Hari Kartini, 3 Ibu Berjuang Legalkan Ganja untuk Anaknya di MK
Peringatan hari Kartini identik dengan berbagai perayaan yang dilakukan oleh kaum wanita. Namun, tidak dengan 3 ibu-ibu ini. Mereka kini justru sedang berjuang di Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melegalkan ganja demi pelayanan kesehatan.
Peringatan hari Kartini identik dengan berbagai perayaan yang dilakukan oleh kaum wanita. Namun, tidak dengan 3 ibu-ibu ini. Mereka kini justru sedang berjuang di Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melegalkan ganja demi pelayanan kesehatan.
Adalah Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, dan Nafiah Murhayanti, yang tengah berjuang melakukan uji materil pasal pelarangan narkotika golongan I tentang ganja untuk pelayanan kesehatan. Bukan tanpa alasan, mengapa ketiga ibu-ibu asal Yogyakarta ini memohon pada MK agar melegalkan ganja untuk kesehatan.
-
Kapan Mutiara Baswedan meraih gelar Sarjana Hukum? Ia berhasil meraih gelar Sarjana Hukum pada tahun 2020.
-
Kapan Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak gugatan Pilpres? Momen kunjungan kerja ini berbarengan saat Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak gugatan Pilpres diajukan Kubu Anies dan Ganjar.
-
Kapan Masinton Pasaribu mengusulkan hak angket terhadap Mahkamah Konstitusi? Sebelumnya, Masinton Pasaribu berupaya menggalang dukungan anggota Dewan untuk mengusulkan hak angket terhadap Mahkamah Konstitusi.
-
Apa yang diputuskan Mahkamah Konstitusi mengenai gugatan Pilpres? Momen kunjungan kerja ini berbarengan saat Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak gugatan Pilpres diajukan Kubu Anies dan Ganjar.
-
Apa yang ditemukan oleh Mahkamah Konstitusi terkait penggunaan bansos Presiden Jokowi? Hakim MK, Ridwan Mansyur menyatakan, MK tidak menemukan adanya penyalahgunaan bansos oleh Presiden Jokowi untuk kepentingan Pemilu 2024.
-
Apa yang dirayakan pada Hari Konstitusi Republik Indonesia? Peringatan ini berkaitan dengan rantai peristiwa penting yang menentukan arah perjalanan sejarah Indonesia sebagai sebuah bangsa. Hari Peringatan Konstitusi ini ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 18 Tahun 2008, diperingati sejak tahun 2008.
Bukan lantaran ingin nge-fly seperti istilah mabuk untuk para pemadat. Namun mereka tengah memperjuangkan pengobatan untuk sang anak yang sedang menderita penyakit cerebral palsy. Penyakit ini diketahui sebagai penyakit lumpuh otak yang menyebabkan gangguan pada gerakan dan koordinasi tubuh.
"Permohonan ini diajukan oleh tiga orang Ibu dari anak-anak yang menderita Cerebral Palsy yang menginginkan adanya pengobatan menggunakan narkotika golongan I (senyawa ganja) sebagaimana sudah banyak berkembang di dunia," tukas kuasa hukum pemohon, Singgih Tomi Gumilang, Rabu (21/4).
Ia menyebut, sidang yang dilaksanakan secara daring kali ini membahas poin-poin perbaikan permohonan yang telah disampaikan oleh kuasa para pemohon pada Desember 2020. Yakni mengenai kedudukan hukum para pemohon, redaksi petitum, serta beberapa hal formal lainnya termasuk juga penambahan argumentasi untuk menguatkan substansi permohonan.
Ia menyebut, tim kuasa pemohon juga menyampaikan beberapa perkembangan terkait perkara ini. Salah satunya yakni berita duka dari pemohon Dwi Pertiwi yang kehilangan puteranya, Musa IBN Hassan Pedersen atau yang sering dipanggil Musa. Musa meninggal dunia pada 26 Desember 2020 setelah berjuang 16 tahun hidup dengan kondisi Cerebral Palsy.
Cerita Musa ini menjadi titik awal yang melatarbelakangi pengajuan permohonan uji materil UU Narkotika yang diinisiasi oleh Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan pada 19 November 2020.
Selain itu, sebagai bagian dari perbaikan permohonan tim kuasa pemohon juga menyampaikan perkembangan dari PBB yang telah mengubah sistem penggolongan narkotika dengan memperkuat posisi penggunaan narkotika Golongan I yakni ganja untuk kepentingan medis.
"Pada 2 Desember 2020, Komisi PBB untuk Narkotika yaitu CND (the UN Commission on Narcotic Drugs) melalui pemungutan suara/voting telah menyetujui rekomendasi WHO untuk menghapus cannabis dan cannabis resin (ganja dan getahnya) dari Golongan IV Konvensi Tunggal Narkotika 1961. Konsekuensinya, ganja tidak lagi dipersamakan dengan jenis narkotika," tandasnya.
Hal ini pun diakuinya memperkuat pengakuan dari dunia internasional akan manfaat kesehatan dari tanaman ganja yang dibuktikan dari hasil penelitian dan praktik-praktik pengobatan ganja medis di berbagai negara, baik dalam bentuk terapi, pengobatan gejala epilepsi, dan lain-lain.
Ia dan koalisi yang terdiri dari elemen Rumah Cemara, ICJR, LBH Masyarakat, IJRS, Yakeba, EJA, LGN ini berharap, dengan adanya perkembangan di atas dapat semakin memperkuat keyakinan hakim Mahkamah Konstitusi bahwa isu ini sangat relevan untuk mendapatkan perhatian. Sehingga persidangan dapat berlanjut ke proses pembuktian.
"Harapan para pemohon dalam perkara ini supaya apa yang terjadi pada Musa tidak terjadi pada anak-anak Indonesia yang lain. Untuk itu, koalisi mendesak agar Pemerintah dan DPR segera bergerak cepat untuk menyikapi perkembangan dari PBB terkait potensi penggunaan Narkotika Golongan 1 yakni ganja untuk kepentingan pelayanan kesehatan," tambahnya.
Ia menegaskan, sebagai negara anggota, sudah seharusnya Pemerintah Indonesia bersikap. Secara politis Indonesia diakuinya harus mau mengakui dan mengikuti perubahan ketentuan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 tersebut sebagai rujukan UU Narkotika.
Baca juga:
Dua Pengedar Ditangkap di Jayapura, Polisi Amankan 32 Paket Ganja
Para Penggemar Ganja di London
Tanam Ganja di 23 Pot, Seorang Warga Pasaman Barat Diringkus Polisi
Polisi Ringkus 3 Pengedar 40 Kg Ganja di Medan
Polisi: Artis Jeff Smith Positif Ganja
Mahasiswa di Tangsel Simpan 2 Kg Ganja, Edarkan ke Teman dan Pekerja