Daftar Pelanggaran Evi Novida Ginting Hingga Berakhir Pemecatan Sebagai Anggota KPU
Evi telah berulang kali dijatuhi sanksi dengan kategori lumayan berat dari DKPP sejak 2019. Hingga akhirnya dia diberhentikan pada 18 Maret 2020. Setidaknya ada empat dosa Evi yang dibeberkan saksi ahli dari pihak tergugat yakni Presiden RI.
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menggelar sidang lanjutan gugatan yang diajukan mantan Anggota KPU RI, Evi Novida Ginting di Gedung PTUN Jakarta, Jakarta Timur, Selasa (7/7).
Dalam sidang ini, pihak tergugat (Presiden RI) menghadirkan Muhammad Rullyandi sebagai saksi ahli. Ini merupakan saksi ahli pertama yang dihadirkan pihak tergugat selama perkara disidangkan. Sementara pihak penggugat telah menghadirkan tujuh saksi ahli.
-
Kapan Ega Noviantika menikah? Ega dan Rafly menikah pada 17 Oktober 2019.
-
Siapa yang Ega Noviantika nikahi? Ega Noviantika, istri Rafly DA, sedang berbahagia menjalani kehidupan rumah tangga bersama dua anak mereka yang semakin besar.
-
Kenapa Evi dan Sukirman memilih beternak puyuh? “Dan jadilah usaha puyuh ini. Benar juga, dalam waktu dua jam hasilnya dua kali lipat dibanding gaji saya saat masih bekerja di perusahaan di mana saya bekerja dari jam 8 pagi sampai jam 6 sore,” kata Evi.
-
Bagaimana Eka Noviana berkontribusi dalam penelitian? Eka menjelaskan bahwa sebagian besar publikasinya berfokus pada pengembangan alat uji berbasis kertas untuk diagnostik cepat yang terjangkau dan mudah digunakan.
-
Apa yang diperagakan oleh Novita Hardini? Istri Bupati Trenggalek Novita Hardini memperagakan karya Deden Siswanto dalam Selaras Wastra saat Selaras Wastra saat Cita & Cipta 2024 Liputan6 x Fimela di Shangrila Hotel, Jakarta, Rabu (31/7/2024). (Liputan6.com/Angga Yuniar)
-
Siapa istri Epy Kusnandar? Epy Kusnandar adalah seorang aktor senior yang telah berperan dalam berbagai film dan sinetron yang dikenal oleh masyarakat. Dia memiliki seorang istri yang cantik bernama Karina Ranau.
Rully sapaan akrab Muhammad Rullyandi mengemukakan, Evi bukanlah korban putusan DKPP dalam perkara nomor 317-PKE-DKPP/X/2020. Dalam kacamatanya, Evi sudah sepantasnya mendapat sanksi pemberhentian tetap yang dikeluarkan DKPP.
"Sudah terjadi berkali-kali ia diberikan sanksi dalam bentuk peringatan keras," ucap Rully.
Dia membeberkan, Evi telah berulang kali dijatuhi sanksi dengan kategori lumayan berat dari DKPP sejak 2019. Hingga akhirnya dia diberhentikan pada 18 Maret 2020. Rully menyebut setidaknya ada empat dosa Evi.
"Ini yang membuat Evi pantas untuk dipecat," tegasnya.
Daftar Kesalahan Evi
Dia membeberkan daftar pelanggaran Evi saat masih menjadi anggota KPU RI. Pertama, kebocoran Soal Tes Seleksi KPU Kabupaten Kolaka Timur. Pelanggaran ini terungkap dalam sidang DKPP terkait perkara nomor 31-PKE-DKPP/III/2019 yang diadukan oleh mantan Anggota KPU Kabupaten Kolaka Timur, Adly Yusuf Saepi.
Dalam sidang perkara ini terungkap kebocoran soal ujian atau tes seleksi calon anggota KPU Kabupaten Kolaka dan Kolaka Timur periode 2018-2023 kepada sejumlah peserta seleksi. KPU RI tetap melanjutkan proses seleksi namun mendiskualifikasi sejumlah peserta yang diduga menerima bocoran soal.
Sebagai pertimbangan putusan, DKPP menilai Evi yang saat itu menjabat Koordinasi Divisi (Kordiv) Sumber Daya Manusia, Organisasi, Diklat dan Litbang KPU RI memiliki tanggung jawab etik yang lebih atas ketidakpastian hukum ini.
Evi dijatuhi sanksi berupa Peringatan Keras dan Pemberhentian dari Jabatan Kordiv Sumber Daya Manusia, Organisasi, Diklat dan Litbang KPU RI.
Kedua, tidak klarifikasi kepada caleg yang dipecat Parpol. Evi Novida Ginting Manik pernah mendapat sanksi peringatan keras dari DKPP karena tidak melakukan klarifikasi kepada pengadu dalam perkara nomor 30-PKE-DKPP/XI/2019 yang diberhentikan secara sewenang-wenang oleh Partai Gerindra.
Dalam perkara ini, Evi dan seluruh Komisioner KPU RI hanya melakukan klarifikasi kepada pihak partai. Sikap tersebut dinilai tidak memberikan keadilan bagi pengadu sebagai calon anggota DPR. Komisioner KPU RI lainnya mendapat sanksi serupa, peringatan keras.
Tiga, masalah rekapitulasi tingkat Kabupaten sampai Nasional. Evi Novida Ginting Manik juga terbukti melakukan simplifikasi proses kroscek data formulir DC-1 dengan formulir DB-1 pada rekapitulasi penghitungan suara di Kabupaten Nias Barat. Hal itu terungkap dalam perkara 114-PKE-DKPP/VI/2019 yang disidangkan DKPP.
