Hakim Cecar Edhy Prabowo soal Kajian Akademis Buka Kran Ekspor Benuh Lobster
Mendengar jawaban Edhy, hakim pun langsung menyudahi kalau terkait dasar kebijakan pembukaan ekspor benih benur lobster tidak memiliki kajian akademis. Karena Edhy kembali mengulang apa yang ditanyakan JPU terkait masukan yang diterima dari berbagai pihak.
Dihadirkan sebagai saksi atas terdakwa Suharjito pada persidangan dugaan suap korupsi ekspor benih benur lobster (BBL), Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dicecar Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat terkait dasar kajian akademis membuat kebijakan ekspor benih lobster tersebut.
Majelis hakim sempat mengkonfrotir kesaksian dari Dirjen Direktur Jenderal (Dirjen) Perikanan Budi Daya KKP Slamet Soebjakto yang menyebut kalau kebijakan ekspor benih lobster tidak tepat. Sebagaimana dalam sidang yang berlangsung pada Rabu (17/2) bulan lalu. Hal itu untuk memastikan adakah kajian akademis terkait kebijakan tersebut.
-
Bagaimana KPK menetapkan Eddy Hiariej sebagai tersangka? Hasilnya, Hakim menyatakan status 'tersangka' Eddy tidak sah karena tidak memenuhi dua alat bukti yang cukup berdasarkan pasal 184 ayat 1 KUHAP.
-
Kapan Prabowo tiba di Kantor DPP Partai Golkar? Prabowo tiba sekitar pukul 17.00 WIB dengan mengenakan pakaian berwarna hitam dan celana berwarna hitam.
-
Kenapa KPK memeriksa Eddy Hiariej? Eddy Hiariej diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi.
-
Siapa Eko Prawoto? Dilansir dari Wikipedia, Eko Prawoto merupakan seorang arsitek legendaris dari Indonesia. Pria kelahiran Purworejo, Agustus 1958 itu menerjuni dunia arsitektur sejak menjadi mahasiswa Universitas Gadjah Mada pada tahun 1977.
-
Apa yang diklaim oleh Prabowo? Menteri Pertahanan (Menhan) sekaligus calon presiden (capres) nomor urut 2, Prabowo Subianto mengatakan dirinya sudah menyatu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sebab, Jokowi mampu menyatukan lawan menjadi kawan.
-
Kapan Prabowo bertemu Jokowi? Presiden terpilih Prabowo Subianto bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana kepresidenan, Jakarta, Senin (8/7) siang.
"Pertanyaan saya apakah ada kajian akademis atau dari ahli-ahli di kampus, akademisi masukan kepada saudara bahwa ketika dilakukan ekspor. Atau saudara hanya mendapatkan masukan dari orang-orang awam yang bukan atau non-akademisi. Apakah begitu saja saudara terima atau ada kajian akademik juga dari kampus?" tanya hakim dalam sidang di PN Jakarta Pusat Rabu (17/3).
"Dari tim kami itu tim penasihat itu saya yakin sudah mendapatkan masukan dari ahli dan pakar-pakar. Pakar perikanan maupun pakar lingkungan Kemudian, dilakukan komunikasi seluruh pemangku kepentingan, stakeholder. Baik pelaku usaha, nelayan, maupun pegiat-pegiat lingkungan dan ini semua ada dokumentasinya," jawab Edhy.
Mendengar jawaban Edhy, hakim pun langsung menyudahi kalau terkait dasar kebijakan pembukaan ekspor benih benur lobster tidak memiliki kajian akademis. Karena Edhy kembali mengulang apa yang ditanyakan JPU terkait masukan yang diterima dari berbagai pihak.
"Sudah-sudah, jadi tidak ada kajian dari akademisi ya," potong hakim.
"Kemudian keterangan dari Dirjen juga mengatakan dia sudah 20 tahun berkelit di bidang kelautan. Menurut pendapat dia belum layak dilakukan ekspor itu, kemudian dirjen yang menggantikan dia juga jawabannya gitu juga," tambahnya.
Hakim lantas menyampaikan alasan yang diperoleh dari saksi terkait belum layaknya melakukan ekspor benih lobster. Karena Indonesia tidak memiliki kemampuan untuk melakukan ekspor benih benur lobster.
