Cerita miris rakyat Indonesia tidur di kandang hewan
Kwik Kian Gie pernah mengatakan bahwa kemiskinan sudah melampaui batas-batas kemanusiaan.
Pemerintahan Jokowi-JK punya pekerjaan rumah besar dalam upaya mengentaskan kemiskinan di dalam negeri. Data Badan Pusat Statistik pada September 2015, ada 28,51 juta rakyat Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Penyebabnya, tidak meratanya akses pelayanan pendidikan dan kesehatan, infrastruktur dasar, serta pertumbuhan kesejahteraan akibat perbedaan , kualitas pekerjaan. Namun, pemerintah Jokowi-JK dianggap melupakan cara pengentasan kemiskinan melalui faktor sosial dan budaya.
-
Dimana saja lokasi kemacetan yang paling parah di Jakarta? Kondisi kemacetan lalu lintas kendaraan pada jam pulang kerja di Jalan Gatot Subroto, Jakarta
-
Apa yang menjadi salah satu solusi untuk kemacetan di Jakarta? Wacana Pembagian Jam Kerja Salah satu ide yang diusulkan Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono adalah pembagian jam masuk kerja para pekerja di Jakarta. Menurutnya, cara itu bisa mengurangi kemacetan hingga 30 persen.
-
Kapan kemacetan di Jakarta terjadi? Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Rani Mauliani menerangkan, kemacetan parah di beberapa titik di Jakarta kerap terjadi pada jam berangkat dan pulang kerja.
-
Kapan KEK Singhasari diresmikan? KEK Singhasari berlokasi di Kabupaten Malang, Jawa Timur, wilayah ini telah ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus sejak 27 September 2019.
-
Kenapa KEK Singhasari penting? KEK Singhasari berkonsentrasi pada platform ekonomi digital untuk bersinergi dengan perkembangan antara bisnis pariwisata dan ekonomi digital.
-
Mengapa kemacetan di Jakarta meningkat? Syafrin juga menuturkan peringkat kemacetan DKI Jakarta mengalami kenaikan. Sebelumnya peringkat 46, kini menjadi peringkat 29.
Mantan Menteri Koordinator Perekonomian, Keuangan, dan Industri era Presiden Megawati, Kwik Kian Gie pernah mengatakan bahwa kemiskinan di Indonesia saat ini semakin kronis. Bahkan, kata dia, kemiskinan sudah melampaui batas-batas kemanusiaan.
Barangkali pernyataan Kwik Kian Gie ada benarnya jika melihat fakta masih ada rakyat Indonesia yang tinggal di tempat tak layak. Bukan hanya di kolong jembatan atau bantaran sungai, tapi di kandang hewan. Merdeka.com merangkum kisah-kisah warga yang hidup dan tinggal di kandang hewan. Berikut paparannya.
Ibu di NTT tinggal di bekas kandang babi
Adolfina Naonin (39), sejak 2014 tinggal di sebuah gubuk. Luasnya 25 x 50 meter. Gubuk ini awalnya sebuah kandang Babi yang dibuat menjadi tempat tinggalnya.
Bupati Kupang Ayub Titu Eki mengunjungi Adolfina di desa Oebesi, Kecamatan Amarasi Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Ayub menuturkan Adolfina tinggal di bekas kandang babi karena kemauan sendiri.
"Tetapi yang bersangkutan menolak," kata Bupati Ayub, Selasa (15/3).
Adolfina tinggal di gubuk bekas kandang babi bukan karena faktor ekonomi. Ayub yakin Adolfina mampu membangun rumah. Tapi dia memilih tinggal di gubuk karena sengketa tanah dengan pihak keluarga. "Ini masalah ego dari masing-masing pihak," tutur Ayub.
Ayub mencoba memediasi keluarga yang bersengketa sehingga tidak menimbulkan masalah yang berujung pada tindak pidana. Hasil mediasi tidak membuahkan jalan keluar kekeluargaan. Ayub mempersilakan masalah ini dilanjutkan ke ranah hukum.
