ICW: Dewas KPK Nyatakan Firli Bahuri-Karyoto Tak Langgar Kode Etik Perkara OTT UNJ
ICW pada 26 Oktober 2020 melaporkan Firli Bahuri dan Karyto telah melakukan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku berkaitan dengan kasus OTT UNJ.
Dewan Pengawas KPK menilai Ketua KPK Firli Bahuri dan Deputi Penindakan KPK Karyoto tidak melakukan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku dalam penanganan perkara OTT Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
"Pada tanggal 9 November 2020, Dewan Pengawas mengirimkan surat kepada Indonesia Corruption Watch (ICW) yang pada intinya menyebutkan bahwa Firli Bahuri dan Karyoto tidak terbukti melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku dalam penanganan perkara OTT UNJ. Dalam surat tersebut Dewan Pengawas mendasari kesimpulannya pada empat hal," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana di Jakarta, Jumat (13/11).
-
Bagaimana Firli Bahuri bisa menjadi Ketua KPK? Seperti diketahui, Firli terpilih secara aklamasi sebagai ketua KPK oleh Komisi III DPR pada 2019 lalu.
-
Siapa yang menggantikan Firli Bahuri sebagai Ketua KPK sementara? Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sementara Nawawi Pomolango berpose sesaat sebelum memberi keterangan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (27/11/2023). Sebelumnya Presiden Joko Widodo, melantik Nawawi Pomolango sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sementara.
-
Kenapa Nurul Ghufron melaporkan Dewan Pengawas KPK? Wakil ketua KPK itu menyebut laporannya ke Bareskrim Mabes Polri sehubungan dengan proses etik yang tengah menjerat dirinya karena dianggap menyalahkan gunakan jabatan.
-
Kapan Nurul Ghufron melaporkan Dewan Pengawas KPK? "Saya laporkan pada tanggal 6 Mei 2024 ke Bareskrim dengan laporan dua pasal, yaitu Pasal 421 KUHP adalah penyelenggara negara yang memaksa untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Kedua, pencemaran nama baik, Pasal 310 KUHP, itu yang sudah kami laporkan," ungkap Ghufron di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (20/5).
-
Kenapa KPK dianggap tidak etis memberikan bantuan hukum kepada Firli Bahuri? Menurut Alex, tak etis lembaga antikorupsi memberi bantuan hukum terhadap tersangka korupsi."Bantuan hukum kemarin sudah kami sampaikan bahwa KPK tidak memberikan bantuan hukum, tetapi kami akan menfasilitasi kalau terkait dengan permintaan dokumen-dokumen," kata Alex. "Kalau perkara yang menyangkut korupsi itu, ya tentu tidak etis juga sebagai lembaga penegak pemberantasan korupsi membela dari tersangka korupsi. Jadi waktu itu disimpulkan seperti itu," Alex menambahkan.
-
Bagaimana Nurul Ghufron merasa dirugikan oleh Dewan Pengawas KPK? "Sebelum diperiksa sudah diberitakan, dan itu bukan hanya menyakiti dan menyerang nama baik saya. Nama baik keluarga saya dan orang-orang yang terikat memiliki hubungan dengan saya itu juga sakit," Ghufron menandaskan.
ICW pada 26 Oktober 2020 melaporkan Firli Bahuri dan Karyto telah melakukan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku berkaitan dengan kasus OTT UNJ.
"Alasan Dewas KPK pertama adalah penanganan kasus tangkap tangan atas dugaan tindak pidana korupsi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang dilakukan oleh KPK atas perintah ketua KPK akibat dari laporan yang kurang lengkap dari Plt Direktur Pengaduan Masyarakat yang menyebutkan telah membantu OTT di Kemendikbud," ungkap dia.
Alasan kedua Dewas KPK adalah penerbitan surat perintah penyelidikan telah dikoordinasikan antarkedeputian dan telah sesuai dengan prosedur yang berlaku di KPK.
Alasan ketiga, keputusan ketua KPK agar penanganan kasus tangkap tangan atas dugaan tindak pidana korupsi di Kemendikbud dilakukan oleh KPK telah dikoordinasikan dengan pimpinan KPK lainnya melalui media komunikasi daring sehingga keputusan tersebut bukan inisiatif pribadi Firli Bahuri.
"Alasan terakhir, kasus yang ditangani dalam penyelidikan KPK, belum ditemukan bukti permulaan yang cukup serta belum terpenuhi ketentuan Pasal 11 ayat (1) UU No 19 Tahun 2019 tentang KPK maka sesuai dengan ketentuan yang berlaku maka KPK wajib menyerahkan penyelidikan ke penegak hukum lain. Mekanisme pelimpahan dalam keadaan tertentu dimungkinkan tidak melalui gelar perkara berdasarkan kebijakan pimpinan KPK," ungkap Kurnia.
Dalam surat tersebut, Dewas KPK juga mengakui terdapat kelemahan-kelemahan dalam penanganan kasus tangkap tangan atas dugaan tindak pidana korupsi di Kemendikbud.
Menanggapi hal tersebut, ICW memiliki beberapa catatan, yakni argumentasi dewas melenceng dari substansi putusan yang sebelumnya dijatuhkan terhadap Plt Direktur Pengaduan Masyarakat Aprizal yang mengungkapkan percakapan antara Aprizal dengan Firli Bahuri.