"Alasannya adalah kalau saat ini kita ini belum ada mecendary, itu harusnya yang terlebih dahulu dikembangkan. Kalau sudah ada itu baru bisa dilanjutkan ekspor. Ini pendapat lain, makanya saya komphare kebijakan saudara. Karena sangat signifikan atas keputusan yang saudara ambil langsung membuka (ekspor)," ujarnya.
Terlebih, dia melanjutkan berdasarkan keterangan saksi Slamet disebut kalau ekspor benur tetap dilakukan akan berdampak habisnya lobster di alam.
"Karena kalau diambil secara terus menerus di alam itu akan terputus. Tapi kalau tidak ada mercenarynya untuk pembudiaan sama dengan contoh seperti ikan bandeng. Dulu juga begitu katanya ketika dikembangkan mercenerynya itu baru boleh di ekspor itu akan terjadi yang berkelanjutann Kalau sekarang ini dilakukan (ekspor benur), akan terputus katanya. Oleh karena itu menteri sebelum saudara itu melarang, karena akan terputus," tuturnya.
Karena dasar kesaksian tersebut lah, Majelis hakim meminta penjelasan kepada Edhy terkait hasil kajian akademis maupun ilmiah yang menegaskan sebagai dasar keputusan tersebut
"Makanya pertanyaan saya apakah kajian saudara itu sudah sangat mendalam? Termasuk dari akademisi dan bisa melihat dari segi kajian ilmiah dan akademiknya. Sehingga saudara bisa mengambil kebijakan yang sangat signifikan?" tanya hakim.
Namun demikian, ketika ditanya pertanyaan itu oleh Hakim Edhy pun tak membalasnya sehingga pada akhirnya. Majelis hakim menyimpulkan kalau kebijakan ekspor benur tidak memiliki kajian akademis, bukan sekedar pendapat dari para ahli maupun pakar.
"Jadi hanya orang teman-teman saudara ya. Terus kami perhatikan lagi di tim tuntas (uji tuntas ekspor benur) itu saya lihat tidak ada perikanan. Yang ahlinya betul disana, saya lihat disana ahli ekonomi yang hitung-hitunganan masalah keuangan soal angka-angka di sana," tutur Hakim.
"Kalau di sana yang kita dengar, keputusannya ya memang tidak cocok tidak sejalan dengan perikanan yang berkelanjutan. Kalau cari uang ya bisa saja dikuras habis-habisan dan itu akan terputus tidak berkelanjutan jadinya," sambungnya.
Oleh sebab itu, hakim kembali menanyakan kepada Edhy terkait konfrontir yang didapat berdasarkan kesaksian Slamet Soebjakto yanh menyangkal tidak pernah memberikan rekomendasi kebijakan yang dibuat Edhy Prabowo.
"Jadi keputusan yang paling mendasari saudara itu sekitar saudara-saudara aja jadinya. Tapi dirjen menyangkal tidak memberikan rekomendasi itu. Bagaimana sikap saudara itu?" katanya.
"Yang mulia saya jauh sebelum mengambil kebijakan ini, sebenarnya saya tidak pernah memakai langsung isi kepala saya sendiri. Tapi saya di sini mengkoordinasikan dan mencoba mengoptimalkan posisi yang ada pada saat itu," jawab Edhy.
"Ada kebutuhan di lapangan masalahan lowongan pekerjaan dan ada peluang usaha dimana pada saat itu diperlukan rumah-rumah untuk investasi. Termasuk saya libatkan dirjen budidaya, dirjen tangkap. Ada di situ yang mulia," tambahnya.
Edhy pun menyangkal kalau dirinya padahal telah memberikan ruang kritik kepada dirinya. Bahkan dia mengklaim kalau dari jajaranya yang mengkritiknya akan mendapatkan promosi jabatan.
"Saat itu tidak ada yang menyampaikan secara terang-terangan. Padahal sudah saya katakan bahwa menteri itu hanya lambang saja kalian boleh kritik, protes kalau ada dia akan mendapatkan promosi. Jadi sistem kerja di zaman saya, saya rubah yang mulia. Makanya saya kaget kalau ada yang berubah," ujarnya.