Nenek tinggal di kandang sapi
Ironis jika melihat kondisi seorang wanita renta berumur 80 tahun yang tinggal di gubuk tak layak huni di Banjar Taman Sari, Desa Pandak Gede, Kecamatan Kediri, Tabanan Bali. Dalam kondisi tak bisa berjalan, Ni Wayan Lembuk hidup bersama anak wanitanya di sebuah gubuk bekas kandang sapi.Â
Di tengah guyuran hujan, Lembuk terus berteriak kesakitan sambil menangis menahan rasa nyeri pada kakinya yang patah. Tidak hanya itu, nampak di sebuah Bale dan lantai tanah yang becek karena banyak titik air hujan jatuh dari atap yang bocor.
Ironisnya, dalam kondisi yang tak berdaya ini dia tinggal bersama anaknya yang dalam kondisi keterbelakangan mental.
"Selama ini saya masih bisa cari-cari duit untuk makan. Sejak kaki patah 6 bulan lalu, hanya bisa tidur saja tidak bisa ke mana mana. Anak saya buduh (gila)," keluh Lembuk dengan menggunakan bahasa Bali, di Tabanan, Senin (15/2).
Kakinya patah tertabrak mobil saat pulang dari berjualan. Kini dia dan anaknya hanya bergantung hidup dari beras raskin, serta uluran tangan warga sekitar.
Gubuk berbahan ranting-ranting pepohonan yang ditempatinya ini berada di areal pinggiran persawahan bekas tempat kandang sapi.
"Ini dulunya bekas kandang sapi, tanahnya ini milik dokter namanya Pak Anak Agung Subawa. Ibu Lembuk hanya numpang di sini," ungkap Made Putera, salah seorang petani warga setempat.
Katanya, Lembuk bersama anaknya yang gangguan jiwa tinggal sudah hampir 10 tahun. "Dia tidak punya sanak saudara di sini, hanya bersama anaknya saja. Tetapi gangguan jiwa anaknya tidaklah parah sampai mengamuk," tuturnya.
Gubuk yang ditempati Lembuk, sangatlah kotor dan bau. Selain bau pesing juga bau kotoran manusia bercampur dengan kotoran hewan. Maklumlah, berjarak lima meter dari gubuknya juga ada kandang kambing.
Pasutri tinggal di kandang kambing
Nasib kurang beruntung harus dirasakan pasangan Mudzakir (50) dan istrinya Wasilah (51). Warga Desa Karanggondang RT 01/II, Kecamatan Mlonggo, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, ini terpaksa harus tinggal di kandang kambing milik warga kampung tersebut.
Mudzakir mengaku tinggal bersama istrinya di kandang kambing milik salah satu warga itu selama dua tahun. Kehidupan itu harus diterimanya lantaran tak memiliki sanak saudara.
"Saya memang tidak memiliki tempat tinggal. Sebab dulu saya hanya anak angkat. Sehingga tidak punya apa-apa saat ahli waris tak mengizinkan saya tinggal," kata Mudzakir, Senin (12/10/2015).
Beruntung berkat bantuan warga sekitar dia dapat menempati sebuah gubuk yang jaraknya tak jauh dari kandang kambing yang dulu sempat dihuninya. Mudzakir mengaku sudah tiga tahun menempati gubuk yang hanya berukuran 2 meter x 3 meter tersebut.
"Saat tidur saja, saya harus tidur di atas tanah beralaskan tikar. Sedangkan istri saya tidur di atas ranjang sederhana," kata dia.
Mudzakir menuturkan, tempat tinggal yang saat ini dihuninya berdiri di atas lahan milik warga bernama Fidah. Sementara bangunan hingga listrik merupakan patungan dari warga sekitar.
Polisi tidur di kandang sapi
Jalan setapak tanah yang di sampingnya ditumbuhi rumput tercetak jejak sepatu boot seorang polisi. Hanya berjarak sekitar beberapa meter, terlihat bangunan berukuran 4x7 meter di antara kandang-kandang sapi.
Bangunan tersebut tidak memiliki daun pintu, hanya gorden kucal yang menutupnya. Sementara itu di depan bangunan tersebut, ada sebuah meja di atasnya tergeletak peralatan makan. Bangunan itu sendiri tidak utuh, hanya sebagian saja yang berdinding batako, sementara sebagian lagi bolong. Sebuah spanduk bekas dibentangkan menggantikan tembok.
Di atas lantai tanah, ada dua buah ranjang dengan kasur lusuh di atasnya dan sebuah lemari kayu besar yang sudah keropos. Pada kayu penyangga genting tergantung dua buah lampu bohlam yang hanya menyala pada sore hari.
