Bongkahan batu misterius di Banyuwangi tempat 'umroh' Umat Hindu
Bongkahan batu misterius di Banyuwangi tempat 'umroh' Umat Hindu. Situs Kawitan, pura peninggalan sejarah di tengah belantara angker Taman Nasional (TN) Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur, selalu ramai saat Purnama tiba dan di Bulan Mati (malam tanpa bulan).
Situs Kawitan, pura peninggalan sejarah di tengah belantara angker Taman Nasional (TN) Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur, selalu ramai saat Purnama tiba dan di Bulan Mati (malam tanpa bulan). Di tempat inilah Umat Hindu Bali berwisata religi.
Atau istilahnya Umat Islam, ibadah 'umroh' di Tanah Suci Mekah di luar Bulan Haji. Dan Situs Kawitan, adalah Tanah Suci-nya Umat Hindu.
Tak diketahui pasti kapan situs yang disebut warga sekitar Alas Purwo ini sebagai bongkahan batu misterius ini dibuat. Bongkahan batu tersusun rapi yang ditemukan terkubur dalam tanah tersebut, bercorak Hindu. Situs ini, kali pertama ditemukan secara tak sengaja oleh masyarakat sekitar hutan antara Tahun 1965 hingga 1967.
Ditilik dari namanya 'Kawitan' (Bahas Jawa). Jika di-Indonesiakan berarti awal atau permulaan. Ini sama artinya dengan Purwo, yaitu yang pertama atau tertua. Alas Purwo pun dikenal sebagai hutan tertua di Tanah Jawa.
Sementara Situs Kawitan, jika dikaitkan dengan namanya, Permulaan, bisa jadi pura ini sebagai yang tertua di Tanah Jawa. Sayangnya, tak ada prasasti yang bisa dijadikan pembenar.
Menurut cerita dari mulut ke mulut, situs yang resmi digunakan tempat upacara keagamaan di Tahun 1968 ini, saat kali pertama ditemukan, warga sekitar Alas Purwo, terpendam di dalam tanah. Kemudian digali oleh warga sekitar.
Warga sempat mengambil dan membawa pulang satu per satu bongkahan batu besar yang tertata mirip gapura kecil tersebut ke rumah masing-masing. Mereka hendak menjadikan bongkahan batu itu sebagai tungku dan alas rumah.
Namun, beberapa hari kemudian, warga mendapat musibah berupa bagebluk atau wabah penyakit. Banyak warga terserang penyakit aneh saat itu. Dan anehnya, saat bongkahan batu itu dikembalikan ke tempat semula, bagebluk yang menyerang penduduk desa berangsur-angsur hilang.
Sejak saat itu, warga menyakini bongkahan batu di tengah belantara Alas Purwo tersebut bukan batu bata biasa. Batu tersebut adalah batu misterius.
Dari cerita turun temurun, seperti dituturkan Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Priwisata Banyuwangi, Aikano Haryono, Situs Kawitan memiliki lorong kasat mata (gaib). Di lorong itulah tempat pertapaan seorang begawan atau resi.
Ada dua versi cerita. Yang pertama, kisah Resi Markandya. Menurut cerita masyarakat Hindu di Tegaldlimo, Banyuwangi, Situs Kawitan ada kaitannya dengan perjalanan Resi Markandya menuju Pulau Dewata Bali.
Konon, Resi Markandya datang dari Pulau Jawa ke Bali. Tiba di Pulau Dewata, sang resi mendapati warga terserang bagebluk. Kemudian dia kembali ke Jawa dan bertapa di Gunung Raung. Dalam pertapaannya, sang resi mendapat petunjuk untuk kembali bersemedi di Alas Purwo. Lokasi bertapanya, di Situs Kawitan, sekitar pintu masuk Rowobendo.
"Setelah bertapa di Alas Purwo, Resi Markandya menemukan obat untuk mengobati masyarakat di Bali yang diserang bagebluk. Setelah mereka sembuh, dibuatlah Pura Agung di Besakih untuk menghormati jasa Resi Markandya. Jadi Situs Kawitan ini ada kaitannya dengan pura di Besakih," terang Aikano beberapa hari lalu kepada merdeka.com.