Dalam percakapan tersebut, menurut Kurnia, terlihat bahwa adanya pemaksaan dari Firli Bahuri untuk menangani perkara yang sedari awal dilakukan oleh Inspektorat Kemendikbud. Padahal, saat itu Aprizal sudah menyebutkan bahwa perkara itu tidak melibatkan penyelenggara negara, namun Firli mengabaikan informasi tersebut.
Tanggapan kedua, tidak lazim untuk pimpinan KPK membuat keputusan khususnya di kedeputian penindakan KPK hanya dengan percakapan daring tanpa adanya forum gelar perkara yang mempertemukan pimpinan dengan jajaran kedeputian penindakan, disertai tim pengaduan masyarakat.
Tanggapan ketiga, Dewas KPK mengingkari prosedur pelimpahan perkara ke penegak hukum lain karena dewas tidak merincikan situasi apa yang membuat adanya pengecualian prosedur pelimpahan perkara dan dewas tidak menjelaskan perihal "berdasarkan kebijakan Pimpinan KPK".
"Pimpinan KPK yang dimaksud oleh Dewan Pengawas merujuk kepada lima orang atau hanya beberapa orang saja? Jika hanya disepakati satu atau beberapa orang saja maka hal itu tidak dapat dibenarkan. Sebab, Pasal 21 ayat (4) UU KPK menyebutkan bahwa pimpinan KPK bersifat kolektif dan kolegial," katanya.
Tanggapan ICW keempat, dewas kerap tidak profesional dalam menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK. Contohnya, saat pimpinan KPK memulangkan paksa penyidik Kompol Rossa Purbo Bekti, simpang siur informasi izin penggeledahan kantor DPP PDIP, sampai pada putusan yang semestinya masuk pada kategori berat namun hanya diberikan teguran terhadap Firli Bahuri.
"Ini membuktikan bahwa sebenarnya keberadaan Dewan Pengawas gagal memberikan kontribusi bagi penguatan kelembagaan KPK," tegas Kurnia.
Firli Bahuri Dilaporkan ke Dewan Pengawas Terkait OTT UNJ
Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan Ketua KPK Komjen Firli Bahuri dan Deputi Penindakan KPK Karyoto ke Dewan Pengawas KPK. Pelaporan berkaitan dengan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku.
"Latar belakang pelaporan berkaitan dengan kasus OTT UNJ beberapa waktu lalu," ujar peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Senin (26/10/2020).
Kurnia melaporkan Firli dan Karyoto atas dasar petikan putusan pelanggaran etik terhadap Plt Direktur Pengaduan Masyarakat (Dumas) KPK Aprizal beberapa waktu lalu. Aprizal dijatuhi sanksi etik ringan oleh Dewas KPK berkaitan dengan OTT UNJ.
"Berdasarkan petikan putusan APZ (Aprizal), diduga terdapat beberapa pelanggaran serius yang dilakukan oleh keduanya. ICW mencatat setidaknya terdapat empat dugaan pelanggaran kode etik yang terjadi," kata dia.
Pertama, menurut ICW, Firli bersikukuh mengambil alih penanganan yang saat itu dilakukan Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Padahal, menurut ICW, Aprizal sudah menjelaskan bahwa setelah tim pengaduan masyarakat melakukan pendampingan, ternyata tidak ditemukan adanya unsur penyelenggara negara.
"Sehingga, berdasarkan Pasal 11 ayat (1) huruf a UU KPK, maka tidak memungkinkan bagi KPK untuk menindaklanjuti kejadian tersebut," kata dia.
Kedua, menurut ICW, Firli menyebutkan dalam pendampingan yang dilakukan tim Dumas KPK terhadap Itjen Kemendikbud telah ditemukan tindak pidananya. Padahal Firli diduga tidak mengetahui kejadian sebenarnya.
"Sehingga menjadi janggal jika Firli langsung begitu saja menyimpulkan adanya tindak pidana korupsi dan dapat ditangani oleh KPK," kata Kurnia.
Ketiga, tindakan Firli dan Karyoto saat menerbitkan surat perintah penyelidikan dan pelimpahan perkara ke Kepolisian diduga tidak didahului dengan mekanisme gelar perkara di internal KPK.
"Padahal, dalam aturan internal KPK telah diatur bahwa untuk dapat melakukan dua hal tersebut mesti didahului dengan gelar perkara yang diikuti oleh stakeholder kedeputian penindakan serta para pimpinan KPK," kata dia.
Keempat, tindakan Firli Bahuri mengambil alih penanganan yang dilakukan oleh Itjen Kemendikbud diduga atas inisiatif pribadi tanpa melibatkan atau pun mendengar masukan dari Pimpinan KPK lainnya.
"Padahal Pasal 21 UU KPK menyebutkan bahwa pimpinan KPK bersifat kolektif kolegial," kata dia.
Maka dari itu, berdasarkan hal di atas ICW menduga tindakan keduanya telah melanggar Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pasal 5 ayat (1) huruf c, Pasal 5 ayat (2) huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf e, Pasal 7 ayat (1) huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1) huruf c Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi.
"ICW pun mendesak agar Dewan Pengawas menyelenggarakan sidang dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Firli Bahuri dan Karyoto," kata Kurnia.