Sebagai koordinator untuk Sumatera Utara, Evi tidak melakukan pendalaman dan evaluasi mekanisme serta prosedur kerja KPU Kabupaten Nias Barat dan Provinsi Sumatera Utara.
Akibat tindakan Evi Novida ini menimbulkan permasalahan dalam rekapitulasi di tingkat KPU Kab. Nias Barat dan nasional, sehingga dijatuhi sanksi peringatan oleh DKPP.
Empat, tak melaksanakan putusan MK dan Bawaslu. Dalam perkara 317-PKE-DKPP/X/2019, Evi dinilai menjadi orang yang paling bertanggung jawab atas tindakan KPU RI yang cenderung mengabaikan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 154-02-20/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019 dan Putusan Bawaslu RI Nomor 83/LP/PL/ADM/RI/00.00/VIII/2019.
Dua putusan tersebut berkaitan dengan rekapitulasi perolehan suara Calon DPRD Kalimantan Barat. KPU bersikeras tidak menindaklanjuti dua putusan tersebut sehingga dinilai telah melanggar kode etik tingkat berat.
Sebagai Kordiv Teknis Penyelenggaraan dan Logistik, Evi dinilai DKPP memiliki tanggung jawab etik yang lebih besar terkait hal ini.
Dari daftar kesalahan itu, Rully menilai Evi memang pantas dipecat setelah melakukan banyak kesalahan.
"Oleh karena itu dalam putusan DKPP, ini sudah dianggap pelanggaran etik yang serius dan berat terutama dalam asas profesional.” jelas Rully.
Perlawanan Evi
Evi Novida Ginting Malik tak terima dipecat dari jabatannya sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU). Evi dipecat dalam sidang etik yang digelar Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pada, Rabu (18/3).
"Saya keberatan dengan Putusan DKPP RI Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 tanggal 18 Maret 2020," ujar Evi dalam siaran persnya, Kamis (19/3).
Evi menjelaskan, Hendri Makaluasc mengadukannya ke DKPP. Hendri merupakan anggota DPRD Provinsi Kalimantan Barat. Hendri mengadukan Evi lantaran memiliki penafsiran berbeda atas Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 154-02-20/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2009. Hendri dan Bawaslu RI memiliki penafsiran yang berbeda dari penafsiran KPU RI dan KPU Kalimantan Barat.
"Dalam putusan ini, DKPP mengambil peran menentukan mana penafsiran Putusan Mahkamah Konstitusi RI yang benar," kata Evi.
Menurut Evi, Hendri juga sudah mencabut pengaduan terhadap dirinya dalam sidang DKPP tanggal 13 November 2019. Menurut Evi, pencabutan pengaduan disampaikan kepada Majelis DKPP secara langsung dalam sidang dengan menyampaikan surat pencabutan laporan dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu.
"Artinya DKPP tidak bisa melakukan pemeriksaan etik secara aktif bila tidak ada pihak yang dirugikan dan mengajukan pengaduan pelanggaran etik. Pencabutan pengaduan mengakibatkan DKPP tidak mempunyai dasar untuk menggelar peradilan etik dalam perkara ini," kata Evi.
Menurut Evi, pelaksanaan peradilan etik oleh DKPP tanpa adanya pihak yang dirugikan sudah melampaui kewenangan yang diberikan oleh UU 7/2017 kepada DKPP sebagai lembaga peradilan etik yang pasif.
"Putusan DKPP kepada saya, KPU RI, KPU Kalbar terlalu berlebihan karena sudah tidak ada lagi pihak yang dirugikan," kata dia.
Dalam pandangannya, putusan tersebut tidak sesuai Pasal 36 ayat (2) Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2019 yang mewajibkan Pleno pengambilan Keputusan dihadiri paling sedikit 5 orang anggota DKPP. Sedangkan putusan DKPP ini hanya diambil 4 anggota Majelis DKPP.
"Putusan ini cacat hukum, akibatnya batal demi hukum dan semestinya tidak dapat dilaksanakan. Atas dasar alasan-alasan di atas, saya akan mengajukan gugatan untuk meminta pembatalan putusan DKPP tersebut," kata Evi.
Daftar Gugatan
Mantan anggota KPU Evi Novida Ginting mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Evi mendaftarkan gugatan dengan nomor 82/G/2020/PTUN.JKT pada Jumat (17/4).
Pada gugatan tersebut, Evi meminta Keputusan Presiden atas pemecatannya dibatalkan dan dicabut. Karena, keputusan tersebut berdasarkan putusan DKPP yang dianggap cacat yuridis.
"Saya meminta PTUN membatalkan Keputusan Presiden karena keputusan tersebut didasarkan pada Putusan DKPP 317/2019 mengandung 'kekurangan yuridis essential yang sempurna' dan 'bertabur cacat yuridis' yang tidak bisa ditoleransi dari segi apapun," kata Evi dalam keterangannya, Minggu (19/4).
Evi mengatakan, kekurangan yuridis yang esensial dari putusan DKPP karena tidak ada penyelesaian perselisihan etika antara pengadu dan teradu. Sebagaimana diatur Pasal 155 ayat (2) UU 7/2017 tentang Pemilu.
"Putusan DKPP 317/2019 amar nomor 3 yang memberhentikan saya sebagai Anggota KPU, ditetapkan DKPP tanpa memeriksa Pengadu maupun saya selaku Teradu," kata Evi.
(mdk/noe)