Cerita lain menyebut, Situs Kawitan merupakan tempat pertapaan Mpu Baradah. Sayang, lagi-lagi tak ada catatan sejarah untuk membuktikan cerita ini. Hanya saja, masyarakat Hindu di Tegaldlimo menganggap bongkahan batu misterius itu adalah tempat suci.
"Tempat ini, biasa digunakan upacara keagamaan. Orang Hindu di Bali, kalau ingin berwisata religi, yang datang ke Alas Purwo. Kalau istilahnya orang Muslim, ibadah umroh, atau ziarah ke makan sunan-sunan. Dan Situs Kawitan ini tempat 'umrohnya' orang Hindu Bali," cerita Aikano.
Selanjutnya, karena dari tahun ke tahun, Situs Kawitan selalu dikunjungi banyak Umat Hindu menggelar ritual keagamaan, di sisi kanan Situs Kawitan dibangun Pura Giri Selaka, agar bisa menampung banyak orang.
"Biasanya mereka datang menggelar upacara keagamaan saat Bulan Purnama dan Bulan Mati (tak ada bulan). Kemudian upacara Pager Wesi yang biasa diadakan setiap 210 hari sekali atau tujuh bulan sekali. Di tiap 1 Suro juga ramai orang untuk mencari wangsit di Alas Purwo," jelas Aikano.
Upacara Pager Wesi adalah ritual penyelamatan ilmu pengetahuan yang diturunkan oleh para dewa dari ancaman raksasa, dan digelar tiap hari Rabu Kliwon, Wuku Sinta. Pager Wesi berarti benteng perlindungan dari besi, yang melambangkan kekuatan spiritual manusia.
Di upacara tiap 210 hari ini, terdapat tiga tahapan, yaitu pelemahan; ritual sesaji bagi tanah untuk santapan Bhatara Kala. Tahap kedua adalah pawongan, yaitu penurunan ilmu dari para dewa, dan yang terakhir khayangan sebagai rasa syukur atas limpahan ilmu pengetahuan.
Baca juga:
Goa Istana Alas Purwo, tempat wisata para spritualis
Tempat Ini Simpan Cerita Pilu Pengusiran Orang-orang Indian
Pemkot Malang betuk tim identifikasi situs cagar budaya
Hidupkan Wisata Sejarah, Kali Besar Siap 'Disulap' Jadi Cantik
Penetapan bangunan cagar budaya Solo perlu dikaji ulang
Berusia 100 tahun, tank uzur Perang Dunia I diarak keliling London
-
Apa yang diserahkan oleh Presiden Jokowi di Banyuwangi? Total sertifikat tanah yang diserahkan mencapai 10.323 sertipikat dengan jumlah penerima sebanyak 8.633 kepala keluarga (KK).
-
Apa yang dibangun di Banyuwangi? Pabrik kereta api terbesar se-Asia Tenggara, PT Steadler INKA Indonesia (SII) di Banyuwangi mulai beroperasi.
-
Apa yang dimaksud dengan santet Banyuwangi? Santet Banyuwangi punya sejarah panjang sejak zaman kerajaan. Banyuwangi dikenal dengan julukan kota santet. Kini santet sering hanya dipahami sebagai sesuatu yang buruk, padahal tidak demikian.
-
Di mana Bandara Banyuwangi berlokasi? Bandara Banyuwangi menjadi bandara pertama di Indonesia yang berkonsep ramah lingkungan.
-
Dimana insentif diserahkan kepada Banyuwangi? Insentif tersebut diserahkan langsung Menteri Keuangan, Sri Mulyani, kepada Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani, di Jakarta, Senin (6/11).
-
Apa yang Jenderal Dudung apresiasi di Kampung Pancasila, Banyuwangi? “Luar biasa. Di desa ini ada banyak agama tapi bisa hidup rukun. Inilah cerminan sila-sila Pancasila dalam kehidupan nyata,” kata Jenderal Dudung.