Budaya Patriarki di Kupang hambat keterpilihan caleg perempuan
Dari waktu ke waktu tingkat keterwakilan perempuan masih berada di bawah ambang batas yang diharapkan bersama.
Budaya patriarki atau pandangan bahwa laki-laki lebih baik dari perempuan masih menjadi salah satu faktor penghambat tingkat keterpilihan calon lelgilatif perempuan dalam Pemilu legislatif 9 April 2014. "Budaya ini sudah menjadi stigmatisasi menyulitkan meraih simpati masyarakat untuk memilih perempuan sebagai anggota legislatif," kata Ketua Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Nusa Tenggara Timur, Lucia Adinda Lebu Raya, seperti dikutip dari Antara, Jumat (9/5).
Isteri Gubernur Frans Lebu Raya ini mengatakan Stigmatisasi subordinasi relasi gender yang dialami perempuan itu harus diakui terutama di NTT sebagai penyebabnya bagi perempuan untuk meraih simpati masyarakat dalam pemilu.
Sehingga dari waktu ke waktu tingkat keterwakilan perempuan masih berada di bawah ambang batas yang diharapkan bersama.
"Untuk daerah pemilihan NTT caleg perempuan untuk provinsi hanya diraih lima orang perempuan atau hanya hanya 10,83 persen, sementara untuk kursi ke Senayan nol persen atau tidak ada perempuan yang terpilih," katanya.
Ketua Gerakan Perempuan Sarinah NTT itu mengatakan subordinasi relasi gender terjadi akibat pemahaman yang salah masyarakat tentang hubungan sosial dan personal antara kaum laki-laki dan perempuan.
"Masyarakat terjebak dalam pemahaman yang salah dengan menganggap kaum laki-laki selalu lebih baik dari kaum perempuan sehingga menyulitkan perempuan untuk bergerak termasuk dalam pentas politik lima tahunan itu.
Padahal stigma atau anggapan itu tidak selalu benar adanya, bahkan cenderung diskriminatif dan melanggar hak-hak perempuan untuk didukung dan dipilih dalam dunia politik sebagai hak asasi warga negara.
Pemahaman tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan tersebut, dipandang masyarakat sebagai produk konstruksi sosial budaya yang berhubungan dengan peran, kedudukan dan kebutuhan.
"Konstruksi budaya membuat terjadinya perspektif yang kurang tepat dalam memandang peran perempuan dan laki-laki, sehingga terbangun budaya "patriarki," katanya.
Selain budaya dan stigmatisasi itu, beberapa studi yang dilakukan berbagai lembaga menemukan, bahwa hambatan perempuan untuk terpilih sangat besar seperti kendala kultural/ideologis, pemisahan antara wilayah privat dengan publik dan yang terkait dengan sosial ekonomi.
"Caleg perempuan sulit bisa jadi pemimpin karena keyakinan pemilih terhadap mereka rendah. Di sisi lain akses ke sumber daya ekonomi terbatas, sementara biaya politik tinggi," katanya.
Menurut dia, caleg perempuan juga mempunyai hambatan dalam akses jaringan, sosial, politik dan informasi serta media juga public exposure yang rencah, kemudian hambatan psikologis dan personal.
"Konstruksi kultural bahwa perempuan tempatnya di rumah menyebabkan kepercayaan diri mereka rendah.
Hambatan lainnya katanya adalah regulasi dari kelembagaan pemilu yakni sistem kuota 30 persen perempuan dalam daftar calon tetap (DCT) dan sistem proporsional dengan daftar terbuka yang menguntungkan caleg laki-laki.
"Beranjak dari asumsi yang keliru yakni persamaan sumber daya dan kesempatan laki-laki dengan perempuan, tapi faktanya tidak demikian, karena sistem proporsional dengan daftar terbuka menguntungkan caleg laki-laki karena ada di nomor urut awal," katanya.
Sehingga ke depan perlunya upaya untuk memperbesar peluang caleg perempuan seperti revisi undang-undang kaitannya kuota keterwakilan caleg perempuan, serta partai diwajibkan menempatkan perempuan pada nomor urut 1 dan 2 di setiap daerah pemilihan (dapil).