"Iya itu rumah saya," kata Muhammad Taufiq Hidayat, seorang polisi yang baru saja menyelesaikan pendidikan polisi tahun 2014 lalu, Rabu (14/1/2015).
Sudah dua tahun ini Taufiq tinggal di rumah itu bersama ayahnya dan tiga orang adiknya. Bau busuk kotoran sapi yang menyengat sudah tidak lagi terasa baginya.
Rumah tersebut dibangun oleh ayahnya setelah berpisah dengan ibunya dua tahun lalu. Meski hanya bekas kandang sapi, mereka tetap harus membayar sewa tanahnya.
"Itu tanah khas desa jadi tetap harus bayar, dulu saya punya rumah di Jongke juga, tapi dijual setelah orang tua berpisah," ujarnya.
Saat malam tiba, Bripda Taufiq tidur bersama dengan tiga adiknya di dalam rumah. Sementara ayahnya tidur di bak mobil tua miliknya yang biasa dipakai untuk menambang pasir. "Nggak ada tempatnya, jadi bapak tidur di bak mobil," katanya singkat.
Semula tidak ada yang tahu jika Bripda Taufiq sebagai seorang polisi tinggal dibekas kandang sapi. Sampai suatu saat salah seorang petugas Sekolah Polisi Negara (SPN) mengikuti Bripda Taufiq saat pulang dari sekolah. Saat itu sang petugas merasa curiga dengan Bripda Taufiq yang selalu berjalan kaki dari terminal Jombor ke arah utara.Â
Sebab biasanya, para siswa yang diantar ke terminal Jombor selalu di jemput keluarganya, namun Bripda Taufiq hanya berdiri dipinggir jalan. Setelah semua temannya dijemput, dia baru berjalan kaki ke arah utara menyusuri Jalan Magelang.
"Ada yang mengikuti, setelah itu baru ketahuan kalau si Taufiq ini tinggal di kandang Sapi, kita pun kaget waktu mendapat laporan itu," kata Dirshabara Polda DIY, Kombes Yulza.
Janda tinggal di kandang babi
Made Ariani (52) dan anaknya Gusti Ayu Kade Ari Kurniawati (16) kondisinya benar-benar memprihatinkan. Lebih dari 7 tahun ibu dan anak ini menempati sebuah gubuk bekas kandang babi di wilayah Lelateng, Jembrana, Bali.
Kesehariannya, Made Ariani hanya bekerja sebagai tenaga serabutan. Itu pun hanya berharap dari belas kasihan warga yang sekiranya minta bantuan untuk menyetrika atau mencuci pakaian.
Yang lebih memprihatinkan menurut tetangganya Made Ariani terkadang juga mau makan nasi yang hampir basi. "Saya di sini juga menumpang. Tanah yang saya tempati milik orang lain. Rumah yang saya tempati juga bekas kandang babi. Tapi sudah tidak dipakai lagi," ujar Made Ariani, Kamis (4/6/2015).
Semua perlengkapan tempat tidur dan lemari juga dibantu dari keluarga pemilik tanah. Demikian juga terkadang Made Ariani diberikan pekerjaan mengasuh anak oleh pemilik tanah. "Saya kadang-kadang jadi pemulung untuk memenuhi kebutuhan hidupnya," tuturnya.Â
Bekerja serabutan, penghasilan janda ditinggal mati suaminya ini tiap harinya tidak lebih dari Rp 20 ribu. Namun kadang pula tanpa hasil.Â
Dikatakan Made Ariani, kalau dia menikah secara adat Bali dengan almarhum suaminya Gusti Kade Todia sejak tahun 1994 lalu. "Saya memang dari Jawa tapi sejak menikah dengan suami saya masuk Bali," kata Ariani yang mengaku memang menjadi istri kedua ini dan masih bertahan tinggal di Bali.Â
Sebelumnya mereka hidup nomaden dan akhirnya diberikan meminjam tempat di lahan milik keluarga suami dari Dewi Paron tersebut.Â
"Sebelumnya kami bertiga tinggal di gubuk ini. Namun suami saya sempat sakit dan sejak tiga tahun suami saya sudah tidak ada," jelas Ariani sambil menyebut suaminya dulu meninggal karena TBC.
(mdk/noe)