Fahri Hamzah Dorong Konsolidasi Sistem Terkait Polemik TWK KPK
Fahri mengatakan, konsolidasi presidensialisme diperlukan, karena akan meminta pertanggungjawaban presiden.
Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah mengajak elemen bangsa untuk melakukan konsolidasi sistem presidensialisme, mengingat sistem yang ada telah menjadikan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melebihi presiden.
Fahri mengatakan hal itu menanggapi Dokumen Keberatan atau Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman RI yang menyebut proses Tes Wawasan Kebangsaan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (TWK KPK) telah terjadi maladministrasi.
-
Dimana penggeledahan dilakukan oleh KPK? Kepala Bagian (Kabag) Pemberitaan KPK Ali Fikri menyebut penggeledahan kantor PT HK dilakukan di dua lokasi pada Senin 25 Maret 2024 kemarin. "Tim Penyidik, telah selesai melaksanakan penggeledahan di 2 lokasi yakni kantor pusat PT HK Persero dan dan PT HKR (anak usaha PT HK Persero)," kata Ali Fikri kepada wartawan, Rabu (27/3).
-
Siapa yang mengajukan gugatan terhadap Dewas KPK? Dewas KPK Ngaku Sudah Antispasi Gugatan Nurul Ghufron di PTUN, Malah Kecolongan Ghufron sendiri sempat meminta kepada Dewas untuk menunda sidang etiknya.
-
Kapan Nurul Ghufron melaporkan Dewan Pengawas KPK? "Saya laporkan pada tanggal 6 Mei 2024 ke Bareskrim dengan laporan dua pasal, yaitu Pasal 421 KUHP adalah penyelenggara negara yang memaksa untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Kedua, pencemaran nama baik, Pasal 310 KUHP, itu yang sudah kami laporkan," ungkap Ghufron di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (20/5).
-
Siapa yang ditahan oleh KPK? Eks Hakim Agung Gazalba Saleh resmi ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis (30/11/2023).
-
Kapan Nawawi Pomolango dilantik sebagai Ketua KPK sementara? Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sementara Nawawi Pomolango berpose sesaat sebelum memberi keterangan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (27/11/2023). Sebelumnya Presiden Joko Widodo, melantik Nawawi Pomolango sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sementara.
-
Siapa yang melaporkan Dewan Pengawas KPK ke Mabes Polri? Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) buka suara perihal Nurul Ghufron yang melaporkan Dewan Pengawas (Dewas) KPK ke Bareskrim Mabes Polri dengan dugaan pencemaran nama baik.
"Memang ini pekerjaan besar. Sejak transisi Orba ke reformasi, hingga sekarang kita perlu pembacaan ulang yang konsolidatif. Karena sebuah sistem itu harus selalu dievaluasi. Apakah dia kuat untuk bertahan ketika menghadapi berbagai ujian," kata Fahri dalam Webinar Series Moya Institute bertajuk "Kontroversi Temuan TWK 51 Pegawai KPK" dikutip Antara, Sabtu (14/8).
Fahri mengatakan, konsolidasi presidensialisme diperlukan, karena akan meminta pertanggungjawaban presiden.
"Makanya, saya alergi kalau ada lembaga yang melebihi presiden. UU yang lama itu seperti membuat presiden tidak bertanggung jawab atas pemberantasan korupsi. Selama 20 tahun ini terkesan ada single fighter pemberantasan korupsi. Harusnya orkestrasi pemberantasan korupsi ada dimana-mana. Bukan hanya di Rasuna Said," ujar Fahri dalam siaran persnya.
Mantan Wakil Ketua DPR itu menilai, temuan Ombudsman dan pada akhirnya KPK mengeluarkan keberatan karena ada yang perlu dibaca ulang kembali dalam sistem selama ini.
"Mungkin hanya di Indonesia, tersangka nggak boleh didampingi kuasa hukum. Karena itu, ketika KPK ngotot, Komnas HAM takut sehingga tidak menyalahkan pelanggaran HAM yang dilakukan KPK selama ini. Ombudsman dulu juga begitu. Banyak sekali malpraktik KPK yang kita laporkan, nggak berani juga itu Ombudsman. Jangankan itu, lembaga peradilan, eksekutif, yudikatif dan legislatif waktu itu semua takut dengan KPK yang suka menakut-nakuti," kata Fahri.
Pengamat isu-isu strategis nasional Prof Imron Cotan menyebutkan kontroversi pegawai KPK itu hanya riak kecil di tengah tantangan luar bisa dalam menghadapi pandemi Covid-19 yang telah memporak-porandakan sistem kesehatan di seluruh dunia.
"Ada kekacauan sistem di dunia dan kita yang berdampak terhadap ekonomi dan politik," kata dia.
Imron menekankan bahwa isu tentang tidak memenuhi syaratnya ke-51 pegawai KPK ketika dites TWK itu tentu dirasakan penting bagi sejumlah orang, tetapi dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara hal tersebut terlihat seperti riak di tengah lautan atau badai di dalam cangkir, jika dikaitkan dengan ancaman dari pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia.
Terkait keputusan Ombudsman RI, Imron menyayangkan kenapa DPR memberikan ruang penegakan hukum kepada Ombudsman.
"Seharusnya kalau ada maladministrasi bisa dibawa ke PTUN. Kalau ada unsur pidana bisa ke pengadilan," ujarnya pula.
Pakar Hukum Pidana UI Chudry Sitompul menyebutkan, UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI itu berkaitan erat dengan Pelayanan Publik, UU No. 25 Tahun 2009.
"Jadi kalau menyangkut maladministrasi hukum tata negara, ya seharusnya dibawa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Kalau mau dikasih rekomendasi, ya rekomendasinya bawa ke PTUN atau peradilan umum. Apakah perkara perdata atau pidana," kata dia.
Chudry menegaskan, jika sudah seperti itu, maka keputusan Ombudsman itu tidak sesuai ketentuan perundang-undangan dengan menyebutkan TWK KPK maladministrasi.
Baca juga:
Perwakilan 75 Pegawai KPK Gugat Hasil TWK ke Komisi Informasi Pusat
Pimpinan KPK Dinilai Pegawai Nonaktif Langgar Sumpah Jabatan Tolak Temuan Ombudsman
Tolak Rekomendasi Ombudsman Soal TWK, KPK Seolah Mengakui Cacat Administrasi
KPK Kirim Surat Keberatan Terkait Maladministrasi TWK ke Ombudsman
ICW Nilai Sikap KPK Tolak Rekomendasi Ombudsman Soal TWK Bentuk Pembangkangan