masuk dalam liturgi (peribadatan Kristen)?" kata Gus Yahya, Rabu (12/6).
Gus Yahya menilai, salam sejahtera yang sering digunakan dalam berbagai tradisi keagamaan tidak selalu dianggap sebagai bagian dari ibadah formal.
Dia menekankan, penggunaan salam dalam pidato atau pertemuan tidak selalu bermakna ibadah, melainkan bisa menjadi tanda kerukunan antarumat beragama.
"Saya ajukan pertanyaan, apakah boleh memulai pidato dengan ungkapan yang secara simbolis dimaksudkan untuk menunjukkan kerukunan antarumat beragama?" ujarnya.
Gus Yahya mengklarifikasi mengenai salam 'Namo Buddhaya' yang sering dianggap sebagai ibadah dalam Buddhisme.
Menurutnya, Buddhisme tidak mengenal konsep ibadah dalam pengertian teistik seperti dalam agama-agama lain.
Dia menekankan meditasi adalah praktik utama dalam Buddhisme, bukan penyembahan kepada Siddhartha Gautama, yang hanya dianggap sebagai panutan.
"Jangan dikira orang Buddha menyembah Buddha, enggak. Buddha cuma pemikirannya dianggap panutan oleh para penganut Buddhisme. Jadi kalau dianggap mencampuradukkan ibadah, ibadah apa yang dicampur?" ujarnya.
Gus Yahya juga menyoroti pentingnya perubahan pola pikir di kalangan ulama dan pemikir Islam soal lintas agama.
Dia menilai sebagian besar ahli fikih masih terpengaruh oleh pola pikir era Turki Utsmani dan belum sepenuhnya menginternalisasi konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Ke depan ini menjadi krusial lagi karena sekarang ini berbagai aktor yang sangat kuat bertarung melakukan mainstreaming dari gagasan-gagasan agar menjadi mindset dari masyarakat," ungkapnya, dikutip dari Antara.
Gus Yahya mengajak semua pihak untuk berpikir jernih dan tidak terjebak dalam gagasan yang tidak jelas asal-usulnya, sehingga seolah-olah gagasan tersebut merupakan bagian dari fatwa agama.
"Gagasan-gagasan yang asal-usulnya tidak jelas seperti sekularisme dapat menjadi bagian dari strategi mainstreaming yang mempengaruhi tokoh agama dan ulama untuk memberikan persetujuan, sehingga seolah-olah gagasan tersebut merupakan bagian dari agama. Ini sejak lama, dan kita harus berpikir jernih dalam soal itu," tuturnya.
Pernyataan Gus Yahya ini menanggapi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait penggunaan salam lintas agama.
MUI melalui Wakil Sekretaris Jenderal MUI KH Arif Fahrudin menegaskan, fatwa salam lintas agama bukan menunjukkan sebagai bentuk toleransi.
Karena dalam sunnatullah dan sunnah Rasulullah SAW serta praktik ulama salafus salihin, toleransi tetap memiliki batasnya.
"Tidak semua aspek dalam Islam bisa ditoleransi, yang tidak diperkenankan Islam adalah motif mencampuradukkan wilayah aqidah dan ritual keagamaan (sinkretisme/talfiq al-adyan), sehingga mengaburkan garis demarkasi antara wilayah akidah dan muamalah," kata Arif dikutip melalui website resmi MUI, Minggu (2/6).
Sehingga seorang muslim yang menjadi pejabat pemerintahan atau pejabat publik saat menyampaikan sambutannya di acara pemerintahan, dianjurkan bisa menjalankan fatwa hasil Ijtima Ulama tersebut.
"Pejabat juga diharapkan menggunakan redaksi salam nasional agar semua pihak terangkum di dalamnya. Namun jika hal di atas tidak memungkinkan, maka pejabat publik atau pejabat di pemerintahan juga mendapat alasan syar'i (udzur syar'i) dengan syarat tidak diniatkan sebagai bentuk sinkretisme ibadah," ujarnya.
Adapun, hasil ijtima ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII yang digelar di Bangka Belitung, Kamis (30/5), telah memutuskan mengucapkan salam lintas agama bukan merupakan perwujudan dari toleransi.