Terlebih, dia mengatakan bahwa setiap kebijakan yang dibahas di Kementerian Kelautan dan Perikanan selalu dibahas secara bersama-sama termasuk para pakar dan ahli yang diundang untuk terlibat dalam memberikan masukan.
"Pas memutuskan keputusan ini pun kami tidak langsung mengesahkan kami laporkan ke Menko dan Presiden (Jokowi). Jadi yang mulia kalau ada kajian akademis, itu semua yang melakukan kajiannya orang-orang akademisi dari dekan-dekan ada. Jadi saya fikir ini sudah mewakili yang mulai, jadi tidak ada serta Merta saya pribadi ingin serta merta ingin diekspor kan," ujarnya.
"Tapi kenyataanya merasa di tekan, tadi dirjen tangkap ini tidak sejalan karena paling mendasar adalah ekspor BBL itu tidak pro kepada layanan miskin. Karena kerasa ditekan terus jadi dia menyetujui," sambut Hakim.
Dirjen Sebut Kebijakan Ekspor Dibuka era Edhy
Sebelumnya, Dirjen Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Slamet Soebjakto mengatakan bahwa semenjak Edhy Prabowo menjabat sebagai Menteri KKP, ekspor benur lobster diizinkan, padahal sebelumnya dilarang.
"Sebelumnya ada pelarangan ekspor benih lobster. Lalu di era menteri baru (Edhy Prabowo) terbit SK yang memperbolehkan mengambil, membudidayakan, dan ekspor benih lobster. Tugas kami adalah memberikan rekomendasi teknis terkait penetapan budidaya lobster dan memberikan surat keterangan bahwa yang bersangkutan telah melaksanakan pembudidayaan lobster," kata Slamet saat bersaksi dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (17/2).
Slamet kemudian menjelaskan alasan pelarangan ekspor benur lobster sebelumnya, yakni agar benur tersebut dibudidayakan oleh nelayan Indonesia.
"Kalau menurut kami, benih lobster emang untuk dibudidayakan, yang menangkap kan ini nelayan, jadi agar bermanfaat bagi nelayan. Jadi ya sebaiknya dibudidayakan di dalam negeri," kata Slamet.
Saat ditanya oleh jaksa terkait pemberian izin ke perusahaan, Slamet mengatakan bahwa prosesnya terbilang mudah karena perizinan usaha itu hanya melalui tingkat Eselon I Kementerian.
"Sebetulnya mudah. Sebetulnya di tingkat Eselon I saya kira cukup karena setelah budidaya selesai, kami selesaikan ke Dirjen Tangkap (Dirjen Perikanan Tangkap KKP)," ujarnya.
Sebagai informasi, pada pemeriksaan saksi hari ini, Plt Dirjen Perikanan Tangkap KKP, M Zaini Hanafi juga menghadiri persidangan. Saksi-saksi lainnya yang hadir dalam persidangan ini yaitu Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP, Slamet Soebjakto, Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan KKP, Trian Yunanda.
Kemudian, Subkoordinator Kelompok Ikan Air Tawar pada Direktorat Produksi dan Usaha Budi Daya KKP, Dian Sukmawan, Staf Stafsus KKP Andreau Misanta Pribadi, Dibagus Aryoseto, Mantan Sespri Stafsus KKP, Andreau Misanta Pribadi, Esti Marina, dan Sespri Stafsus Edhy bernama Safri, Dalendra Kardina.
Baca juga:
Istri Akui Dikasih Sangu USD50.000 oleh Edhy Prabowo Sebelum Terbang ke AS
KPK Duga Uang Edhy Prabowo Mengalir ke Penyanyi Betty Elista
Istri Akui Terima Jam Rolex dari Edhy Prabowo di Hawaii, Sebut Hadiah Anniversary
Dipanggil KPK, Sekjen KKP Antam Novambar Mangkir
Edhy Prabowo Akui Uang Rp10-12 Miliar Dikelola Staf dan Tidak Dilaporkan ke LHKPN
Hakim Cecar Humas KKP Kapasitas Ngabalin Ikut Rombongan Edhy Prabowo ke Hawaii