Cegah Kasus Perdagangan Anak, KPAI Dorong Penguatan Pola Asuh di Lingkungan Keluarga
Pada tahun 2021, korban eksploitasi anak sejumlah 147, namun KPAI hanya mendapatkan 14 pengaduan yang masuk.
Maraknya kasus eksploitasi seksual dan perdagangan anak kembali mencuat ke permukaan.
Cegah Kasus Perdagangan Anak, KPAI Dorong Penguatan Pola Asuh di Lingkungan Keluarga
Berdasarkan hasil laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), jumlah korban anak yang dieksploitasi secara seksual atau diperdagangkan secara ekonomi meningkat dalam 3 tahun terakhir.
Pada tahun 2021, korban eksploitasi anak sejumlah 147, namun KPAI hanya mendapatkan 14 pengaduan yang masuk.
Hal tersebut juga diakui oleh Ketua KPAI, Ai Maryati Solihah yang mengungkapkan bahwa kenaikan angka korban bersifat dinamis akibat modus yang masih beragam.
“Jadi, berdasar kondisi itu, 3 tahun terakhir, justru angka pelaporan ke kami relatif turun, tapi angka korbannya juga mengalami peningkatan,”
kata Maryati saat dihubungi merdeka.com, Jumat (8/12).
Di sisi lain, Maryati juga menyoroti faktor pemicu yang melatarbelakangi kerentanan anak untuk terjerumus sebagai korban eksploitasi dan perdagangan anak, yakni pola asuh keluarga.
“Background keluarga, ada anak-anak yang kurang perhatian keluarga, atau broken home gitu ya,” imbuh Maryati menambahkan.
Selain itu, keluarga sebagai sosok terdekat perlu mengetahui perkembangan anak, secara fisik maupun psikologis dengan memiliki keterbukaan komunikasi terhadap anak. Terutama pada anak yang telah mengalami fase pubertas atau memasuki usia remaja yang butuh perhatian lebih intens.
“Tapi kebutuhan dia untuk diajak bicara, memberi kenyamanan, menyalurkan minat bakat, dan apa yang menjadi potensi dirinya. Tidak melulu, dibandingkan, bahkan mungkin gitu ya ada perilaku otoriter orang tua yang kurang bisa diterima,” ujar Maryati.
Selaras dengan hal tersebut, kata Maryati, ketidaknyamanan anak dengan lingkungan keluarganya bersumber pada kurangnya komunikasi dan interaksi yang terbuka antara satu sama lain, sehingga anak mudah terpengaruh lingkungan yang buruk.
“Itu adalah dialog, bukan lagi perintah, interupsi, itu ya. Atau lagi disertai dengan mungkin beragam kekerasan. Ini perilaku yang kerap jadi background dari ketidaknyamanan anak dalam keluarga, sehingga dia lari, ke teman, ingin nongkrong misalnya,” jelasnya.
“Jadi memang setiap keluarga secara ekonomi beragam, tapi kalau itu dihadapi secara bersama dengan tetap mengedepankan kepentingan anak lalu berusaha untuk tidak tergiur dengan dunia hitam ataupun sindikat tersebut itu,”
pungkasnya.