Cerita Soeharto Nyaris Mau Mundur dari Tentara, Malah Dikasih Bintang Satu
Soeharto murka ketika mobil-mobil yang akan diselundupkannya ke Jawa dicegah naik kapal.
Soeharto murka ketika mobil-mobil yang akan diselundupkannya ke Jawa dicegah naik kapal.
Cerita Soeharto Nyaris Mau Mundur dari Tentara, Malah Dikasih Bintang Satu
Akhir tahun 1950-an, para panglima di daerah memiliki kewenangan yang nyaris tak bisa dibatasi oleh markas besar di Jakarta. Hal itu membuat Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Mayor Jenderal A.H. Nasution bertekad menghilangkan situasi tersebut. Caranya, memberikan kesempatan seluas mungkin kepada para perwira senior untuk memperoleh pengalaman dan latihan.
- Dulunya untuk Karyawan Mobil Timor yang Luasnya 15 Hektare, Kini Perumahan Milik Tommy Soeharto Terbengkalai
- Cerita Soeharto Marah Jawab Kabar Hoaks Pemakaman Astana Giribangun Berbalut Emas
- Cerita Penyelundupan Mobil Bekas Terbesar Paling Bikin Geger di Indonesia
- Hampir Tertimpa Tiang Listrik, Pengemudi Mobil di Pangandaran Selamat usai Diajak Istri Belanja Sayur
"Nasution melihat kekuasaan para panglima (di daerah) yang sudah mulai bertindak sebagai warlord," ungkap pakar sejarah militer Indonesia, Ulf Sundhaussen dalam buku Politik Militer Indonesia, 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI.
Salah satu warlord itu adalah Kolonel Soeharto, Panglima Tentara dan Territorium IV Diponegoro (Jawa Tengah). Menurut Jenderal (Purn) Pranoto Reksosamodra, pada 1958, Soeharto terbukti telah melakukan barter liar, monopoli cengkeh dari asosiasi gabungan pabrik-pabrik rokok kretek di Jawa Tengah.
Soeharto juga melakukan penjualan dan penyelundupan besi tua bersama beberapa mitranya. Antara lain Liem Sioe Liong, Oei Tek Young dan The Kian Seng (Bob Hasan).
Kasus tersebut membuat Nasution bereaksi. Dia lantas mengirimkan tim pemerikasa ke Jawa Tengah dan mendapatkan bukti-bukti kuat jika Kolonel Soeharto terlibat di dalam semua penyelewengan itu.
"Akibat terbongkarnya bintik noda hitam kasus financial & economy ini, timbul pula niat Kolonel Soeharto untuk mengundurkan diri dari Dinas Angkatan Darat," ungkap Jenderal Pranoto dalam otobiografinya, Catatan Jenderal Pranoto Reksosamodra: Dari RTM Boedi Oetomo sampai Nirbaya (disunting oleh Imelda Bachtiar).
Keinginan itu ditolak oleh Nasution. Alih-alih memecat dan memenjarakan Soeharto, dia malah menaikan pangkat Soeharto menjadi brigadir jenderal dan mengangkatnya sebagai panglima Cadangan Umum Angkatan Darat (Caduad), cikal bakal Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). 'Perilaku nakal' itu ternyata bukan kali pertama dilakukan Soeharto. Saat masih berpangkat letnan kolonel dan menjadi komandan Brigade Garuda Mataram pada 1950, Soeharto pernah berupaya untuk menyelundupkan sejumlah mobil dari Pelabuhan Makassar. Demikian informasi yang disampaikan oleh eks Panglima Tentara dan Territorium VII Indonesia Timur, Kolonel A.E. Kawilarang dalam majalah Tempo edisi 10 Mei 1999.
Ceritanya, saat pasukan Soeharto akan meninggalkan Sulawesi Selatan, mereka membawa tujuh mobil yang sama sekali belum dibayar. Menurut Kawilarang itu sama sekali tidak benar.
Supaya mobil-mobil itu menjadi 'sah', Kawilarang lantas memerintahkan seorang bawahannya untuk nanti membayar semua mobil itu dari kas keuangan Tentara & Teritorium VII. Perintah lantas diteruskan kepada Letnan Satu Parman (komandan Pos Militer Pelabuhan Makassar).
Namun sebelum perintah Kawilarang itu sampai kepada Letnan Parman, mobil-mobil itu malah sudah mulai dimasukan ke dalam kapal oleh anak buah Soeharto. Parman yang merasa pengangkutan itu tidak benar lalu mencegahnya.
Terjadilah perdebatan dengan anak buah Soeharto yang kemudian sampai ke telinga sang komandan brigade. Tanpa banyak cakap, Soeharto lantas mendatangi Parman, membentaknya sekaligus menampar perwira pertama yang memang memiliki tanggungjawab terhadap situasi keamanan di Pelabuhan Makassar tersebut.
Beberapa waktu lalu, soal kasus penamparan itu sempat kami konfirmasi kepada Aloysius Sugianto, eks ajudan Letnan Kolonel Slamet Rijadi. Pada Agustus 1950, Aloysius dan Slamet Rijadi sempat bertemu dengan Kawilarang dan Soeharto. Saat pasukan Slamet yang ditugaskan menumpas pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) singgah terlebih dahulu di Pelabuhan Makassar.
Aloysius sempat menyaksikan para prajurit Brigade Garuda Mataram sedang siap-siap pulang ke Jawa lewat Pelabuhan Makassar. Mereka membawa begitu banyak barang yang diduga hasil rampasan perang.
"Yang saya tahu, soal barang-barang itu, Kolonel Kawilarang sempat merasa tidak suka dan menegur keras Pak Harto," ujar eks anggota Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang pernah juga menjadi ajudan Kawilarang.