Divonis 5 tahun penjara, Eddy Syofian minta izin berbuka puasa
Eddy juga didenda Rp 200 juta. Jika tidak membayar, dia harus menjalani 6 bulan kurungan.
Mantan Kepala Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpol dan Limnas) Sumut, Eddy Syofian, dijatuhi hukuman 5 tahun penjara. Hukuman itu dijatuhkan setelah dia dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dana hibah dan bantuan sosial (bansos) Pemprov Sumut sehingga merugikan negara Rp 1,145 miliar.
Vonis bersalah dan hukuman 5 tahun penjara dijatuhkan majelis hakim yang diketuai Berlian Napitupulu di Pengadilan Tipikor Medan, Kamis (30/6). Persidangan ini berlangsung hingga malam.
Sebelum pembacaan putusan, saat waktu Magrib tiba, Eddy Sofyan bahkan harus meminta majelis hakim untuk memberinya waktu untuk berbuka puasa. "Izin majelis, saya lagi berpuasa. Izinkan saya minum seteguk dulu untuk membatalkan puasa saja, tidak sampai 1 menit," ucap Eddy.
Majelis hakim kemudian memberi Eddy waktu untuk minum. Anggota keluarganya yang hadir pada sidang itu menyerahkan air mineral untuk diminumnya. Setelah Eddy minum, majelis hakim melanjutkan pembacaan putusan.
Majelis hakim menyatakan Eddy telah melakukan perbuatan yang diatur dan diancam dengan Pasal 2 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
"Menyatakan terdakwa Eddy Syofian terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah secara bersama-sama melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atau koorporasi serta merugikan keuangan negara atau perekonomian negara," kata Berlian.
Selain hukuman penjara, Eddy juga didenda Rp 200 juta. Jika tidak membayar, dia harus menjalani 6 bulan kurungan.
Putusan majelis hakim lebih rendah dari tuntutan jaksa. Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) Firman Halawa meminta agar Eddy Syofian dijatuhi hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan.
Eddy juga dituntut membayar uang pengganti kerugian negara Rp 1,145 miliar atau harta bendanya akan disita dan dilelang. Jika hasil lelang tidak mencukupi untuk mengganti kerugian negara, terdakwa dipidana penjara selama 2 tahun.
Namun majelis hakim tidak membebani Eddy dengan kewajiban membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 1,145 miliar seperti yang dimintakan jaksa. Alasannya Eddy tidak terbukti menikmati uang itu. Uang kerugian negara itu harus dipertanggungjawabkan lembaga penerima hibah.
Menyikapi hukuman yang dijatuhkan majelis hakim, Eddy menyatakan pikir- pikir. Begitu juga dengan JPU.
Seusai persidangan, Eddy mengatakan dirinya merupakan korban yang terjebak dalam sistem yang salah. Sementara pengadilan yang dijalaninya lebih condong menghukum, bukan mencari keadilan.
Menurut Eddy, Peraturan Gubernur yang dibuat Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho tidak menguraikan secara rinci proses penyaluran dana itu. "Jadi sistem yang salah. Saya hanya jadi korban dalam kasus ini. Putusan ini terpaksa saya terima. Sistem yang salah, tapi saya yang harus menerimanya. Dan jika ditanya adil atau tidak, itu relatif. Mungkin hakim ada pertimbangan lain," ucapnya.
Dalam perkara ini, Eddy Syofian didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi pada penyaluran dana hibah dan bansos pada tahun anggaran 2012 dan 2013. Bekas atasannya, mantan Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho, juga disangka terlibat dalam kasus ini, namun belum disidangkan.
Terdakwa Eddy Syofian baik secara sendiri-sendiri maupun bersama- sama dengan Gatot Pujo Nugroho (berkas terpisah) dinilai telah melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi serta merugikan keuangan negara
Terdakwa dalam menyalurkan dana hibah tidak sesuai dengan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) sebesar Rp 150 juta. Selain itu terdapat Rp 55 juta yang tidak sesuai dengan pertanggungjawaban serta Rp 150 juta tidak dipertanggungjawabkan. Bahkan terdapat dana Rp 790 juta disalurkan kepada penerima fiktif. Akibat perbuatan terdakwa, negara dirugikan Rp 1,145 miliar.